JAKARTA, LIRANEWS.COM | Pemutusan hubungan kerja (PHK) masih menjadi isu krusial di dunia ketenagakerjaan Indonesia pada 2024. Berdasarkan data terbaru Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), sektor pengolahan atau manufaktur menjadi penyumbang terbesar angka PHK tahun ini.
Tidak hanya itu, dua sektor lain, yakni aktivitas jasa lainnya serta sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, juga mengalami lonjakan signifikan dalam jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Menurut Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, sektor manufaktur menyumbang angka PHK tertinggi dengan total 24.013 tenaga kerja yang diberhentikan sepanjang tahun. Sektor aktivitas jasa lainnya menyusul dengan 12.853 tenaga kerja yang terdampak PHK, sedangkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mencatatkan angka PHK sebanyak 3.997 tenaga kerja.
“Ketiga sektor ini menjadi yang paling terdampak dalam tren PHK tahun 2024. Sektor manufaktur khususnya, terus mengalami tekanan akibat ketidakpastian ekonomi global, penurunan permintaan ekspor, serta efisiensi produksi yang dilakukan oleh perusahaan,” ujar Indah dalam keterangannya.
Jawa Tengah Sumbang Angka PHK Tertinggi
Data Kemnaker juga mencatat bahwa provinsi dengan angka PHK tertinggi tahun ini adalah Jawa Tengah. Hingga Februari 2024, sebanyak 13.130 pekerja di provinsi ini mengalami PHK, menjadikannya sebagai daerah dengan tingkat pemutusan hubungan kerja tertinggi di Indonesia. Jawa Tengah bahkan naik satu peringkat dari tahun sebelumnya, di mana pada 2023 provinsi ini menempati posisi kedua.
Setelah Jawa Tengah, provinsi lain yang juga mengalami lonjakan PHK adalah Riau dan DKI Jakarta. Di Riau, ribuan pekerja terdampak akibat perlambatan industri pengolahan, terutama di sektor kelapa sawit dan industri turunannya. Sementara di Jakarta, PHK didominasi oleh sektor jasa dan industri kreatif yang mulai terkena dampak digitalisasi dan perubahan tren bisnis.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah, Bambang Suryanto, mengungkapkan bahwa PHK di wilayahnya sebagian besar terjadi pada sektor tekstil dan garmen. Menurutnya, melemahnya permintaan ekspor dari negara-negara tujuan utama seperti Amerika Serikat dan Eropa menjadi faktor utama yang membuat banyak perusahaan tekstil kesulitan bertahan.
“Sejak akhir 2023, banyak perusahaan tekstil mulai melakukan efisiensi, baik dengan mengurangi jumlah jam kerja maupun dengan mengurangi tenaga kerja. Situasi ini makin memburuk di awal 2024, karena beban biaya produksi yang meningkat sementara permintaan pasar belum membaik,” jelasnya.
Dampak Sosial dan Tantangan Ekonomi
Lonjakan angka PHK ini tidak hanya berdampak pada sektor industri, tetapi juga memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang luas. Ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan kini menghadapi ketidakpastian ekonomi, sementara angka pengangguran berpotensi meningkat jika kondisi ini terus berlanjut.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, menilai bahwa situasi ini dapat memicu perlambatan daya beli masyarakat, terutama di daerah-daerah dengan tingkat PHK tinggi seperti Jawa Tengah. “Jika tidak ada langkah mitigasi yang cepat, dampak PHK ini bisa meluas ke sektor lain, seperti perdagangan dan konsumsi rumah tangga. Banyak pekerja yang kehilangan penghasilan akan mengurangi belanja, yang pada akhirnya bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah,” jelasnya.
Bhima juga menyoroti pentingnya langkah-langkah konkret dari pemerintah dan pelaku usaha dalam menghadapi gelombang PHK ini. Ia menyarankan agar program pelatihan dan re-skilling bagi pekerja terdampak segera diperluas, agar mereka bisa beradaptasi dengan perubahan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Respons Pemerintah dan Dunia Usaha
Menanggapi kondisi ini, pemerintah melalui Kemnaker mengaku telah menyiapkan berbagai skema mitigasi untuk mengurangi dampak PHK. Salah satunya adalah mempercepat implementasi program kartu prakerja yang difokuskan bagi pekerja terdampak PHK, serta mendorong pelatihan berbasis keterampilan digital dan kewirausahaan.
“Kami terus berupaya agar pekerja yang terkena PHK bisa mendapatkan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Kami juga mendorong perusahaan untuk lebih terbuka dalam menerapkan skema kerja fleksibel sebelum melakukan PHK,” kata Indah.
Sementara itu, beberapa perusahaan di sektor manufaktur juga mulai mencari solusi agar dapat bertahan di tengah tantangan ekonomi global. Sebagian dari mereka mencoba melakukan diversifikasi produk dan mencari pasar ekspor baru untuk mengurangi ketergantungan pada negara-negara tertentu.
Meskipun demikian, gelombang PHK yang terjadi saat ini tetap menjadi peringatan serius bagi dunia usaha dan pemerintah. Ke depan, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif untuk memastikan stabilitas ketenagakerjaan di tengah dinamika ekonomi yang terus berkembang.