Jakarta, LiraNews– Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menemui Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) RI Sudaryono dan menyerahkan surat pernyataan atas penolakan aturan yang menekan komoditas dan keberlangsungan mata pencaharian petani, yakni Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang sedang dikebut penyelesaiannya oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024 serta pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif pada PP itu sendiri.
Petani tembakau menitipkan harapan dan bantuan pemerintah untuk menghentikan pembahasan RPMK sebagai aturan teknis dan meninjau ulang PP No. 28/2024. Sebabnya, RPMK yang masih dalam bentuk rancangan ini memuat ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek yang akan sangat merugikan mata rantai industri tembakau, termasuk petani.
“Akan saya baca dan saya pelajari ya,” ujar Sudaryono, Kamis (12/9) pada acara Pameran Perkebunan Expo di ICE BSD, Tangerang Selatan.
Sekretaris Jenderal APTI K Muhdi menilai regulasi tersebut bukan hanya merugikan pelaku industri hasil tembakau (IHT), tapi juga mengancam 2,5 juta petani tembakau yang menggantungkan hidupnya pada komoditas strategis nasional ini.
“Ekosistem pertembakauan ini sangat erat keterikatan antara hulu hingga hilirnya. Jika hilirnya terus ditekan, di hulunya ada petani yang terdampak,” tegas Muhdi.
Muhdi pun memaparkan, dampak dari pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif di PP Kesehatan tersebut langsung berdampak pada serapan dan penurunan harga di tingkat petani.
Muhdi mencontohkan, daerah sentra produksi seperti di Bojonegoro yang mengalami penurunan harga sampai dengan 10% di masing masing jenisnya.
“Ini menjadi kekhawatiran karena hampir 99% tembakau lokal mengandalkan penjualan hasil panennya ke pabrik rokok,” ungkap Muhdi.
Pria asal Lamongan ini secara khusus menyoroti dorongan rancangan kemasan polos dan pelarangan total iklan yang sangat diskriminatif terhadap produk tembakau.
Disinyalir, ada kepentingan pihak tertentu untuk mendorong aturan yang memberatkan bagi petani di Indonesia. Padahal, Indonesia berbeda dengan negara lain, karena di Tanah Air terdapat industri tembakau yang menyerap jutaan tenaga kerja mulai dari hulu ke hilir.
“Bagaimana petani bisa tenang bercocok tanam dan mencari nafkah, sementara kita tahu ada upaya tersistematis dan masif yang akan segera mengubah aturan pertembakauan Indonesia agar sama dengan negara-negara yang meratifikasi Framework Convention for Tobacco Control (FCTC), mematikan tembakau di Indonesia dengan regulasi kemasan polos. Negara-negara lain jelas-jelas ekosistem pertembakauannya tidak selengkap di Indonesia dari mulai petani hingga pedagang bahkan negara tergantung pada tembakau,” papar Muhdi.
Apalagi, tutur Muhdi, saat ini di bulan September adalah momentum masa puncak panen tembakau.
Muhdi sangat menyayangkan ada upaya-upaya yang mau memupuskan harapan petani dan mematikan keberadaan tembakau di Indonesia.
“Harusnya petani saat ini riang gembira memanen hasil ladangnya. Apalagi tahun ini kuantitas dan kualitas hasil produktivitas petani dapat disimpulkan cukup baik. Tapi, dengan adanya langkah kejar target Kemenkes mengesahkan RPMK yang mencakup kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau, sama saja dengan menjegal petani mencari nafkah,” tambahnya.
Kementerian Kesehatan telah melaksanakan public hearing Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik pada tanggal 3 September 2024 di mana aturan tersebut mengatur tentang standardisasi kemasan, desain dan tulisan kemasan produk tembakau yang akan menyeragamkan kemasannya, atau biasa dikenal dengan kemasan rokok polos tanpa merek.
Namun sayangnya, petani tembakau dan cengkeh tidak menerima undangan dari Kemenkes, meskipun sejumlah asosiasi tembakau tetap berupaya masuk dalam sesi tersebut dengan harapan pendapatnya didengar dan diakomodir pemerintah. LN-RON