Jakarta, LiraNews.Com — China mendevaluasi yuan untuk keduakalinya sejak 2015. Ini kali cara tersebut digunakan untuk menghadapi ancaman kenaikan tarif dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Yuan yang kian melemah tidak hanya membuat harga produk China jadi lebih murah di pasar internasional. Di saat bersamaan, harga barang yang diimpor oleh China juga menjadi terlihat lebih mahal.
Kondisi ini sungguh membahayakan Indonesia. Crude Palm Oil (CPO) dan batubara yang diimpor oleh China, dari Indonesia akan lebih mahal ketimbang sebelum yuan didevaluasi. “Beberapa hari terakhir harga CPO memang sempat rebound tapi rentan tekanan. Sebab pasar masih diselimuti ketidakpastian,” kata Deddy Yusuf Siregar, Analis Asia Trade Future kepada Kontan, Rabu (7/8).
Di sisi lain, kedua komoditas ekspor andalan Indonesia itu masih dipayungi sentimen negatif. Soal CPO, keputusan China menangguhkan impor produk pertanian dari AS, salah satunya kedelai, bakal merembet ke harga CPO.
Foto : Bisnis.com
Kedelai dan CPO sama-sama berstatus sebagai sumber energi alternatif, dalam hal ini untuk biodiesel. Sehingga pergerakan harga salah satu komoditas kerap berpengaruh terhadap komoditas substitusi lainnya.
Lebih jauh lagi, pelemahan yuan membuat barang-barang ekspor China bakal lebih murah. Ini akan mengancam pasar Indonesia. Pada awal bulan ini, yuan masih berharga Rp2.244. Pada Rabu (7/8) nilai tersebut makin rendah menjadi Rp2.016.
Sementara itu, terhadap dolar Amerika Serikat, nilai tukar yuan melorot ke level CNY7/US$, tepatnya CNY7.05/US$ pada Rabu (7/8). Level ini terakhir kali ditembus 11 tahun lalu, tepatnya saat krisis ekonomi 2008.
Bukan hanya CPO. China merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Pada tahun 2018, menurut UN Comtrade, total ekspor Indonesia ke China mencapai US$27,13 miliar. Apabila transaksi yang dilakukan perusahaan eksportir menggunakan yuan, maka ketika dikonversi ke rupiah, nilainya menjadi lebih rendah.
Di sisi lain, barang China yang masuk ke Indonesia akan lebih kompetitif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 28,49% impor non-migas Indonesia berasal dari China.
Sumber : Anadolu Agency
Hingga kuartal I 2019, impor asal China tercatat US$14,37 miliar, sedangkan ekspor Indonesia ke China hanya US$7,27 miliar. Indonesia mengalami defisit berdagang dengan China yakni mencapai US$7,1 miliar atau meningkat dibanding setahun sebelumnya, yakni US$5,76 miliar.
Pada 2018, barang yang paling banyak diimpor adalah telepon seluler dengan nilai mencapai US$3,72 miliar. Kemudian mesin pengolah data otomatis dengan total nilai US$1,65 miliar. Selebihnya adalah barang yang sebagian besar merupakan bahan baku produksi di berbagai industri, elektronik, konstruksi, dan kimia.
Selain CPO dan batu bara, ekspor Indonesia ke China sepanjang tahun 2018 di antaranya, bahan bakar migas, bubur kayu, kertas, baja dan besi, serta bijih tembaga dan ampas hasil pabrik.
“Masa depan perang dagang semakin tidak pasti. Indonesia terdampak dari sisi ekspor dan impor sekaligus. Ekspor (Indonesia) ke AS dan China (Tiongkok) melambat, sementara produk China yang murah karena devaluasi yuan akan menyerbu Indonesia dan membuat defisit perdagangan melebar,” ujar ekonom Indef, Bhima Yudhistira, Selasa (6/8).
Proteksi
Perang mata uang (currency war) bagaimana pun menimbulkan kekhawatiran pada dunia usaha di seluruh dunia.”Daya saing mereka untuk ekspor semakin meningkat. Semakin banyak yang diekspor ke Indonesia,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja.
Foto : Kompas
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perdagangan, Benny Soetrisno, menyerukan perlunya diterapkan kebijakantrade remedies untuk menghadapi serbuan barang China ke pasar dalam negeri. Trade remedies merupakan proteksi dalam pengendalian impor untuk mencegah praktik perdagangan yang tidak sehat. “Lakukan trade remedies untuk produk yang sudah diproduksi industri dalam negeri,” katanya, kepada CNBC Indonesia, Rabu (7/8).
Shinta mengatakan China memiliki kebebasan untuk menentukan nilai tukar mata uangnya. “Asalkan mereka mampu menanggung segala konsekuensinya antara lain seperti kecukupan reserves atau devisa, tekanan transaksi di pasar domestik dan internasional yang menggunakan mata uang tersebut, perhitungan pencegahan krisis moneter, dan lain-lain,” katanya.
Konsekuensinya produk China semakin berdaya saing, dan pembentukan harga karena faktor kurs akan sulit dipersoalkan di organisasi perdagangan dunia (WTO), dalam konteks perdagangan yang tidak adil. “Jadi, kita tidak bisa mengukur berapa sebenarnya harga produk China bila diukur dengan harga pasar yang berlaku,” jelasnya.
Foto : Ifeng
Kondisi ini yang membuat Indonesia dan negara lainnya sulit untuk mengatakan adanya subsidi atau dumping pada produk China. Sebab berdasarkan aturan WTO, tuduhan dumping dan subsidi, berpatokan pada harga yang berlaku di pasar internasional. “Jadi perbandingannya menjadi tidak fair karena nilai tukar mereka sangat rendah sementara nilai tukar kita dan negara pembanding lain sangat tinggi,” kata Shinta.
Kini, untuk mengatasi serbuan produk murah asal China, pemerintah perlu melakukan pengawasan perdagangan dan pengawasan permintaan dalam negeri yang menyangkut kuantitas dan kualitas produk. Skema ini biasanya dengan penerapan proteksi nontarif yang lazim diberlakukan oleh negara-negara saat ini, untuk menjaga produknya.
Indonesia dan negara-negara lain di dunia hanya mempunyai sedikit peluang untuk mengatasi isu murahnya barang dari China akibat devaluasi yuan. (ceknricek)