JAKARTA, LIRANEWS.COM | Sejumlah perwakilan masyarakat sipil dan serikat pekerja yang tergabung dalam Forum Jamsos menolak kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024. Mereka menilai kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadilan sosial dan menurunkan kualitas pelayanan kesehatan yang selama ini sudah berjalan baik.
Ketua Umum Forum Jamsos, Jusuf Rizal, menyampaikan bahwa forum ini hadir bukan untuk menyerang Kementerian Kesehatan, melainkan untuk memberi masukan konstruktif. Ia mengingatkan agar publik tidak terjebak dalam persepsi negatif terhadap kementerian karena asumsi-asumsi politis atau konspirasi tertentu.
“Jangan sampai ada korban karena kita menarasikan seolah-olah ada yang keliru dari kementerian hanya karena kepentingan politik,” ujarnya dalam diskusi dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) di Jakarta, Rabu 21 Mei 2025.
Diskusi ini dihadiri Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, Prof. Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M. Si dan sejumlah anggotanya serta Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran, dr. Sunarto, M.Kes.
Jusuf Rizal menekankan bahwa forum ini merupakan wadah lintas sektor dan generasi, di mana tokoh-tokoh senior juga turut memberikan pandangan, termasuk Timboel Siregar yang diharapkan dapat memperjelas aspek etis dan teknis dari kebijakan ini.
Perwakilan serikat pekerja menyampaikan bahwa implementasi KRIS yang menyeragamkan kelas perawatan rawat inap akan merugikan kalangan pekerja.
“Biasanya kami yang berada di kelas 1 atau 2, akan disamakan dengan kelas yang lebih rendah. Ini bukan menyamaratakan, tapi menurunkan kualitas pelayanan. Pelayanan kesehatan seharusnya proporsional dengan kontribusi peserta,” ungkap Jusuf Rizal.
Jusuf mempertanyakan apakah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dilibatkan dalam penyusunan Perpres KRIS atau justru menjadi pihak yang mengusulkan kebijakan tersebut. “Jangan sampai kebijakan ini lahir tanpa kajian yang matang. Kami menolak KRIS jika justru menurunkan kualitas pelayanan yang sudah baik.”
Kebijakan KRIS dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Juli 2025. Namun, banyak pihak meragukan kesiapan rumah sakit dalam penerapan kebijakan ini, baik dari sisi fasilitas, sistem, maupun manajemen pelayanan.
“Apakah sistemnya sudah siap? Apakah kamar rumah sakit sudah disesuaikan? Ini bukan hal kecil, karena berdampak langsung pada masyarakat,” ujarnya.
Para peserta diskusi juga mengingatkan bahwa sistem jaminan sosial, termasuk BPJS Kesehatan, merupakan hasil dari perjuangan panjang. “Dulu kami demo ke mana-mana, bahkan menggugat negara untuk mendorong lahirnya UU 24/2011 tentang BPJS. Itu semua demi jaminan sosial nasional yang adil dan inklusif.”
Oleh karena itu, mereka menekankan bahwa kebijakan baru seperti KRIS tidak boleh merusak capaian yang sudah ada. Jika kebijakan ini tetap dipaksakan, mereka tak segan akan kembali menggerakkan massa dalam jumlah besar.
Forum berharap agar pemerintah melalui DJSN lebih berhati-hati dan selektif dalam menyusun kebijakan strategis di bidang kesehatan. Mereka mendukung reformasi sistem yang bertujuan meningkatkan pelayanan, tapi menolak keras segala bentuk “penyeragaman” yang justru menurunkan standar yang telah dicapai.
“Kalau ingin meningkatkan layanan, perbaiki yang di bawah, jangan turunkan yang sudah baik. Kalau tidak didengar, jangan salahkan kami jika akhirnya kami ‘meniup peluit’ kembali,” ujar salah satu peserta forum.
Kolom Komentar