Jakarta, LiraNews – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman empat tahun penjara kepada terdakwa korupsi pengadaan e-KTP TA 2011-2013, Isnu Edhi Wijaya. Eks Dirut Perum PNRI itu juga harus membayar denda sebesar Rp300 juta.
Isnu selaku eks ketua Konsorsium PNRI ini terbukti melakukan perbuatan berdasarkan dakwaan alternatif kedua dari Pasal 3 Undang-undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Penasehat Hukum Isnu, Endar S sangat menyayangkan pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan vonis kepada kliennya. Pertimbangan majelis hakim sebetulnya tidak cukup memadai karena mengabaikan fakta-fakta persidangan yang ada.
Endar menjelaskan, majelis hakim memberikan pertimbangan bukan berdasarkan fakta-fakta dari keterangan saksi yang hadir selama sidang. Hakim justru menggunakan pendapat saksi yang tidak dihadirkan di persidangan.
“Kami sangat menyayangkan dalam pertimbangannya majelis hakim mengabaikan fakta-fakra persidangan dari keterangan saksi yang hadir di sidang selama ini,” ujar Endar, Senin 31 Oktober 2022.
“Hakim justru menggunakan saksi-saksi yang tidak bisa hadir di persidangan selain juga dari putusan dahulu,” lanjut Endar.
Endar pun menjelaskan beberapa fakta persidangan yang dikesampingkan dan diabaikan oleh majelis hakim untuk menentukan putusan.
Hakim tidak menggunakan fakta persidangan bahwa Konsorsium PNRI menang tender e-KTP berdasarkan alasan objektif. Padahal, semua saksi yang dihadirkan dalam persidangan menegaskan hal itu.
“Sudah jelas bahwa dimenangkannya Konsorsium PNRI karena alasan objektif. Dan memang Konsorsium PNRI yang terbaik dalam proses tender,” ujar Endar.
Hakim juga tidak melihat fakta persidangan bahwa Isnu tidak pernah menjanjikan atau memberikan sesuatu kepada pejabat. Bahkan, Isnu berinisiatif membuat pakta integritas untuk mencegah anggota konsorsium melakukan tindakan melawan hukum.
“Kenyataanya majelis hakim tak mempertimbangkan pakta integritas yang diinisiasi oleh Isnu Edy wijaya. Padahal pakta integritas itu berisi larangan anggota konsorsium tidak boleh memberikan janji atau sesuatu kepada pejabat,” kata Endar.
Majelis hakim juga mengabaikan fakta persidangan bahwa Isnu tidak mengajak perusahaan lain untuk membentuk Konsorsium. Isnu sebagai Dirut PNRI justru diajak perusahaan lain untuk membentuk konsorsium.
“Isnu dituduh seolah-olah mengajak perusahaan lain untuk membuat dan bergabung menjadi anggota Konsorsium seperti mengajak Mantan Dirut PT Sucofindo Arief Safari, mengajak pihak PT LEN dan dari PT Quadra Solution, Anang Sugiana. Padahal,semua saksi itu justru mereka yang lebih dahulu menghubungi Pak Isnu. Pun mereka melakukan itu dalam rangka penjajakan,” kata Endar.
Terkait adanya persekongkolan, Hakim juga mengabaikan putusan MA terkait KPPU bahwa Perum PNRI tidak ikut serta dalam persekongkolan membuat konsorsium PNRI sebagai pemenang tender proyek e-KTP. Padahal, putusan MA itu berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Majelis hakim juga mengabaikan putusan MA terkait KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap. Intinya mengatakan Konsorsium PNRI tidak terbukti melakukan persekongkolan vertikal maupun horizontal terkait pemenangan tender,” ujar Endar.
Fakta persidangan lainnya, Isnu tidak pernah membentuk Manajemen Bersama (MB). Pembentukan MB berdasarkan keputusan bersama semua anggota konsorsium PNRI untuk membantu menyelesaikan proyek e-KTP sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing.
“Pak Isnu posisinya juga tidak untuk MB. Isnu posisinya sebagai direksi dari PNRI. Bahkan, Isnu tidak menjabat di Konsorsium PNRI sampai proyek selesai. Dia sudah pensiun lebih dahulu dari Dirut PNRI,” kata Endar.
“Jadi Isnu hanya ada dalam BOD tapi tidak dalam struktur MB. Isnu juga tidak menerima gaji, upah, dan fasilitas dari MB,” kata Endar.
Menurut Endar, Hakim juga kurang memiliki banyak pertimbangan untuk mengambil putusan sehingga menggunakan dakwaan alternatif kedua dari pasal 3 UU Tipikor terkait ‘turut serta dalam penyalahgunaan kewenangan jabatan’.
Endar mengatakan, dakwan alternatif kedua itu terkesan dipaksakan. Sebab, unsur dakwaan alternatif kedua dari pasal 3 yakni ‘turut ikut serta dalam penyalahgunaan kewenangan’, tidak terbukti.
“Jadi terdakwa Pak Isnu dianggap turut serta dalam penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh Pak Irman maupun Pak Sugiharto selaku pejabat di Kemendagri,” kata Endar.
“Tapi dari fakta-fakta persidangan justru pak Isnu ini hampir tidak memiliki kaitan dengan pak Irman. Ketika Irman dihadirkan sidang, tidak ada pembicaraan commitment fee dengan Isnu. Hal itu juga diakui Irman dan Sugihato. Artinya, Isnu tidak pernah ada kesepakatan untuk memberikan commitment fee. Bahkan Isnu tidak menerima keuntungan apa pun dari konsorsium PNRI,” kata Endar.
Dengan semua hal itu, Penasehat Hukum ISNU menilai, pertimbangan majelis hakim sebetulnya tidak cukup memadai dan tidak cukup pertimbangan karena mengabaikan fakta-fakta yang ada.
“Tapi berdasarkan diskusi dengan Pak Isnu, kami menggunakan kesempatan untuk pikir-pikir dan beberapa waktu ke depan kami akan berdiskusi lagi menentukan upaya hukum atau seperti apa,”pungkasnya.