Babak Baru Mobil Listrik: PP dan Perpres Siap Terbit

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan kebijakan baru untuk industri otomotif sudah rampung dan disetujui seluruh Kementerian terkait. Kebijakan yang dimaksud adalah Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (PP) terkait kendaraan elektrifikasi di Indonesia.

“Perpres dan PP akan akan disampaikan oleh Presiden RI segera karena seluruh menteri sudah menyepakati dan telah menandatanganinya,” ucap Sri Mulyani di Gaikindo Indonesia International Motor Show (GIIAS) 2019, Tangerang, Rabu (24/7).

Perpres dan PP ini nantinya diharapkan bisa mengubah iklim industri otomotif dalam negeri. Sebab, segala hal demi menciptakan percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai mulai dari insentif fiskal dan nonfiskal tercantum di dalamnya.

Nantinya, kata Menteri Sri, PP akan menjadi acuan untuk mendorong penggunaan kendaraan bermotor yang hemat energi dan ramah lingkungan. Pada PP ini, diatur segala penghitungan baru terkait besaran tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau PPnBM kendaraan bermotor.

PP baru ini juga punya klasifikasi kendaraan yang lebih luas, terdiri dari kendaraan penumpang rendah emisi (KBH2), mobil hybrid, Plug in Hybrid Electrified Vehicle (PHEV), Flexy Engine, serta mobil listrik. “Diskriminasi pengenaan PPnBM tidak lagi berdasarkan bentuk melainkan kapasitas mesin (3.000 cc ke atas), gas buang atau emisi kendaraan, serta bahan bakarnya,” ujarnya.

Kapasitas mesin di atas 3.000 cc akan terbagi dalam tiga kategori yaitu kendaraan di 3.000 cc, 3.000 cc – 4.000 cc, dan di atas 4.000 cc. Sedangkan untuk besaran pajak yang dikenakan dimulai dari 15% sampai 70%, yang dihitung berdasarkan gas buangnya. “Artinya, kendaraan yang memiliki gas buang lebih rendah akan mendapat support lebih. Sehingga Indonesia menjadi negara yang yang bersih dari polusi karena kendaraan,” lanjut dia.

Sedangkan Perpres, lebih detil mengatur tentang tarif impor kendaraan listrik, pemberian tax holiday, tax allowance, insentif bea masuk ditanggung pemerintah atas importasi bahan baku dan atau bahan penolong yang digunakan dalam rangka proses produksi, pembangunan infrastruktur guna mendukung kendaraan listrik, bantuan kredit modal kerja untuk swap baterai, serta sertifikasi kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM).

Kendaraan yang masuk dengan Incompletely Knocked Down (IKD) dan Complete Knocked Down (CKD) diberikan jangka waktu tertentu untuk mendorong pertumbuhan industri itu sendiri di dalam negeri dan meningkatkan konten lokalnya.

Jangka waktu tersebut berkisar antara satu sampai tiga tahun atau disesuaikan. Bagi produsen otomotif yang berkomitmen untuk melakukan investasi atau memberi value added bagi Indonesia seperti menambah lokal konten di kendaraannya, akan diberi keringanan.

Sedangkan tax holiday adalah fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) yang diberikan pada produsen otomotif yang menanamkan modalnya untuk baterai dan motor listrik. Besarannya, menurut Paket Kebijakan Ekonomi XVI adalah sebagai berikut:

  • Nilai investasi Rp 500 miliar – kurang dari Rp 1 triliun dapat pengurangan PPh 100 persen selama 5 tahun.
  • Nilai investasi Rp 1 triliun – kurang dari Rp 5 triliun, dapat pengurangan PPh 100 persen selama 7 tahun.
  • Nilai investasi Rp 5 triliun – kurang dari Rp 15 triliun, dapat pengurangan PPh 100 persen selama 10 tahun.
  • Nilai investasi Rp 15 triliun – kurang dari Rp 30 triliun, pengurangan PPh 100 persen selama 15 tahun.
  • Nilai investasi minimal Rp 30 triliun, pengurangan PPh 100 persen selama 20 tahun.
  • Setelah tax holiday berakhir, diberikan pengurangan PPh sebesar 50 persen selama 2 tahun.

Selanjutnya ada Tax Allowance yang diberikan untuk industri suku cadang, aksesori kendaraan, dan industri komponen kendaraan lainnya yang berkaitan dengan kendaraan rendah emisi dan listrik.

 

Lalu ada juga pembebasan bea masuk bagi bahan baku dan bahan pembantu untuk produksi kendaraan listrik serta kemudahan impor untuk kebutuhan ekspor. “Sehingga target ekspor bisa terpenuhi. Saya harap, ekspor industri otomotif bisa mencapai 1 juta kendaraan,” harapnya.

Insentif non fiskal yang diatur dalam Perpres meliputi dukungan pembuatan infrastruktur seperti Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU), bantuan kredit modal kerja untuk swap baterai, serta sertifikasi kompetensi pengembangan SDM dan produk.

 

“Bagi industri otomotif yang menyediakan pelatihan vokasi untuk mengembangkan SDM dan melakukan inovasi serta penelitian dan pengembangan (RnD) di bidang terkait akan mendapat super deductible tax (pengurangan pajak di atas 100 persen). Besaran keringanan membayar pajak ke pemerintah ini bisa sampai 300 persen,” ujar Sri Mulyani.

Subsidi

Subsidi, menjadi hal yang paling diperlukan untuk mendorong pertumbuhan penggunaan mobil listrik, atau setidaknya insentif. Pasalnya, saat ini harga baterai untuk kendaraan listrik berada di kisaran US$200/Kwh, menurut Direktur Penelitian konsultan Wood Mackenzie, Sushant Gupta.

Sementara satu mobil listrik ukuran sedang (mobil penumpang biasa) rata-rata menggunakan kapasitas baterai 60 Kwh untuk menempuh jarak 250-300 mil. Dengan demikian, rata-rata harga baterai untuk satu mobil listrik mencapai US$12.000 atau setara dengan Rp168 juta (asumsi kurs Rp 14.000/US$). Dalam kondisi tersebut, harga mobil listrik akan lebih mahal sekitar 30-35% dibanding mobil konvensional apabila tidak disubsidi

Pada saat ini, mobil ramah lingkungan memang membutuhkan subsidi dari pemerintah. Insentif yang diberikan menjadi penting untuk meningkatkan daya beli konsumen. Menurut Chaikal Nuryakin, peneliti dari Institute for Economic and Social Research Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, subsidi sangat penting untuk mereduksi jarak harga antara mobil listrik dan mobil konvensional.

Hasil survei para peneliti dari Universitas Indonesia, subsidi yang diberikan minimal Rp44 juta untuk satu mobil ramah lingkungan. Nilai subsidi itu berlaku untuk mobil ramah lingkungan yang diproduksi di dalam negeri. “Ini harganya harus sekitar Rp221 juta (setelah subsidi). Dengan harga itu ya harus ada insentif dari pemerintah sekitar Rp44 juta,” kata Chaikal dalam acara seminar otomotif mobil listrik Indonesia-Jepang di kantor Kementerian Perindustrian, awal tahun ini.

Selain insentif yang diterima konsumen, pemilik kendaraan ramah lingkungan harus menerima keuntungan lain, di antaranya kebebasan pengguna mobil listrik melalui jalur khusus TransJakarta dan bebas aturan ganjil-genap pelat nomor kendaraan.

Di satu sisi ia mengapresiasi PLN yang akan memberi potongan harga tarif listrik di malam hari untuk pemilik mobil listrik. “Makanya supaya bisa kita harus dapat insentif selain pajak,” ujarnya.

Berkaca pada negara-negara Eropa, pengguna mobil listrik mendapat insentif yang cukup besar dari pemerintah. Contoh paling menonjol Norwegia. Pembeli mobil listrik di sana tidak perlu membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di Indonesia, PPN dipatok 10%. Kalau ditiadakan akan sangat besar dampaknya pada harga jual mobil. Selain itu pemilik mobil listrik di Norwegia bebas pajak registrasi. Di Indonesia, pajak registrasi mobil kelas menengah berada di kisaran 1 juta-an per tahun. Di China juga ada banyak insentif bagi pengguna mobil listrik, dan sebaliknya disinsentif untuk mobil nonlistrik.

Selain mobilnya, hal penting lain yang juga diperlukan untuk mendorong penggunaan mobil listrik adalah infrastruktur pendukung, seperti pos pengisian energi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa saat ini tempat pengisian daya listrik umum tidak banyak tersebar di Indonesia. Bahkan di Ibu Kota Jakarta saja masih sangat minim.

Memang, sudah ada beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang telah memiliki fasilitas pengisian daya listrik. Namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan di Eropa. Berdasarkan data dari European Alternative Fuel Observatory, setidaknya ada 150.000 titik pengisian daya listrik yang tersebar di seluruh daratan Eropa.

Belanda tercatat sebagai pemilik titik pengisian terbanyak, yaitu sebesar 37.000 unit, disusul Jerman dengan jumlah 26.200 unit. Adapun Perancis dan Inggris memiliki titik pengisian masing-masing sebanyak 24.700 unit dan 18.200 unit.

Indonesia tampaknya harus tancap gas untuk mengejar ketertinggalan ini. Mobil ramah lingkungan adalah tuntutan.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *