Jakarta, LiraNews.com – Diantara yang amat revolusioner dari dinamika ekonomi mutakhir adalah tumbuhnya kesadaran diantara para pelaku ekonomi bahwa konflik bukan lagi sekedar sarana (wasilah) untuk memperebutkan sumberdaya-sumberdaya.
“Tapi konflik itu sendiri merupakan lahan ekonomi renes,” ujar Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf.
Dia mempertanyakan, dari sekian ratus ribu bangkai manusia yang membusuk di bumi Syria selama enam tahun ini, berapa banyak uang diraup oleh industri senjata? Dari butir-butir peluru yang memecahkan batok kepala nenek-nenek?
Dari bom yang mencerai-beraikan daging bayi-bayi? Dari bahan bakar pesawat dan drone yang menghujankan malapetaka-malapetaka ke permukaan bumi?
Berapa banyak uang yang ditangguk oleh para pemain internet dari ribuan jam yang dihabiskan orang-orang untuk bertengkar di media sosial atas berbagai isu?
Maka saksikanlah lahirnya bidang industri baru yang tumbuh teramat cepat, yaitu industri konflik. Demi industrialisasi, tak penting lagi apakah obyek konflik itu nyata dan punya makna atau tidak.
“Yang penting adalah memproduksi konflik, memasarkannya dan menangguk untung darinya. Banjir hoaks dan warta palsu pun menjadi bagian dari moda produksi industri baru ini,” katanya.
Sebagamana segala industri yang ada, menurutnya, bahan baku adalah niscaya. Apa bahan baku paling ekonomis dan paling berkelimpahan bagi industri konflik? Lupakan gunung-gunung emas di Papua. Lupakan minyak dan gas alam. Lupakan batu-batu Gunung Kendeng.
“Bahan baku paling jossss bagi industri konflik yang mengalahkan nilai dan prospek ekonomi dari segala lapangan ekonomi lainnya adalah: ISLAM!” pungkasnya. LN-AZA