Jakarta, LiraNews – Barisan pembela Anji dan Hadi Pranoto. Fenomena menarik ini dalam beberapa hari terakhir bermunculan di media sosial.
Gegara obrolan mereka ditayangkan di channel youtube, Anji dan Hadi jadi korban bully. Tayangannya di-takedown youtube. Keduanya juga dilaporkan ke polisi dan terancam pidana.
Bukan karena mereka setuju dengan pandangan Anji yang kontroversial. Apalagi percaya obat pencegah dan penyembuh corona temuan Hadi. Tapi lebih pada perlakuan yang tidak adil.
Munculnya fenomena Anji dan Hadi adalah dampak kekacauan dan disinformasi dalam penanganan corona di Indonesia. Mereka bisa dikategorikan sebagai korban.
Badan kesehatan dunia WHO bahkan menyebutnya “penyakit” baru yang tidak kalah berbahaya itu dengan sebutan unik. Infodemic. Disinformasi, pengobatan palsu.
Dalam sepekan terakhir, dua media asing berpengaruh The New York Times dan The Guardian menyoroti kekacauan penanganan Covid di Indonesia. Sikap pemerintah Indonesia dinilai meremehkan. Mendorong pengobatan palsu.
Para pejabat pemerintah lebih percaya kepada obatan-obatan buatan dukun. Quack remedies, begitu Richard C Paddock dari New York Times menyebutnya.
Kita tentu masih ingat, sebelum ditemukan pasien positif pada awal Maret, para petinggi negara sangat yakin bahwa Indonesia kebal dari Covid.
Mereka malah menjadikannya sebagai bahan candaan. Menhub Budi Karya Sumadi yakin orang Indonesia kebal. Alasannya karena sering makan nasi kucing. Sejenis nasi bungkus murah yang banyak dijual di kota Yogyakarta.
Budi akhirnya menjadi pejabat tinggi pertama yang kena Covid. Syukurlah kemudian dia berhasil sembuh.
Menkes Terawan juga menyampaikan pesan sangat meremehkan soal masker. Menanggapi petanyaan wartawan soal mahalnya harga masker, Terawan malah menyalahkan masyarakat. Salah sendiri kenapa beli?
Menurutnya yang harus menggunakan masker adalah mereka yang positiv covid, bukan yang sehat.
Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi juga kedapatan tidak mengenakan masker dengan baik di ruang publik.
Dia hanya mengenakan masker yang menutupi dagunya. Hidung dan mulutnya dibiarkan terbuka.
Mentan Syahrul Yasin Limpo mengaku Litbang Departemen Pertanian menemukan kalung anti Covid. Kalung itu terbuat dari pohon ekaliptus, yang selama ini dikenal sebagai bahan minyak kayu putih.
Syahrul sangat serius dengan temuannya itu. Dia berharap kalung itu jadi terobosan. Memutus mata rantai penyebaran Covid.
Gubernur Bali Wayan Koster meyakini minuman tradisional arak Bali sebagai obat ampuh penyembuh covid.
Dengan sangat pede dia mempromosikannya kepada Menko Marinvest Luhut Panjaitan dan Menteri Pariwisata Wisnutama.
Koster berharap keampuhan Arak Bali bisa menjadikannya sebagai komoditi yang menembus pasar internasional.
Lantas apa bedanya Syahrul dan Koster dengan Hadi Pranoto? Sama-sama mengaku menemukan obat anti virus.
Soal kompetensi medis, ketiganya juga sama-sama tidak punya.
Kalau dianggap menyesatkan publik, menyebarkan kabar bohong, bukankah dampaknya lebih berat yang dilakukan Syahrul dan Koster.
Syahrul dan Koster pejabat publik. Punya pengaruh besar. Ucapan dan tindakannya mendapat coverage media yang sangat luas.
Hadi hanya profesor abal. Begitu kedoknya terbongkar, ambyar semua bualannya. Orang tidak percaya.
Penyanyi Dangdut Iis Dahlia pernah mengenakan kalung Syahrul dan membagikan infonya kepada 12 juta followernya.
Dia mengaku merasa aman dan lebih terlindungi setelah mengenakan kalung itu.
Penyanyi lawas Yuni Shara juga mengaku membentengi diri dengan mengenakan kalung ekaliptus ketika keluar rumah.
Baik Iis dan Yuni menggunakan kosa kata yang sama. “Bangga menggunakan produk Indonesia.”
Netizen menghubung-hubungkan pemakaian jimat anti corona itu setelah mereka sebelumnya bertemu Presiden Jokowi di istana. Jokowi mengundang para seleb untuk membantu sosialisasi penanganan corona.
Jadi apa bedanya Anji dengan Is Dahlia dan Yuni Shara? Apa bedanya Hadi dengan Syahrul dan Koster.
Lebih serius lagi pertanyaannya, “Apa bedanya Menkes Terawan sebagai figur yang harusnya paling bertanggung jawab dalam penanganan pandemi dengan Anji dan Hadi?”
Terawan juga semula sangat meremehkan Covid. Menganggap kita tak perlu mengenakan masker. Dia juga sempat membagikan jamu kepada pasien pertama covid ketika sembuh.
Terawan merayakannya sambil memberi bingkisan jamu yang katanya biasa diminum Presiden Jokowi.
Inilah yang disebut oleh the Guardian “Negara dengan dampak terparah di Asia Tenggara terhambat oleh kurangnya pengujian, buruknya komunikasi dari pemerintah, dan promosi obat palsu.”
Sementara The New York Times menyebut penggunaan pengobatan palsu justru didorong oleh mereka yang seharusnya tahu lebih baik. Maksudnya tentu para pejabat pemerintah.
Kalau Anji dan Hadi harus dipenjara, bagaimana dengan Terawan, Syahrul dan Koster?
Kalau publik harus didisiplinkan dan didenda bila tidak mengenakan masker di area publik, bagaimana dengan Presiden Jokowi?
Dia sering mengenakan masker yang tak sesuai standard. Tidak _proper._ Hanya jadi asesoris.
Bukankah negara kita negara hukum. Ada persamaan di mata hukum. Equality before the law.
Ayolah berlaku adil.
Pepatah mengajarkan. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Lha ini para pejabat yang harus jadi teladan, bukan lagi kencing berdiri. Mereka sudah kencing sambil berlari.
Terus rakyatnya disuruh kencing gaya apa? End
Hersubeno Arief
Konsultan Media dan Politik