Indonesia Diserbu dari Internal dan Eksternal: Catatan Kecil Asymmetric Warfare

Oleh Irjen Pol (Purn) M Arief Pranoto | Pemerhati Sosial Politik

Bahwa Ketahanan (Kedaulatan) Nasional kita tengah dikepung dan diserbu oleh berbagai anasir, dimana ancamannya bukan lagi bersifat potensial, tapi sudah faktual alias gangguan nyata. Artinya, tanpa antisipasi secara serius dan konseptual, Indonesia bisa porak-poranda bahkan cenderung bubar sebagaimana ramalan di buku science fiction: “Ghost Fleet” karya PW Singer dan August Cole (2015).

Uniknya, banyak anak bangsa ini terkesan abai atau tidak menyadari kondisi yang tengah otewe tersebut. Memang, terdapat sebagian warga, elit politik dan tokoh menyadari hal itu, namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena faktor politis dan kendala struktural.

Yang menyedihkan bahwa tidak sedikit anak bangsa ini justru menjadi bagian dari anasir penyerbuan dimaksud, sedang mereka tidak memahami, atau pura-pura tidak tahu karena turut menikmati? Kalau meminjam istilah kelompok aktivis, “Kaum pengkhianat yang jadi penikmat”. Inilah prolog sekaligus asumsi guna mengaudit catatan ini.

Tak bisa dipungkiri, bahwa instrumen penyerbuan di atas dilakukan secara nirmiliter (asymmetrical war). Ini metode peperangan paling digemari di abad 21 karena tanpa asap mesiu. Memang nyaris tak teraba karena menumpang pada aspek ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) atas nama pembangunan. Jadi, seolah-olah alami, semua peristiwa dianggap wajar-wajar saja.

Merujuk judul catatan, adapun anasir penyerbuan dari sisi eksternal ataupun internal ialah sebagai berikut:

Pertama, sisi eksternal:

1. Masuk (deras)-nya Liberalisme. Pasca Orde Baru jatuh, badai eforia menerjang publik melalui _framing_ dan fabrikasi isu “Asal Bukan Orde Baru”. Maka, segala sesuatu yang berbau-bau Orde Baru harus dihapus, kudu dibuang, kalau perlu dihancurkan. Puncak eforia (rèformasi) ialah amandemen empat kali UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Kenapa begitu? Itulah kudeta konstitusi melalui _silent invasion_ oleh asing. Hasil penelitian Prof Kaelan dari UGM terhadap UUD yang diamandemen, bahwa 97% isi pasal-pasal dalam Batang Tubuh di UUD Naskah Asli telah diganti total. Gilirannya, selain antara Pembukaan dan Batang Tubuh tidak nyambung; konstitusi kini berubah individualis, liberal dan kapitalistik; juga, praktik konstitusi UUD NRI 1945 (hasil amandemen) —kerap disebut UUD 2002— telah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi. Pancasila tidak lagi menjadi sumber dari segala sumber hukum. Pembuatan UU dan/atau aturan di bawah UU, contohnya, hanya menginduk pasal-pasal di Batang Tubuh yang sudah diliberalisasi (diamandemen). Tak nyambung lagi dengan Pancasila di Pembukaan;

2. Narkoba. Tidak boleh dipungkiri, maraknya narkoba di berbagai lapis sosial dengan beragam jenis dan modus membuat sebagian warga khususnya generasi muda (bisa) menjadi _‘generasi linglung’._ Padahal, sejarah Perang Candu I (1839 – 1842) dan Perang Candu II (1856 – 1860) di China, setidaknya telah memberi _pointers_ kewaspadaan ke publik global, bahwa penyebaran narkoba merupakan bagian dari metode kolonial guna melemahkan sebuah bangsa, menghancurkan daya juang dan daya lawan bangsa terhadap kolonialisme di negerinya. Inilah yang kini terjadi. Narkoba menjadi sarana merusak bangsa dengan harga murah;

3. Gelombang TKA. Sistem dan aturan (rezim) yang mendewakan pertumbuhan _via_ investasi sering kali abai terhadap histori “Kuda Troya” dalam kolonialisme. Investasi asing berskema _Turnkey Project Management_, contohnya, kerap menyertakan alias memboyong sendiri pekerjanya dari negara asal dalam jumlah banyak. Siapa berani menjamin, jika para pekerja itu bukan tim intelijen atau personel militer yang disusupkan sebagaimana taktik Kuda Troya dulu?

4. _Devide Et Impera_ alias Strategi Belah Bambu. Tak bisa dipungkiri, di Era Reformasi ini, jurus pecah belah ala Snouck Hugronye meraih “pucak karir”-nya, mengapa? Sebab, _devide et impera_ berhasil disusupkan dalam sistem bernegara lewat amandemen empat kali UUD (1999-2002), misalnya, pola multipartai, otonomi daerah, pilpres langsung _(one man one vote)_ yang sangat liberal dan lain-lain. Itulah sarana adu domba sesama anak bangsa atas nama demokrasi yang ditempelkan pada sistem bernegara;

5. _Debt Trap_ alias Jebakan Utang. Tak perlu banyak narasi dalam sub paragraf ini. Bahwa John Adams (1735 – 1826), _Founding Father_ Amerika Serikat menyatakan: _”Ada dua cara untuk menaklukkan dan memperbudak suatu negara. Satu adalah dengan pedang. Yang lain adalah dengan utang.”_ Pernyataan Adams kini terbukti di panggung geopolitik global. Tak sedikit negara di Afrika terpaksa menyerahkan pelabuhan lautnya, bandara, serta mengizinkan akses untuk pangkalan militer asing di negaranya dst karena terjerat hutang. Mereka Gagal bayar ketika masa jatuh tempo tiba. Agaknya, isu di atas bakal terjadi juga di Bumi Pertiwi. Entah kapan;

6. Termasuk jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan terus melemahnya rupiah terhadap US$ diduga oleh beberapa pakar, selain faktor-faktor internal, juga disinyalir merupakan desain (serbuan) asing terhadap kedaulatan negeri ini;

7. Tarif reciprocal (timbal balik) yang diberlakukan Donald Trump tanggal 2 April 2025 cukup merepotkan pengambil kebijakan di republik ini. Minimal perlu strategi baru dan percepatan langkah, khususnya deversifikasi target (pasar) di jajaran BRICS sendiri agar kita tidak begitu mengalami kegoncangan ekonomi.

8. Dan seterusnya.

Kedua, sisi internal:

1. Neo-Komunis atau PKI Gaya Baru. Kendati PKI telah ‘mati’ dihajar Orde Baru, kemudian dipagari dengan Tap MPRS/XXV/1966, tetapi PKI Gaya Baru mampu berselancar di lapis-lapis sosial, budaya, bahkan merembes ke sistem politik, dan lain-lain. Ya. Ideologi tidak pernah mati, kata Prof Anhar Gonggong, namun bagaimana masyarakat memberi ruang. Dan agaknya, di era (reformasi) ini, mereka memperoleh ruang dan momentum untuk bangkit kembali beserta modus baru penyebarannya;

2. Korupsi. Apabila di Era Orde Lama dan Orde Baru, korupsi itu karena faktor moral. Nah, di Era Reformasi sekarang ini — korupsi bukan soal moral belaka, namun yang utama justru faktor sistem bernegara. “Korupsi berjamaah”. Adanya otonomi daerah, atau multipartai, pemilu bermodel one man one vote dan lainnya, hal-hal itu memberi kontribusi besar atas politik biaya tinggi (high cost politics) lalu membidani stigma buruk bahwa ‘korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem’. _Nomer Piro Wani Piro_ (NPWP) tidak hanya berlaku di hajatan pemilu saja, tetapi NPWP juga ada di projek-projek APBN/APBD. Istilahnya ‘diijon’. Korupsi sudah dimulai pada tahap perencanaan;

3. Gelombang PHK. Isu bangkrutnya pabrik-pabrik dan PHK ratusan ribu buruh merupakan fenomena yang mutlak wajib diwaspadai, terutama dengan akan masuknya investor asing menggantikan sektor yang tengah dirundung kebangkrutan dan badai PHK;

4. Media dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Memang tidak banyak media dan LSM yang menjadi corong asing. Segelintir saja. Namun, daya agitasi dan propaganda yang masif karena didukung _buzzers_ perlu kewaspadaan bersama agar tidak meluas;

5. Belum lagi unsur internal lain seperti defisit APBN, kenaikan pajak, PHK, daya beli menurun, kenaikan harga kebutuhan publik, dan lain-lain turut berkontribusi dalam gangguan sisi dalam;

6. Dan lain-lain.

Itulah faktor internal dan eksternal yang tengah mengepung lagi menyerbu bangsa dan negara ini. Silakan dicermati secara jeli, bahwa setiap kegaduhan publik sejak 2004 (kali pertama pilpres langsung) di bawah naungan UUD 2002, meskipun tidak selalu berawal dari faktor-faktor di atas tapi imbas kebijakannya akibat struktur dimaksud.

Bagaimana sebaiknya _road map_ bangsa ini ke depan guna mencapai masyarakat yang makmur berkeadilan dan adil berkemakmuran, atau minimal meraih Indonesia Emas 2045, Indonesia Mercusuar Dunia?

Monggo didiskusikan untuk masukan kepada para pihak yang berkompeten. Catatan ini hanya tinjauan kecil secara asimetris.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam. (*)

banner 300250

Related posts

banner 300250

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *