Jakarta, LiraNews.com –Gereja Santa Clara akhirnya berdiri di Bekasi Utara, Jawa Barat. Gereja ini diresmikan Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, di tengah gema takbir Idul Adha, Minggu (11/8). Menjelang peresmian, saat para jemaah gereja berdatangan, beberapa jengkal dari gereja, warga Muhammadiyah Bekasi Utara sedang melaksakan salat Id. Selain Rahmat, hadir dalam peresmian itu wakil dari Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dan wakil dari GP Anshor.
Pada hari itu Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo memberkati bangunan gereja yang terletak di Jl. Lingkar Utara, RT 003/06, Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Bekasi Utara.
Berdirinya gereja ini patut disyukuri, karena sebelumnya umat Islam, warga sekitar, sempat memprotes kehadiran tempat ibadah yang diisukan terbesar di Asia. Pihak gereja, menyebutnya telah “menguras tenaga, emosi dan dana yang tidak sedikit” untuk mendirikan tempat ibadah tersebut. “Sebuah perjalanan panjang,” ujar Pastor Paroki Bekasi Utara Romo Raymundus Sianinipar, sembari menambahkan bahwa cita-cita umat paroki untuk memiliki gereja yang representif ini sudah sejak 1998.
Urusan membangun rumah ibadah bagi kaum minoritas memang masih menjadi perkara pelik di sejumlah daerah. Masalah Gereja Santa Clara di Bekasi Utara, adalah salah satunya. Kendati sudah menjalani prosedur yang digariskan pemerintah, pembangunan tempat ibadah jemaat Katolik ini diwarnai demo penolakan oleh sejumlah elemen masyarakat.
Sejak peletakan batu pertama pada 5 Desember 2015 silam, pendirian gereja di atas tanah 6.000 m2 ini terus-menerus mendapat protes. “Ya, sejak awal berdiri,” ujar juru bicara Gereja Santa Clara, Rasnius Pasaribu.
Aksi itu seharusnya tidak perlu terjadi jika semua pihak memahami aturan pendirian rumah ibadah. Proses pengurusan izin gereja mengikuti Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Praktiknya, PBM dua menteri ini sering tak maksimal mencegah aksi penolakan.
Kecamatan Bekasi Utara dihuni mayoritas Muslim. Pada saat gereja ini akan dibangun, tersebar isu bahwa Gereja Santa Clara ini bakal menjadi gereja terbesar se-Asia. Itulah yang mengundang protes umat Islam daerah ini.
Karena isu itu, pihak gereja merasa perlu menjumpai sejumlah tokoh agama Islam setempat. Mereka menjelaskan gereja yang dibangun hanyalah 1.500 meter. Total lahan seluas 6.000 m2 selebihnya dipakai untuk balai pengobatan, parkiran, ruang terbuka hijau, hingga rumah pastor.
Pihak gereja telah mengurus izin pembangunan sesuai prosedur yang berlaku di Pemkot Bekasi. Juga melalui verifikasi berlapis hingga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sesuai dengan PBM 2 Menteri. “Pengajuan izin pembangunan sudah dilakukan sejak 2003,” ujar Rasnius. Pemkot Bekasi mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada 28 Juli 2015.
Izin itu diperoleh setelah semua persyaratan yang diajukan diverifikasi oleh pihak kelurahan dan kecamatan. Kemudian, pemeriksaan berlanjut di tingkat yang lebih tinggi lain, yakni Kementerian Agama, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, dan FKUB Kota Bekasi. “Mereka sudah memberikan penilaian dan rekomendasi,” terangnya.
Persoalannya, menurut Anggota Majelis Umat Beragama (MUB) Bekasi Utara, Miftah Hudawi, ada yang dilupakan oleh pihak gereja. Mereka tidak menjalin komunikasi dengan para kiai dan tokoh umat Islam setempat. “Di era maraknya berita palsu atau hoaks, membangun komunikasi itu penting,” ujarnya.
Para anggota MUB telah melihat langsung proses pembangunan gereja itu beberapa bulan lalu. “Pihak gereja aktif bersilaturahim serta mengundang tokoh agama Islam. Mereka diajak melihat dari dekat proses pembangunan tempat ibadah itu. Hasilnya, kini Gereja Clara berdiri dengan damai,” lanjutnya.
Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, pada saat peresmian juga mengajak umat Santa Clara untuk tetap menjaga dan mengembangkan silaturahim yang baik dengan masyarakat tempat mereka berada. Rahmat ingin berdiri di atas kepentingan semua rakyat. Maka, ia terkesan membela pendirian gereja ini. Pada saat masyarakat mendesak agar dirinya mencabut IMB gereja itu, Rahmat sempat bilang “biar kepala saya ditembak takkan melakukan itu”. Ada sekitar 324 ribu warga Bekasi yang non-muslim. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama, termasuk untuk beribadah.
Pepen, begitu kader Partai Golkar ini dipanggil, mengatakan pemberian izin berdirinya gereja ini adalah soal regulasi dalam menjawab kebutuhan, dan masalah integritas. “Dari aspek regulasi, sudah memenuhi syarat untuk memiliki gereja. Karena umatnya ada dan regulasinya terpenuhi, maka tidak ada alasan untuk tidak memberikan izin. Sebuah negara harus memberikan kepastian kepada warganya. Seorang pemimpin harus berdiri di kaki semua umat. Kota ini heterogen, plural dan izin itu keluar atas dasar itu semua,” ujarnya.
Selain Santa Clara, di Bekasi sendiri ada tiga gereja lain yang pembangunannya diprotes dan mendapatkan aksi penolakan. Ketiga gereja adalah Galilea di Kelurahan Jakasetia, Stanislaus Koska di Kecamatan Jatisampurna, dan Manseng di Kecamatan Bekasi Utara. Meski sempat menuai penolakan, akhirnya penyelesaian polemik ini berlangsung damai dan keberadaanya diterima oleh masyarakat.
Komnas HAM memberikan penghargaan kepada Pepen atas perjuangannya menegakkan prinsip-prinsip toleransi pada 16 Maret 2017. Pepen dianggap mampu mendedikasikan kepemimpinannya untuk melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ia tegas mempertahankan kebijakannya dalam penerbitan IMB.
Islam Minoritas
Peristiwa yang mirip dengan kasus di Santa Clara di Bekasi Utara banyak pula terjadi di daerah lain yang mayoritas muslim. Di sisi lain, penolakan pembangunan rumah ibadah juga menimpa agama mayoritas di negeri ini, yakni Islam. Misal, sejumlah elemen masyarakat non-Muslim di Kota Bitung, Sulawesi Utara, pernah menolak pembangunan Masjid Asy-Syuhada. Menurut perwakilan Masjid Asy-Syuhada, Karmin Mayau, dalam 10 tahun terakhir, umat Islam kesulitan dalam mendapatkan izin membangun masjid.
Di wilayah yang Islam menjadi minoritas, beberapa kali penolakan itu terjadi. Pada akhir 2015, warga Manokwari yang sebagian besar berasal dari Gereja Kristen Injili menolak pembangunan masjid di Kompleks Anday, Distrik Manokwari Selatan, Papua Barat. Para pendemo menilai pembangunan di lokasi itu akan merusak kerukunan umat beragama di Manokwari. Alasannya, tempat itu merupakan pintu masuk pertama agama Kristen ke Papua.
Bahkan, umat Islam di Kabupaten Tolikara, Papua, pernah merasakan langsung teror ketika pelaksanaan ibadah. Pada 17 Juli 2015, sekelompok warga yang diduga dari Gereja Injili di Indonesia meminta umat Islam menghentikan Salat Idulfitri. Aksi massa tidak sampai di situ, mereka membakar masjid, enam rumah, dan 11 kios.
Tidak berlebihan rasanya, jika kasus Bekasi Utara dijadikan proyek percontohan bagi pembangunan toleransi beragama. Rahmat Effendi telah menunjukkan sikap dan prinsip bahwa sesama umat beragama memiliki hak yang sama untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah sesuai agama dan keyakinannya masing-masing. Sikap ikhlas umat Islam di Bekasi Utara menjadikan Idul Adha di daerah ini menjadi rahmat bagi semua, karena Islam adalah rahmatan lil alamin: memberi rahmat bagi seluruh alam.