JAKARTA, LIRANEWS.COM | Gunung Rangas Jaya, yang terletak di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kini berada di ambang kehancuran ekologis. Kondisi kawasan ini dilaporkan rusak parah akibat aktivitas pengerukan dan getaran besar-besaran yang diduga dilakukan oleh kelompok pemilik modal besar untuk kepentingan proyek reklamasi di kawasan pesisir utara Jakarta, tepatnya dari Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 hingga PIK 11.
Tim investigasi kami menemukan bahwa material alam dari Gunung Rangas Jaya telah diangkut secara masif ke lokasi reklamasi untuk menimbun lahan baru yang kini dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan komersial eksklusif.
Aktivitas ini diduga kuat dilakukan tanpa prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang jelas, dan tanpa keterbukaan perizinan yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hilangnya Kawasan Hijau, Tergadaikannya Masa Depan
Kerusakan di Gunung Rangas Jaya tidak hanya berdampak pada morfologi kawasan, namun juga merusak ekosistem yang selama ini menjadi penyangga lingkungan bagi masyarakat sekitar.
Kawasan hutan kecil yang masih tersisa perlahan menghilang, dan sistem peresapan udara yang menopang kehidupan warga di lereng dan kaki gunung kini nyaris lumpuh.
Ketiadaan reboisasi dan perencanaan rekonstruksi setelah penambangan meninggalkan bekas luka permanen di lanskap alam.
Kekhawatiran juga datang dari berbagai pihak bahwa kerusakan besar ini dapat memicu bencana ekologis dalam waktu dekat, seperti longsor, banjir bandang, dan kekeringan berkepanjangan.
Para aktivis lingkungan menilai bahwa proyek reklamasi yang tampak megah dan tertata di pesisir utara Jakarta, nyatanya menyimpan jejak ekologis yang brutal dan sistematis di wilayah hulu seperti Bogor.
Proyek Raksasa Bernama PIK 2–11: Modernisasi atau Kolonisasi?
Proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 hingga PIK 11 digadang-gadang sebagai pengembangan metropolitan baru, dengan konsep perumahan mewah, kawasan bisnis, dan pusat gaya hidup modern. Namun, proyek ini menuai kontroversi sejak awal karena keterkaitannya dengan reklamasi yang semrawut, legalitas yang sering diselidiki, serta dugaan tumpangan hukum yang memberikan keuntungan kepada segelintir pihak—sembari merugikan masyarakat luas.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengurukan untuk reklamasi di kawasan ini dilakukan secara pelepasan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Dokumen AMDAL tidak pernah dipublikasikan secara transparan, dan mekanisme lingkungan pun diduga dilewati begitu saja.
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah dan Pusat Dipertanyakan
Di tengah kerusakan yang terus meluas, perhatian masyarakat tertuju pada kepemimpinan daerah. Pertanyaan besar muncul: di mana peran dan suara Wali Kota Bogor dan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi? Mengapa mereka terkesan diam dalam menghadapi kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah kekuasaannya?
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Kabupaten Bogor maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait aktivitas penambangan material di Gunung Rangas Jaya dan izinnya dengan reklamasi PIK.
Pemerintah pusat pun, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), belum merespons secara konkret meskipun laporan kerusakan sudah tersebar luas melalui media sosial dan masyarakat sipil.
Suara Rakyat: “Kami Hanya Bisa Menangis”
“Setiap hari kami melihat truk-truk besar lalu-lalang membawa tanah dan batu dari gunung. Kami tidak tahu siapa yang memberi izin. Tapi yang kami tahu, sawah kami Kering, dan sumur air semakin dangkal,” tutur Naryo (56), seorang petani di Desa Rangas Jaya, dengan nada getir.
Warga setempat mengaku tidak pernah diajak berdiskusi soal aktivitas yang terjadi di wilayah mereka. Bahkan, beberapa di antara mereka mengaku mendapat intimidasi ketika mencoba mengambil dokumentasi kerusakan untuk dilaporkan.
Tuntutan untuk Penegakan Hukum dan Perlindungan Lingkungan
Koalisi masyarakat sipil kini menuntut melakukan audit lingkungan dan hukum secara menyeluruh terhadap aktivitas reklamasi di PIK, serta penggalian material di Gunung Rangas Jaya.
Mereka juga mendesak pemerintah untuk memulihkan kerusakan ekologi yang telah terjadi dan mencegah bencana alam yang lebih besar akibat eksploitasi tanpa kendali.
Kehancuran satu kawasan demi kemegahan kawasan lain tak hanya mempertontonkan ketimpangan pembangunan, namun juga menjadi bukti bahwa oligarki kerap bekerja melampaui batas hukum dan etika, sementara pemerintah seolah-olah memilih bungkam.
Masyarakat kini menunggu: apakah negara akan hadir dan menegakkan amanat konstitusi untuk melindungi lingkungan dan hak rakyat? Ataukah kerusakan ini akan terus berlangsung, hingga yang tersisa hanya pemeliharaan, kesunyian, dan penyesalan?