Rekonsiliasi Fatamorgana

Kesibukan membuat manuver dan pertemuan politik akan menambah kecurigaan publik bahwa ada kemenangan yang belum memperoleh legitimasi sosial. Tentu kemenangan itu rapuh.

Oleh Dr. Ahmad Yani, SH. MH. 

Jakarta, LiraNews.Com – Perdebatan tentang ideologi tidak akan pernah berhenti karena adanya pertemuan politik diantara para elit politik. Juga Perbedaan tentang konsep dan cara jalan untuk mencapai tujuan politik tidak akan selesai dengan rekonsiliasi.

Perbedaan akan tetap hidup dan menjadi warna bagi sebuah bangsa, apalagi bangsa Indonesia yang lahir dari kemajemukan. Sulit untuk “mendamaikan ide” hanya dengan rekonsiliasi.

Meningkatkan intensitas silaturrahim politik sangat positif, tetapi menganggap silaturrahim itu sebagai rekonsiliasi dua perbedaan ide yang mendasar sangat tidak mungkin. Itu hanya sebatas fatamorgana.

Dari sisi konsep dan ide, Prabowo dan Jokowi sangat jauh berbeda. Seperti dalam masalah kebijakan Hutang luar negeri, kebijakan Impor pangan, gaji TNI/Asn, Perusahaan Starup/Unicorn, Pengeloaan SDA dan mineral dll, yang disampai secara terbuka dalam kampanye maupun debat, sebagaimana di nukilkan kembali oleh Akbar Faisal dalam Acara ILC.

Kemesraan kedua tokoh politik di MRT itu adalah bagian dari rasa saling membutuhkan. Ada semacam “transaksi materi” sebagai upaya untuk saling memegang komitmen politik.

Nuansa transaksi politik dari pertemuan itu tidak bisa kita hindari, sebab, pertemuan politik menghasilkan kesepakatan politik. Entah itu Jokowi ingin mengajak oposisi untuk berada disampingnya, atau oposisi meminta Jokowi untuk mengakomodir kepentingan politiknya.

Meskipun oposisi akan berkoalisi, tetapi oposisi terhadap kekuasaan tidak akan berakhir,  pun tidak ditentukan oleh dua orang tersebut. Begitu pula dengan perbedaan ide dan cara pandang bernegara, tidak akan berakhir hanya karena pertemuan ataupun rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo.

Apakah setelah Prabowo bertemu Jokowi dan Megawati, oposisi telah selesai? Bagi saya, oposisi akan tetap ada dan mengakar dalam gerakan civil society. Secara kelembagaan ada lembaga DPR sebagai perwakilan rakyat yang akan menjadi bagian dari oposisi.

Posisi anggota DPR sangat strategis untuk menyuarakan aspirasi rakyat, baik secara sendiri-sendiri melalui jalur parlemen maupun secara bersama-sama dalam bentuk fraksi, komisi, maupun DPR secara keseluruhan.

Eksistensi DPR sebagai lembaga, maupun Anggota DPR secara individu, adalah merupakan pengontrol kekuasaan eksekutif. Dalam sistem presidensialisme, kekuasaan presiden begitu sangat besar, sehingga untuk mengawasi kekuasaan yang besar tersebut tidak disalahgunakan, maka DPR memiliki peran penting untuk mengotrol eksekutif.

Secara singkat dapat dikatakan DPR itu adalah lembaga oposisi, sedangkan Anggota DPR dipilih oleh rakyat untuk menjadi oposisi pemerintah, mengoreksi segala kebijakan lewat penyusunan UU, penyusunan Anggaran, dan kebijakan pemerintah lainnya.

Lembaga Perwakilan itu diberikan kekuasaan yang cukup strategis untuk melakukan pengawasan, dan menginterupsi segala kebijakan pemerintah lewat saluran parlemen.

Kekeliruan tradisi yang dibangun partai politik selama ini, menganggap anggota DPR dianggap sebagai wakil partai, sehingga dengan mudahnya partai memecat dan menghentikan jabatan publik individu hanya karena alasan perbedaan sikap dengan partai merupakan langkah yang tidak dibenarkan. Anggota DPR adalah wakil Rakyat yang direkomendasikan oleh partai politik.

Pelaksanaan fungsi pengawasan, fungsi anggaran, fungsi legislasi adalah pelaksanaan fungsi “oposisi” DPR kepada pemerintah untuk mengawasi penggunaan fungsi kekuasaan eksekutif. Karena itu, dalam negara demokrasi dengan sistem presidensialisme, keberadaan DPR sebagai lembaga pengawas dan penyeimbang (cheks and balance) bukan hanya sebagai stempel karet eksekutif (koalisi) tetapi kehadiran DPR untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang baik dan benar.

Rekonsiliasi Atau Jatah Kursi?

Setelah pertemuan Prabowo dan Jokowi, seakan-akan oposisi terhadap kekuasaan eksekutif sudah hilang. Lembaga DPR akan menjadi corong kekuasaan dan kasarnya stempel karet eksekutif. Dengan alasan, bahwa apabila semua partai berkoalisi, maka pengawasan terhadap pemerintah tidak ada, dengan demikian segala tujuan kekuasaan dapat diwujudkan tanpa kritik.

Setelah pertemuan Prabowo dan Jokowi-Megawati, publik menilai bahwa pemerintahan Jokowi memegang DPR di atas 70%. Jadi tidak ada kesulitan lagi bagi Jokowi menjalankan segala apa yang menjadi keinginan dan tujuannya, bukanlah koalisi Jokowi sudah hampir sempurna menguasai parlemen? Sebenarnya ini menjadi bahaya tersendiri bagi Demokrasi.

Dengan kata Rekonsiliasi Jokowi telah mampu merangkul kekuatan utama oposisi. Pertemuan kedua elit itu adalah untuk mendamaikan perseteruan politik. Lebih tepatnya untuk menyatukan kembali perbedaan. Bahwa selama ini, ada anggapan bahwa Indonesia terpecah, ada perkelahian sengit, dan lain sebagainya. Tetapi dalam demokrasi dan panggung politik hal tersebut lumrah.

Pemaknaan rekonsiliasi semacam itu bukan hanya salah, tetapi juga mengandung nilai hoax yang tinggi. Karena perbedaan dan perseteruan dalam politik niscaya adanya. Dalam demokrasi hal tersebut adalah merupakan keberkahan, sebab negara demokrasi tanpa perbedaan berarti ada totaliter yang hidup.

Terlepas dari apa yang menjadi agenda pertemuan antara oposisi (Prabowo) dan Koalisi (Jokowi-Megawati), bahwa pemberian nama terhadap pertemuan itu sebagai rekonsiliasi demi bangsa menjadi naif adanya. Tidak sulit untuk membaca hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh Rocky Gerung, “Kalau dua orang bertemu, ada pihak ketiga yang mau disingkirkan”. Artinya selain persoalan saling mendepak dalam koalisi Jokowi, pertemuan tersebut Bukan rekonsiliasi melainkan percakapan tentang materi.

Seperti yang saya kemukakan di atas, tidak mungkin merekonsiliasi perbedaan ide dan konsep, yang direkonsiliasi hanyalah berupa program-program yang sifatnya materi. Artinya ada transaksi politik dibalik kata “rekonsiliasi demi bangsa” yang diedarkan ke publik.

Saya tertarik dengan pandangan Sandiaga Salahuddin Uno, bahwa kepada pemenang silahkan memerintah, dan yang kalah siap menjadi Oposisi. Kesibukan membuat manuver dan pertemuan politik akan menambah kecurigaan publik bahwa ada kemenangan yang belum memperoleh legitimasi sosial. Tentu kemenangan itu rapuh.

Supaya rakyat tidak terlalu diberikan janji, sebaiknya Jokowi melaksankan program-program-nya saat ini, tdk harus menunggu dilantik untuk periode yg kedua. Masih banyak program pemerintah yang belum terlaksana dan masih ditagih oleh publik. Jadi kesibukan mengurus koalisi dan oposisi yang tidak henti-hentinya, tentu akan merugikan rakyat.

Prabowo Bertemu, Ulama Ber-Ijtima

Setelah pertemuan antara oposisi dan penguasa, koalisi pemenang menjadi gundah gulana. Reaksi bermunculan, hingga Nasdem mengadakan pertemuan dengan Anies Baswedan di Kantor DPP Nasdem Gondangdia. Pengamat menilai, Surya Paloh memberikan reaksi atas pertemuan Prabowo dengan Jokowi dan Megawati.

Dalam keadaan koalisi pemenang yang sedang gamang, kekuatan umat yang di Komando oleh ulama tetap bertahan menjadi oposisi. Pertemuan Prabowo dengan Jokowi dan Megawati, tidak menggoyangkan semangat 212, dan tetap mengucapkan, rakyat dan umat bersama ulama mengambil jalan “kami oposisi”.

Kekuatan civil Society khususnya 212 begitu sangat besar untuk melakukan protes meskipun semua partai telah berada dibarisan koalisi pemerintah. Komitmen untuk menjadi mitra kritis kekuasaan, menempatkan 212 sebagai gerakan penentu perubahan sosial politik Indonesia.

Dengan bertahannya 212 maka, muncul kata “kami oposisi”. Ini menandakan bahwa kekuatan Islam dengan logo 212 yang telah menjadi monumen penting, meminjam Rocky gerung, sebagai teks sosial bangsa Indonesia tidak bergerak hanya karena Prabowo, tetapi menjadi icon pejuang, khususnya dalam menengakkan amar Ma’ruf nahi munkar.

Gerakan 212 yang sampai hari ini masih berada dalam komando ulama, wabil khusus Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab, masih menjadi kekuatan independen dengan identitas gerakan politik Islam yang tidak membawa sekat-sekat organisasi dan sekat politik. Adapun dukungan kepada calon tertentu karena kesamaan cara pandang terhadap kondisi bangsa.

Gerakan 212 Adalah momen sejarah, yang menjadi reinkarnasi pertentangan ideologi dalam sejarah politik Indonesia. Pertentangan ideologi itu tidak mungkin berakhir dengan rekonsiliasi elit tertentu, ia akan tetap ada. Bagi ideolog, ideologi itu harus diperjuangkan menjadi cita-cita dan tujuan bersama. Hadirnya 212 mengakomodir ulang aspirasi umat Islam yang selama ini terbengkalai.

Kehadiran 212 menambah kuat Perdebatan Islam dan Politik. Sejarah mencatat, bahwa Islam adalah bumbu yang memberikan penyedap rasa bagi perjalanan politik Indonesia. Tanpa Islam, politik Indonesia menjadi hampa, tanpa makna.

Maka, agak naif kalau menganggap bahwa rekonsiliasi adalah mendamaikan pikiran, hal itu mustahil terjadi. Sulit bagi Jokowi untuk memperoleh legitimasi 212, karena ia tidak memiliki cara pandang yang sama dengan ide 212 itu sendiri. Meskipun Prabowo menyatakan bergabung dengan pemerintah, 212 akan menjadi oposisi yang berjalan diatas roh kebenaran dan keadilan.

Untuk melanjutkan gerakan tersebut, para ulama akan mengadakan kembali musyawarah Ulama atau Ijtima’ Ulama dalam rangka untuk membicarakan agenda 212 selanjutnya. Agenda itu tidak terlepas dari perkembangan politik yang terjadi pasca MK memenangkan Jokowi.

Ulama sedang mencari formula dan penerima mandat baru untuk meneruskan ide, konsep dan cita-cita perjuangan umat Islam yang belum tercapai dalam konteks sosial politik kebangsaan sekarang ini. Oleh karena itu Ijtima Ulama IV akan mencari formula baru bagaimana menempatkan 212 sebagai kekuatan kontrol sosial bangsa ini.

Dengan demikian, rekonsiliasi Prabowo dan Jokowi serta Megawati bukan akhir dari perjuangan umat dan ulama, melainkan memberikan kesempatan baru bagi umat dan ulama untuk menyatakan sikap yang lebih terarah lagi. Karena itulah maka 212 sebenarnya adalah kelompok penentu, bukan pengekor, 212 adalah wajah baru politik Islam yang menjadi awal mula bangkitnya solidaritas umat dalam membangun peradaban politik yang mengedepankan nilai-nilai profetik. (fnn)

Wallahualam bis shawab.

*Penulis adalah politisi dan praktisi hukum

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *