Durian Runtuh Blok Corridor untuk Asing

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, memperpanjang kontrak kerja sama Wilayah Kerja (WK) Blok Corridor di Sumatera Selatan kepada asing. Sejumlah pihak menyerukan Presiden Joko Widodo mencabut keputusan tersebut karena dianggap membelakangi konstitusi.

Pada Senin (22/7) kemarin, Menteri Jonan mengumumkan Blok Corridor akan tetap dikelola oleh operator eksisting hingga 2043 terhitung per Desember 2023. Berdasarkan perpanjangan kontrak itu, maka ditetapkan pemegang hak participating interest (PI) ConocoPhillips (Grissik) Ltd sebesar 46% sebagai operator, Talisman Corridor Ltd (Repsol) sebesar 24%, dan PT Pertamina Hulu Energi Corridor sebesar 30%.

Hak partisipasi ini sudah termasuk PI 10% yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha Milik Daerah. Jonan mengatakan keputusan perpanjangan ini diambil usai mempertimbangkan nilai investasi dan pelaksanaan komitmen kerja pasti (KKP) 5 tahun pertama.

Kontrak bagi hasil Blok Corridor ini menggunakan skema Gross Split. Perkiraan nilai investasi dari pelaksanaan KKP 5 tahun pertama sebesar US$250 juta dan Bonus Tanda Tangan sebesar US$250 juta. Di samping itu, usai Desember 2023 nanti, PI Pertamina akan naik menjadi 30% dari sebelumnya hanya 10%.

“Pemerintah fair saja sebenarnya. Kami syaratkan produksi dan minimal signature bonus dan KKP. Ini aturannya kami tawarkan ke eksisting termasuk Pertamina. Kalau enggak [setuju], oke lelang. Tapi ini oke, sampai saat ini enggak ada tawaran lain yang lebih baik,” kata Jonan dalam konferensi pers di Gedung Kementerian ESDM, Senin (22/7).

 

Dalam penjelasannya, Jonan mengatakan Pertamina nanti juga dapat menjadi operator blok ini, tetapi hanya setelah 2026 karena sesuai kesepakatan ConocoPhillips yang akan menjadi operator sampai 2026. Namun, ketika ditanya soal transisi kepada Pertamina, Jonan enggan merinci. Ia menyerahkan keputusan itu pada mereka bertiga untuk waktu yang tidak ditentukan.

Keputusan Jonan ini disesalkan banyak kalangan. Salah satunya Marwan Batubara, Direktur IRESS. Marwan menganggap keputusan Jonan bertentangan dengan konstitusi, mengurangi potensi pendapatan negara dan tidak sejalan dengan upaya peningkatan ketahanan energi nasional.

Kontrak awal Blok Corridor ditandatangani pada 21 Desember 1983 dengan tiga kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), yaitu ConocoPhillips (54%), Talisman (36%) dan Pertamina (10%). Kontrak blok migas tersebut akan berakhir pada 19 Desember 2023. Dengan perpanjangan kontrak, KESDM  menetapkan komposisi pemilikan saham berubah menjadi ConocoPhilips 46%, Pertamina 30%, dan Repsol 24%.

Blok Corridor merupakan blok gas terbesar ketiga di Indonesia setelah Proyek Tangguh dan Blok Mahakam. Sampai akhir Juni 2019, realisasi lifting gas dari Blok Corridor tercatat sebesar 827 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd).

Buntut Perubahan Permen

Marwan mengatakan keputusan Kementrian ESDM didasarkan pada Permen ESDM No.23/2018 yang inskonstitusional. Permen ini sengaja disiapkan guna memberi kesempatan kepada asing untuk terus bercokol menguasai pengelolaan migas nasional walau telah mengelola puluhan tahun.

Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said telah menerbitkan Permen ESDM No.15/2015 yang memberi prioritas pengelolaan blok-blok migas habis kontrak kepada Pertamina. Namun, setelah Ignatius Jonan menjadi Menteri ESDM, Permen ESDM No.15/2015 tersebut diubah dengan Permen No.23/2018.

Berdasarkan Putusan MK No.36/PUU-X/2012, wilayah kerja (WK) migas hanya boleh dikelola BUMN sebagai wujud penguasaan negara. Hal ini sesuai amanat Pasal 33 UDD 1945 bahwa negara melalui pemerintah dan DPR, berkuasa untuk membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola dan mengawasi sumber daya alam milik negara. Khusus untuk pengelolaan, penguasaan negara dijalankan pemerintah melalui BUMN.

Jika pemerintah patuh pada konstitusi, maka tidak ada alternatif lain kecuali menyerahkan pengelolaan WK migas yang KKS-nya berakhir kepada BUMN.

Permen ESDM No. 23 juga tak senafas dengan UU Energi No. 30/2007. Pasal 2 UU Energi menyatakan energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, berkeadilan, berkelanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional. Pasal 4 UU Energi menyatakan dalam rangka mendukung pembangunan nasional berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Menurut Marwan, Permen ESDM No. 23/2018 menyimpan misteri kemungkinan terjadinya korupsi dan perburuan rente melalui penunjukan langsung kontraktor KKS eksisting untuk melanjutkan pengelolaan suatu WK migas.

Durian Runtuh

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pernah menghitung produksi migas di Blok Corridor akan stabil jika ditemukan tambahan cadangan. Saat ini, cadangan gas terbukti di blok ini tercatat sebanyak 4 triliun kaki kubik (TCF). “Mungkin sampai 2043, itu tinggal beberapa TCF. Kalau dikalkulasikan sampai 2026, kemungkinan tinggal 2 TCF”, kata Dwi.

Jika diasumsikan cadangan tersisa Blok Corridor sekitar 3 TCF dan harga rata-rata gas adalah US$8-10/mmbtu, maka potensi pendapatan kotor Blok Corridor (sebelum dipotong biaya eksploitasi) adalah sekitar US24 – 30 miliar atau sekitar Rp336 – 420 triliun. Biaya akuisisi cadangan terbukti suatu blok migas berkisar antara 10% hingga 15% nilai cadangan. Oleh sebab itu, maka biaya akuisisi 100% cadangan Blok Corridor adalah (10% – 15%) x US (24-30) miliar = US$ 2,4 miliar – US$ 4,5 miliar!

Ternyata Pemerintah “membiarkan” kontraktor-kontrator asing yang akan menguasai 70% saham Blok Corridor cukup membayar 70% x US$250 juta (sebagai signature bonus), atau sekitar US$175 juta. “Wuiih, enak benar nih kontraktor asing, dapat durian runtuh!” ujar Marwan. “Kenapa pula KESDM membiarkan kontraktor-kontraktor asing tersebut membayar aset negara sangat murah? Saya yakin KESDM bukan tidak paham tentang praktik-praktik yang berlaku umum dalam akuisisi blok-blok operasional di seluruh dunia,” lanjutnya.

Tak hanya Marwan yang mengkritisi keputusan Jonan. Direktur Eksekutif Insitute for Essential Services and Reform (IESR), Fabby Tumiwa juga menyayangkan keputusan pemerintah ini. Fabby juga menyoroti kehadiran Permen No. 23 Tahun 2018 yang mencabut Permen ESDM No. 15 Tahun 2015.

Keputusan ini, kata Fabby, memang diatur dalam Permen No. 23 Tahun 2018 yang mengatur pemerintah dapat memperpanjang usai menilai proposal kontraktor eksisting. Kesempatan Pertamina untuk menawar hanya dapat muncul bila proposal kontraktor eksisting tak memadai. Namun, Fabby ragu dengan peluang itu karena proses penilaiannya kurang transparan.

Kementerian ESDM tak menyampaikan pokok-pokok penawaran operator eksisting sehingga sukar memahami apa yang sebenarnya ditawarkan pemerintah dan mengapa Pertamina tiba-tiba bisa mendapat PI lebih tinggi. “Menurut saya proses perpanjangan ini tertutup dan tidak diketahui publik. Kalau perpanjangan diberikan kepada operator eksisting, harus ada transparansi dasar-dasar alasan perpanjangan dan term yang disepakati,” ucap Fabby kepada Tirto, Selasa (23/7).

Kalkulasi Bisnis

Idealnya blok terminasi memang seharusnya diberikan kepada Pertamina. Secara opsi, nasib Blok Corridor bisa menyerupai Blok Rokan dan Mahakam yang “pindah” ke tangan Pertamina. Namun, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan mafhum dengan keputusan pemerintah. Sebab, ada kalkulasi bisnis dan komersial yang harus diperhitungkan karena kebutuhan uang yang diperlukan juga cukup besar.

Untuk Blok Rokan dan Mahakam saja, Pertamina harus siap menanggung investasi besar sampai 2021 nanti. Alhasil, Komaidi memaklumi bila pengelolaan Blok Corridor ini diserahkan kepada tiga pemegang PI meskipun Pertamina belum mengelolanya secara penuh. “Ini tergantung political will saja. Tapi hitung-hitungan bisnis Pertamina tidak mungkin sendiri karena perputaran uang besar. Kalau rugi di satu blok, kerugian Pertamina enggak besar,” ucapnya.

Komaidi sepakat bila partisipasi dan keterlibatan Pertamina di setiap blok migas sebaiknya digencarkan. Sebab di dunia pengelolaan memang wajar dilakukan bermitra. Kalau pun sudah, nilai PI juga dapat didorong agar Pertamina memperoleh nilai yang cukup besar. Jadi tak harus 100% dikuasai Pertamina. Idealnya dalam setiap blok Pertamina ikut. Kalau perlu PI-nya ditambah.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *