Aturan DMO, Mulyanto Desak Pemerintah Tak Lembek Pada Taipan Batubara

Jakarta, LiraNews – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta pemerintah tetap berlakukan aturan domestic market obligation (DMO) atau prioritas penjualan di dalam negeri bagi komoditas batubara.

Hal ini penting dilakukan agar pasokan batubara untuk kebutuhan industri dalam negeri, utamanya kebutuhan pembangkit listrik dapat terjamin.

Read More
banner 300250

Mulyanto menegaskan, pemerintah jangan mau tunduk pada kepentingan pengusaha yang minta penghapusan kebijakan DMO.

“Sampai hari ini, DMO adalah instrumen yang terbukti sangat efektif untuk mengimplementasikan kebijakan umum energi nasional, yakni menjadikan sumber daya energi bukan sekedar sebagai komoditas ekonomi yang diekspor untuk mendapatkan pemasukan negara, tetapi untuk mendukung pembangunan nasional,” papar Mulyanto kepada para wartawan, Jumat (19/11/2021).

Menurut Mulyanto, kebijakan energi Indonesia tidak menjadikan sumber daya energi, seperti batubara, minyak, gas, dan lain-lain sebagai komoditas ekonomi yang dikeruk sekedar untuk meningkatkan devisa negara.

“Tapi yang utama sebagai sumberdaya penunjang penyelenggaraan pembangunan nasional,” ujar Wakil Ketua F-PKS Bidang Industri dan Pembangunan ini.

Mulyanto menambahkan DMO adalah upaya Pemerintah untuk menjamin pasokan batubara bagi keperluan domestik, baik dari segi volume maupun harga.

Dari sisi harga, ungkap Mulyanto, DMO adalah sebentuk ‘subsidi’ di sisi hulu bagi ketahanan energi nasional.

“Karena harga batubara DMO untuk listrik umum hanya sebesar USD 70 per metrik ton. Padahal harga batubara internasional sempat meroket menembus angka USD 267 per metrik ton,” beber Mulyanto.

“Bayangkan bila tanpa DMO, tarif listrik atau subsidi listrik akan melonjak 3 kali lipat,” sambung Mulyanto.

Dengan ketentuan DMO saja, kata Mulyanto, masih banyak perusahaan batubara yang nakal, yang cari untung lebih, dengan mengalokasikan batubara untuk kebutuhan dalam negeri kurang dari 25 persen produksinya. Bagaimana bila tidak ada DMO?

Mulyanto mengungkapkan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Kementerian ESDM, Senin (15/11/2021) diketahui ternyata dari 500 an perusahaan batubara, hanya 85 perusahaan yang patuh atas aturan ini, sementara selebihnya melanggar ketentuan DMO.

“Jadi alih-alih dihapus, Pemerintah harusnya konsisten menegakkan aturan DMO ini. Tidak cukup sekedar denda, yang tidak seberapa dan dapat ditutup oleh produsen batubara dari keuntungan ekspor,” tukas Mulyanto.

Mulyanto berpendapat, perlu sanksi yang lebih tegas lagi misalnya pelarangan ekspor, pengurangan kuota produksi atau kalau perlu pencabutan izin produksi.

“Pemerintah jangan lembek terhadap taipan batubara, yang keuntungannya berlipat-lipat saat harga batubara melejit,” ucap Mulyanto.

Justru, saran Mulyanto, semestinya pemihakan pemerintah adalah kepada rakyat dengan menyediakan listrik dengan tarif terjangkau, apalagi di tengah pandemi yang belum berakhir.

Mulyanto menyebut, ketentuan DMO ini cocok dengan semangat keputusan MK terkait UU No. 4/2020 tentang Minerba, di mana MK membatalkan pasal yang ‘menjamin’ perpanjangan secara otomatis PKP2B atau KK yang habis masa izinnya.

“Artinya, PKP2B atau KK yang melanggar ketentuan DMO selayaknya tidak diperpanjang izin produksinya oleh pemerintah,” tutup Mulyanto.

Untuk diketahui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 255.K/30/MEM/2020 tentang pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri tahun 2021 menetapkan persentase minimal penjualan batubara DMO sebesar 25 persen dari rencana jumlah produksi batubara tahun 2021, yang disetujui oleh pemerintah, dengan harga untuk kebutuhan tenaga listrik kepentingan umum sebesar USD70 per metrik ton.

Sedang untuk kebutuhan bahan baku/bahan bakar industri semen dan pupuk sebesar USD90 per metrik ton.

Harga komoditas batubara terus merangkak sejak semester II/2021 seiring dengan tingginya permintaan batubara di pasar global. Harga batu bara di bursa ICE Newcastle untuk kontrak Desember 2021 sempat mencapai US$267 per metrik ton.

Related posts