Jakarta, LiraNews –“Lamun sira sekti, aja mateni”. Begitu falsafah Jawa yang diunggah ke akun media sosial Presiden Joko Widodo, mulai dari Twitter, Facebook, hingga Instagram, Sabtu (20/7). Falsafah itu ditampilkan dalam sebuah gambar bergerak berlatar belakang warna coklat yang menunjukkan adanya tokoh pewayangan sedang memberikan padi ke sosok petani. “Zaman sudah semakin maju, tapi kita tetap mengingat pesan-pesan bijak dan agung para leluhur,” tulis Jokowi dalam kolom caption.
Ini adalah kali kedua bagi Jokowi memublikasikan falsafah yang dianutnya. Pada 25 Mei lalu, ia juga mengungkapkan tiga falsafah Jawa yang menjadi pegangannya di salah satu televisi swasta. Tiga falsafah ini, menurutnya, ia jalankan dalam kehidupan sehari-hari maupun saat memerintah negara Republik Indonesia.
“Lamun sira sekti, ojo mateni. Meskipun kamu sakti, jangan sekali-kali menjatuhkan,” ucap Jokowi. “Lamun siro banter, ojo ndhisiki. Meskipun kamu cepat, jangan selalu mendahului. Lamun sira pinter ojo minteri. Meskipun kamu pintar, jangan sok pintar,” lanjutnya.
Falsafah yang menjadi pegangan Presiden Jokowi ini diajarkan Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq sejak dahulu kala. “Yen sira landep aja natoni, yen sira banter aja nglancangi, yen sira mandi aja mateni“
Jika diterjemahkan secara bebas ajaran Sunan Kudus itu; “Jika dirimu tajam, jangan melukai, jika dirimu kencang jangan menyalip, jika dirimu sakti jangan membunuh”.
Falsafah ini mengajarkan tentang sikap kerendahan rendah hati, sopan santun, menghormati orang lain, tidak mementingkan diri dan sikap tidak menang sendiri serta penghargaan atas hak-hak orang lain, serta toleransi.
Falsafah tersebut juga terkorelasi dengan ajaran para orang tua kepada anak-anaknya yang berbunyi: “Aja adigang, adigung, adiguna”.
Dalam kamus Bahasa Jawa “Bausastra Jawa-Indonesia” susunan S. Prawiroatmojo (1980) dijelaskan bahwa:
Adigang: Membanggakan kekuatannya
Adigung: Membanggakan kebesarannya
Adiguna: Membanggakan kepandaiannya
Jadi aja adigang, adigung, adiguna bermakna jangan membanggakan kekuatan kebesaran, dan kepandaian.
Kembali ke falsafah Jawa pegangan Jokowi, lamun sira sekti, aja mateni. Eko Sulistyo mencoba membedah falsafah itu. “Bila dialihbahasakan, lamun sira sekti, aja mateni itu artinya, dia punya kekuasaan, tapi tidak lantas kemudian akan bertindak semena-mena,” ujar Eko seperti dikutip Kompas Senin (22/7).
Apabila dikaitkan dengan konteks situasi politik hari ini, lanjut Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP) ini, artinya Presiden Jokowi berikrar tidak akan bertindak semena-mena meskipun ia adalah pemenang Pilpres 2019. “Presiden tidak merendahkan rivalnya yang kalah, Prabowo Subianto,” lanjut pria yang sudah merasa dekat dengan Jokowi semenjak Presiden itu masih menjabat Wali Kota Solo.
Jokowi ingin menekankan bahwa sebagai pemenang pilpres, ia tidak akan berlaku sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya. “Bagaimanapun juga kekuasaan tidak boleh dipakai untuk menindas,” tambah Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto. “Sudah seharusnya kekuasaan dipakai untuk merangkul seluruh elemen masyarakat.”
Falsafah Soeharto
Bicara tentang falsafah Jawa, mengapungkan ingatkan kita tentang Presiden Soeharto. Dialah presiden yang paling kental menjalankan falsafah hidup orang Jawa. Pandangan hidup Pak Harto sangat dipengaruhi pergulatan perjalanan hidupnya; dari seorang anak petani sampai menjadi presiden. Tekadnya yang terus belajar dan selalu vokus dalam memperjuangkan masa depannya menjadikan Pak Harto bisa meraih apa yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan.
“Pada waktu itulah saya mengenal ajaran tiga ‘aja’,” ujar Pak Harto dalam buku “Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya; otobiografi seperti yang dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan KH. “Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh (jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang-mentang); yang kelak menjadi pegangan hidup saya, yang jadi penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya.”
“Tidaklah perlu kita kaget sesuatu yang seolah-olah merupakan keistimewaan pada seseorang, tidaklah menyebabkan kita heran. Tidaklah perlu kita terbelalak dibuatnya sampai mengucapkan wah hebat sekali. Kembalilah hal itu kepada Tuhan dan kita ‘aja gumunan’ (jangan heran). Kalau kita mempunyai kedudukan, kekayaan, mempunyai sesuatu yang lebih, jangan lupa, bahwa sewaktu-waktu hal itu bisa berubah, kalau Tuhan menghendakinya. Sebab itu, ‘aja dumeh’ (jangan mentang-mentang) kedudukan tinggi, terus bertindak sewenang-wenang, aja dumeh mempunyai kekayaan yang berlimpah-limpah lalu lupa daratan.”
Museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, juga merekam banyak sekali falsafah Jawa yang dianut Pak Harto. Falsafah itu tertulis di dinding, tiang-tiang, di foto berbingkai, dan lainnya.
Salah satunya ada falsafah Jawa yang berbunyi sugih tanpa banda, nglurug tanpa bala, sakti tanpa aji, menang tanpa ngasorake. Falsafah ini tertera di salah satu foto Pak Harto yang sedang tersenyum.
Falsafah tersebut banyak yang menyebut sebagai catur paradoks Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandung Raden Ajeng Kartini. Makna dari sugih tanpa banda adalah kaya namun tidak bergantung pada harta benda. Nglurug tanpa bala, menyambangi musuh tanpa bantuan orang lain. Digdaya tanpa aji bisa diartikan sakti mandraguna tanpa bergantung pada senjata, dan menang tanpa ngasorake menang tetapi tidak sampai merendahkan yang dikalahkan.
Mereka yang memegang falsafah ini adalah orang yang sudah tahu dan menyadari sepenuhnya tujuan hidup. Jika harus berkompetisi, bahkan berperang sekalipun, ia tidak akan pernah merasa terancam dan tidak pula berlaku sewenang-wenang, karena menyadari sepenuhnya bahwa dirinya hanyalah perpanjangan dari tangan Tuhan yang Maha Kasih.
Prinsip-prinsip falsafah Jawa yang dilakoni Pak Harto membuat kabinetnya kuat dan semua anak buahnya segan pada dirinya.
Menghafal falsafah tidaklah sulit, tapi bagaimana menerapkan ajaran luhur tersebut dalam keseharian tidak mudah.
Miftah H. Yusufpati, Wartawan Senior