Dua Tokoh Perempuan yang Berseberangan terkait Makna Kekerasan Seksual Kampus

Jakarta, LiraNews –Pro kontra Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbudristek RI) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi masih terus berlanjut.

Persoalan pokok yang menuai polemik bersumber dari frasa ’tanpa persetujuan korban’ sebagaimana yang tercantum pada beberapa pasal dalam Permendikbudristek Nomor 30 tersebut.

Read More
banner 300250

Kelompok penolak Permendikbud melabeli frasa ‘tanpa persetujuan korban’ sebagai aturan yang melegalkan perzinahan hingga perilaku seks bebas di dalam kampus, maupun hubungan seksual di luar pernikahan.

Bahkan, paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) bisa menjurus pada perilaku seks bebas (liberalisme seks).

Sementara kubu yang pro, menilai Permendikbudristek ini sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, salah satunya karena mengatur soal consent atau persetujuan.

Dari perspektif agama, Host acara News Talk Show Forum Fristian di TVRI, Fristian Griec menanggapi polemik tersebut dengan mengutip Injil matius 5:27-28.

”Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berbicara kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya,” ujar Fristian seperti dilansir tenggarapers.com, Sabtu (13/11).

Menurut alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung itu, Permendikbud Ristek Nomor 30 menuai polemik lantaran adanya sejumlah klausul yang memuat frasa ’tanpa persetujuan korban’.

”Sebagian pihak menilai melegalkan zina melalui sejumlah klausul yang memuat frasa ’tanpa persetujuan korban’,” tutur mantan jurnalis Kompas TV itu.

Fristian Griec

Fristian mengungkapkan, dengan penafsiran secara argumentum a contrario (metode penafsiran hukum berdasarkan perlawanan pengertian), mereka yang telah dewasa atau cukup umur menurut hukum, jika menyatakan setuju dan/atau atas kemauannya melakukan suatu perbuatan yang sebelumnya berkategori sebagai kekerasan seksual maka pelakunya tidak lagi dapat terjerat secara hukum.

”Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permendikbud a quo yang memuat sejumlah klausul mengenai ’consent’ ini seharusnya direvisi,” tegasnya.

Alasannya, lanjut Fristian, karena jangan sampai keberadaan sejumlah pasal tersebut menutup mata terhadap banyak pasal lain yang memang penting dan perlu untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Sesungguhnya, dengan membaca secara lengkap dan menyeluruh, maka semangat Permendikbud a quo adalah memberikan perlindungan secara optimal kepada korban kekerasan seksual.

”Salah satunya dengan adanya jaminan keberlanjutan sekolah bagi mahasiswa dan keberlanjutan pekerjaan bagi pendidik maupun tenaga kependidikan yang menjadi korban,” jelas Fristian.

Namun, ”Consent” atau persetujuan melakukan perbuatan yang terkategori sebagai aktivitas seksual di luar nikah tentu bertentangan dengan aturan agama.

Dalam ajaran Gereja Katolik, imbuh Fristian, hubungan seksual haruslah merupakan hubungan suami-istri yang telah mendapat pengesahan dalam lembaga perkawinan.

”Hubungan suami-istri adalah untuk menyatukan dua hati dan jiwa secara mendalam dan lebih dari sekadar persetubuhan. Jadi, hubungan seksual di luar ikatan pernikahan bertentangan dengan tujuan hubungan seksual itu sendiri,” urai Fristian.

Meski begitu, Fristian berharap polemik Permendikbud a quo dapat menjadi momentum yang menyadarkan semua stake holder bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mendesak untuk mendapat pengesahan menjadi UU.

”Secara hierarkis, RUU PKS memiliki derajat lebih tinggi dibanding Permendikbud yang sedianya mengatur hal-hal yang bersifat teknis,” jelasnya.

Berbeda dengan Fristian, politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany menyebut frasa ’tanpa persetujuan korban’ penting untuk mengafirmasi kepentingan perempuan yang selama ini selalu menjadi korban.

”Frasa persetujuan korban itu penting. Bukan untuk legalisasi zina. Tapi untuk mengafirmasi bahwa perempuan punya hak penuh atas tubuhnya,” mengutip pendapatnya dalam twitter pribadinya, Sabtu (13/11/2021).

Ia pun menyebut banyak kejadian seperti pemerkosaan yang dialami oleh perempuan di Indonesia, jika itu adalah kekerasan seksual.

“Ketika hak dan kepemilikan itu dirampas seperti dalam kasus pemerkosaan, ya itu berarti kekerasan seksual,” lanjut aktivis perempuan itu.

Menanggapi banyaknya oknum yang mengkritik Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021, Tsamara menyebut selalu akan ada oknum yang menyerang perempuan secara umum.

”Kalau kita bicara isu kekerasan seksual, selalu ada pasukan yang sudah siap (menyerang). Bukan hanya untuk menyerang Permendikbud, tapi juga untuk menyerang diri kita sebagai perempuan,” ucapnya.

Tsamara mengaku, pihaknya akan terus mendukung apapun yang bertujuan untuk memerdekakan kampus dari kekerasan seksual. ”Maunya kita berhenti. Tapi harus gas terus, kita dukung kampus merdeka kekerasan seksual,” pungkasnya.

Sebelumnya, Jubir Partai Ummat, Mustofa Nahrawardaya juga menanggapi isu tersebut pada akun twitter pribadinya.

“Zina boleh, tapi gak boleh dengan kekerasan?,” katanya.

Sebagai informasi, Pasal 5 dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 mengatur rumusan norma kekerasan seksual. Di antaranya mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non-fisik, fisik, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Sementara di Pasal 5 ayat (2) aturan tersebut dijelaskan terdapat beberapa poin bentuk kekerasan seksual mencakup hal-hal yang dilakukan ‘tanpa persetujuan’.•

Related posts