Jakarta, LiraNews – Pengamat Politik Lingkar Madani Ray Rangkuti menyatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu mematok pengangkatan atau reshuffle kabinet pada Rabu esok (23/12/2020).
Menurut Ray, bagus tidaknya anggota kabinet bukan pada hari apa mereka dilantik, tapi sejauh apa pengalaman, pengetahuan dan kemampuan mereka.
“Oleh karena itu, tanggal atau hari tidak perlu menjadi pertimbangan khusus dalam hal me-reshuffle kabinet. Presiden sudah berulangkali me-reshuffle kabinet pada waktu-waktu tertentu, tapi hasilnya tidak selalu seperti yang diharapkan,” kata Ray kepada para awak media, Selasa (22/12/2020).
Ray berpendapat, ada kemungkinan reshuffle kali ini dilakukan dengan besar-besaran.
“Mengganti 5 atau 6 anggota kabinet, bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan berdampak kegoncangan stabilitas pemerintahan,” jelasnya.
Selain pergantian, Ray mengatakan, reposisi anggota kabinet juga sangat mungkin dilakukan.
Tentu, lanjut Ray, selain 2 kursi kabinet yang kosong, anggota kabinet lain juga perlu dipertimbangkan untuk di-reshuffle.
“Antara lain Menteri Kesehatan, Agama, Hukum dan HAM. Tiga menteri ini sudah dirasakan kurang pas pada posisi mereka masing-masing,” ungkapnya.
Ray mengingatkan, Presiden Jokowi sebaiknya tidak terpaku pada soal wakil partai, lantaran pada faktanya, hampir semua menteri yang berurusan dengan masalah hukum karena korupsi atau dugaan korupsi dan suap adalah menteri dari partai.
“Lebih dari cukup jadi pelajaran bagi Presiden betapa rentan anggota kabinet dari partai ini termakan suap atau korupsi,” terangnya.
Ray Rangkuti pun berharap, jangan sampai Presiden Jokowi dicatat sebagai Presiden yang paling banyak mengirim anggota kabinetnya ke penjara karena dakwaan korupsi, suap atau gratifikasi.
“Cukup sudah ada 2 menteri pada periode pertama, dan kini 2 menteri tengah menghadapi kasus hukum di KPK,” imbuhnya.
Oleh karena itu, tutur Ray, ini saat yang tepat bagi Presiden untuk mengembalikan posisi anggota kabinet bagi professional non partai, khususnya di kursi kabinet yang mengelola dana APBN yang besar, seperti KKP, Menkes, atau lainnya.
“Komposisi kabinet dengan mayoritas wakil partai, faktanya, lebih banyak membuat Presiden berkeluh kesah. Dalam dua periode kekuasaannya, setidaknya sudah 3 kali Presiden mengungkapkan keresahannya atas kinerja anggota kabinet yang dirasa lambat dalam hal, khususnya, merespon pandemi Covid-19,” paparnya.
Tentu, sambung Ray, selain memprioritaskan anggota kabinet non partai, Presiden juga harus menghindari anggota kabinet yang memiliki masalah hukum, atau potensial memiliki masalah hukum.
“Dalam hal ini, Presiden harus benar-benar mencari informasi yang cukup untuk memastikan bahwa mereka yang akan dipilih akan terbebas dari kemungkinan persoalan hukum di masa yang akan datang,” sarannya.
Akan tetapi, di atas itu semua, tambah Ray, Presiden harus membuat mekanisme pengawasan atas perilaku dan kinerja anggota kabinetnya dari masyarakat.
Ray menilai, minimnya akses publik terhadap perilaku dan aktivitas menterinya, mengakibatkan rentannya anggota kabinet melakukan tindakan melawan hukum.
“Tanpa mekanisme pelibatan partisipasi masyarakat, Presiden akan sulit mengevaluasi dan mengontrol anggota kabinetnya, khususnya dalam situasi pandemi seperti sekarang ini,” tandas Ray Rangkuti. LN-RON