PELUNCURAN Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara, digadang-gadang sebagai transformasi besar pengelolaan aset strategis negara. Dengan klaim sebagai sovereign wealth fund (SWF) raksasa bernilai hingga 900 miliar dolar AS, Danantara diposisikan sebagai lokomotif pembangunan ekonomi nasional.
Namun, seperti kata pepatah, besar pasak daripada tiang. Janji muluk tanpa tata kelola yang kokoh justru berpotensi menjadi bumerang. Dalam semangat mendorong pertumbuhan ekonomi ke atas 6 persen sebagaimana dikemukakan ekonom senior, Danantara harus menunjukkan lebih dari sekadar simbolisme investasi dan foto-foto pertemuan bilateral.
Pertemuan Danantara dengan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), kerja sama yang dijajaki dengan BlackRock, China Investment Corporation, hingga U.S. International Development Finance Corporation, mencerminkan upaya diplomasi investasi yang agresif. Namun agresivitas semata tidak cukup. Transaksi investasi lintas negara mengandung risiko multidimensi: finansial, geopolitik, hingga etika.
Kekhawatiran atas kerja sama dengan BlackRock yang dituding memiliki afiliasi dengan industri militer Israel, misalnya, tidak boleh dipandang sebelah mata. Bangsa ini memegang teguh komitmen terhadap konstitusi dan kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut tak boleh digadaikan hanya demi aliran modal asing.
Lebih dari itu, mundurnya Ray Dalio, nama besar di kancah keuangan global, dengan alasan nepotisme dan koncoisme dalam tubuh Danantara, merupakan tamparan keras bagi integritas lembaga ini.
Dalio, yang hanya tiga bulan menjabat penasihat, bahkan menuding Danantara dijalankan layaknya “perusahaan keluarga”. Tuduhan ini tidak boleh diabaikan, apalagi di tengah kerapuhan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Presiden Prabowo Subianto telah menyebut Danantara sebagai alat pembangunan nasional. Maka sudah seharusnya Danantara dijalankan secara profesional, transparan, dan akuntabel. Penempatan figur-figur kunci seperti Rosan Roeslani, Dony Oskaria, dan Pandu Sjahrir, yang memiliki afiliasi politik dan kekuasaan kuat, menuntut mekanisme pengawasan yang lebih ketat agar tidak berubah menjadi ladang konflik kepentingan.
Bukan tidak mungkin niat mulia menjadikan Danantara sebagai motor investasi justru berubah arah menjadi sumber baru oligarki. Kita tidak ingin melihat institusi yang dibangun dari cita-cita besar malah berakhir sebagai oase palsu, menyilaukan, tapi kosong dari manfaat bagi rakyat.
Harapan masyarakat jelas: Danantara harus mampu menciptakan nilai tambah nyata. Rp120 triliun dividen yang diklaim akan diterima tahun ini harus diterjemahkan menjadi proyek strategis yang mendongkrak daya saing bangsa. Rencana investasi sebesar USD5 miliar pada 2025 mesti berjalan dengan perhitungan matang dan strategi yang inklusif, bukan sekadar uji coba elit dengan nama-nama besar.
Danantara adalah mimpi besar. Tapi mimpi hanya menjadi kenyataan bila dijalankan dengan tata kelola yang bersih, etis, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Jika tidak, lembaga ini akan menjadi pelengkap kegagalan besar pembangunan institusi keuangan negara.
Kolom Komentar