Pertarungan Anies Baswedan melawan pengabdi dan pengembang raksasa reklamasi naga-naganya masih akan panjang. Pada 9 Juli lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengalahkan Gubernur DKI itu dalam kasus Pulau H. Melalui keputusan yang dipublish tanggal 29 Juli itu, PTUN mewajibkan Gubernur DKI untuk memproses izin perpanjangan Surat Keputusan (SK) gubernur soal pemberian izin reklamasi PT Taman Harapan Indah, anak usaha PT Intiland atas Pulau H di Teluk Jakarta.
Singkat cerita, PTUN Jakarta membatalkan SK Gubernur Anies terkait pembatalan izin reklamasi Pulau H di Teluk Jakarta. Pengadilan memerintahkan Anies mencabut keputusannya tentang penghentian reklamasi Pulau H.
Pada 26 September 2018, Anies telah mencabut izin prinsip 13 pulau buatan di Teluk Jakarta. Izin prinsip reklamasi yang dicabut adalah Pulau A, B, dan E (pemegang izin PT Kapuk Naga Indah); Pulau H (pemegang izin PT Taman Harapan Indah); Pulau I, J, K, dan L (pemegang izin PT Pembangunan Jaya Ancol); Pulau I (pemegang izin PT Jaladri Kartika Paksi); Pulau M dan L (pemegang izin PT Manggala Krida Yudha); Pulau O dan F (pemegang izin PT Jakarta Propertindo); Pulau P dan Q (pemegang izin PT KEK Marunda Jakarta).
“Saya umumkan bahwa kegiatan reklamasi telah dihentikan. Reklamasi bagian dari sejarah dan bukan masa depan DKI Jakarta,” tutur Anies, kala itu. Nah, lantaran itu PT Taman Harapan Indah menggugat ke PTUN.
Sumber: Monitor
Menghentikan reklamasi adalah janji politik Anies saat kampanye dulu. Lebih jauh lagi, keputusan itu diambil setelah Pemprov DKI Jakarta melakukan verifikasi atas seluruh kegiatan reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Proses verifikasi, kata Anies, menemukan berbagai pelanggaran yang dilakukan pengembang–antara lain dalam hal desain dan analisis dampak lingkungan.
Kala itu, Anies tidak menyediakan ruang untuk negosiasi. Ia menyatakan siap digugat secara hukum. “Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk menggugat keputusan pemerintah. Kami siap menghadapi,” ujarnya.
Kini, Anies bertekad akan menempuh banding atas putusan PTUN itu. “Jadi setelah lihat bisa respons,” ujar Anies, Selasa (30/7), sembari menginfokan bahwa dirinya belum menerima dan melihat petikan keputusan PTUN tersebut.
Sumber: Tribun
Anies mengatakan pihaknya konsisten untuk terus menghentikan reklamasi di pesisir Utara Jakarta. “Pemprov DKI akan konsisten terus mengusahakan semua ikhtiar legal untuk menghentikan reklamasi,” ujarnya lagi. “Intinya kita enggak akan mundur. Kita menghormati pengadilan tapi kita akan terus melawan pengembang yang berencana melanjutkan reklamasi,” tekadnya.
Perlawanan
Keputusan Anies menghentikan proyek reklamasi, pada tahun lalu, itu telah membalikkan keadaan. Kala itu, publik tidak percaya Anies mampu melawan kekuatan besar para pengembang yang dibekingi pusat kekuasaan.
Soalnya, beberapa hari sebelum Anies dilantik, sejumlah pihak sudah mengunci rencana Anies menghentikan reklamasi. Perlawanan secara terang benderang sempat ditunjukkan Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan. “Jangan berpikir semua orang di negeri ini maling,” sergah Luhut, 17 Oktober 2017 lalu.
Sumber: IndoPos
Menteri senior di Kabinet Kerja itu menjadi sorotan karena menggeber pengurukan laut di Teluk Jakarta hanya sepuluh hari menjelang pelantikan penguasa baru di Ibu kota demi mengunci mati proyek kontroversial tersebut.
Ia meneken surat keputusan pencabutan moratorium reklamasi Pulau C, D, dan G–tiga dari rencana 17 pulau buatan di sepanjang 32 kilometer Pantai Utara Jakarta–pada Kamis 5 Oktober 2017. Padahal, Anies akan dilantik pada Senin 16 Oktober 2017 mempunyai janji politik untuk menyetop proyek pengurukan laut lebih dari 5.000 hektare itu.
Sebagai informasi, Pulau C dan D dimiliki PT Kapuk Naga Indah, anak usaha raksasa properti Grup Agung Sedayu. Sementara, PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha gergasi properti Agung Podomoro menguasai Pulau G.
Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017 yang diteken Luhut tidak klop dengan keputusan pendahulunya Rizal Ramli. Pada 19 April 2016, Rizal menerbitkan surat keputusan yang menghentikan total reklamasi Pulau G dan menunda reklamasi Pulau C dan D.
Lalu, menjelang lengser, Gubernur Djarot Saiful Hidayat menandatangani Peraturan Gubernur Nomor 137 Tahun 2017 tentang Panduan Rancang Kota Pulau G. Uniknya, dalam Ketentuan Peralihan di dalamnya, dinyatakan bahwa jika terdapat perbedaan pemanfaatan ruang antara Pergub dengan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, maka Pegub itu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku.
Djarot seakan menerbitkan Pergub yang sekadar menjadi ban serep bagi Raperda yang belum jelas nasibnya di DPRD itu. Karena itu, sulit untuk tidak mengatakan Pergub lahir prematur.
Anies berhasil menghentikan proyek reklamasi, namun tidak bisa menghentikan pembangunan rumah dan gedung di atas tanah reklamasi yang terlanjur jadi. Namun, kini ia kalah untuk Pulau H. Ini bisa menjadi awal yang buruk bagi perjuangannya menghentikan proyek yang merusak lingkungan itu. Pengembang lainnya bisa melakukan gugatan yang sama.
Asal tahu saja, yang dihadapi Anies bukan tokoh sembarangan. Untuk mengurug 5.000 hektare pantai dengan nilai proyek sekitar Rp5.407 triliun saja mereka sanggup, apalagi hanya mengupayakan beberapa lembar surat keputusan saja. (CeknRicek)