Oleh Sholihin MS | Pemerhati Sosial dan Politik
CITRA Polri selama sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Jokowi terus menurun secara drastis. Kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas Polri hampir berada di titik nadir.
Selama Jokowi berkuasa, institusi Polri telah dikebiri sedemikian rupa sehingga hampir hilang sifat kejantanannya. Fungsi Polri sebagai pengayom masyarakat, penegak hukum secara adil, dan pengaman dari gangguan perusuh telah berubah menjadi alat kekuasaan, pelayan oligarki taipan, pengintimidasi rakyat kecil, dan pendukung para perusak negara.
Polri nyaris kehilangan jati dirinya—meninggalkan rakyat dan berubah menjadi alat kekuatan jahat yang justru melawan negara.
Anehnya, ketika sang penghancur negara yang bernama Jokowi sudah lengser, jati diri Polri masih tetap menjadi pelindung kekuatan-kekuatan jahat yang merongrong negara.
Beberapa kebijakan Polri sudah tidak sesuai lagi dengan amanat undang-undang dan tidak berpihak kepada rakyat.
Setidaknya ada sepuluh indikator penyimpangan tugas dan kewajiban Polri sebagai pelindung negara dan pengayom rakyat:
Pertama, Polri tidak hanya gagal melawan intervensi Tiongkok yang mengancam kedaulatan Indonesia, tetapi justru diduga ikut membantu mereka merusak kedaulatan negara.
Berbagai kebijakan pemerintah Jokowi yang jor-joran berutang kepada Tiongkok berdampak pada makin leluasanya negara tersebut mengintervensi kedaulatan Indonesia.
Kedua, Polri tidak berdaya menghadapi proyek-proyek besar Tiongkok yang merusak tatanan bernegara, seperti PIK, reklamasi, pagar laut, dan sebagainya.
Proyek PIK, misalnya, dianggap sebagai bentuk “negara dalam negara”, sehingga tidak tersentuh hukum dan bahkan menunjukkan sikap arogan terhadap bangsa Indonesia.
Ketiga, Polri tidak mampu membela rakyat dalam proses penggusuran tanah, tetapi justru lebih membela kepentingan asing.
Di berbagai tempat—misalnya di Rempang dan proyek PIK—penggusuran tanah rakyat terus terjadi, dilakukan oleh para taipan, dibayar murah, atau bahkan dilakukan secara paksa tanpa imbalan yang layak.
Keempat, Polri tidak berdaya menghentikan perampokan sumber daya alam Indonesia oleh pihak asing dan aseng.
Pengerukan SDA secara besar-besaran, baik legal maupun ilegal, sangat merugikan Indonesia.
Kelima, Polri tidak hanya gagal memberantas judi online, tetapi juga diduga banyak oknumnya yang terlibat dan menjadi beking.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa judi online dan offline sulit diberantas karena ada keterlibatan pihak Polri sendiri—baik oleh oknum, maupun diduga melalui jaringan yang lebih terorganisir.
Keenam, Polri diduga terlibat dalam pembantaian enam laskar FPI pengawal Habib Rizieq Shihab.
Kasus ini melibatkan petinggi Polri dan TNI, namun hingga kini tidak kunjung tuntas dan cenderung dibiarkan menguap.
Ketujuh, Polri terlibat dalam kasus kematian 894 petugas KPPS pada Pemilu 2019.
Kasus ini juga menyeret nama Ferdy Sambo yang disebut sebagai salah satu otaknya. Meski telah dikenai sanksi, kasus ini diduga melibatkan pihak atasan, namun tidak pernah diusut secara tuntas.
Kedelapan, Polri tidak profesional dalam menangani tragedi Kanjuruhan.
Tragedi yang menewaskan ratusan suporter tersebut menyisakan pertanyaan tentang kelalaian atau kesengajaan, sebab kronologi kejadian tidak logis dan penuh kejanggalan.
Kesembilan, Polri tidak bertindak sebagai pengayom rakyat dalam pengamanan demonstrasi yang mengkritik kebijakan penguasa.
Dalam hampir setiap aksi unjuk rasa, Polri tampak menjadi tameng bagi kezaliman kekuasaan, sehingga rakyat tidak bisa menyampaikan aspirasi secara bebas ke Istana, DPR/MPR, KPU, KPK, dan lembaga negara lainnya.
Kesepuluh, dalam menangani kasus yang melibatkan Jokowi, keluarganya, dan para pendukungnya, Polri tidak pernah bertindak jujur, adil, dan profesional.
Setiap kasus yang menyangkut Jokowi dan kroninya cenderung diabaikan, sementara terhadap para pengkritik mereka sangat reaktif. Hal ini menunjukkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan sikap tidak profesional yang tidak berpihak kepada rakyat.
Sebaliknya, jika kasus menyangkut lawan politik mereka—yaitu pihak yang menyerukan dan menyuarakan kebenaran—Polri sangat responsif, bahkan kerap menggunakan pasal-pasal karet.
Padahal, Polri bersama TNI seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan negara dan bangsa, menumpas segala bentuk infiltrasi asing yang mengancam Pancasila, melindungi seluruh warga negara dari perlakuan zalim pihak asing dan pejabat arogan, serta menjaga konstitusi dan UUD 1945 dari upaya penyusupan yang ingin mengubahnya demi kepentingan segelintir orang.
Tanpa revitalisasi, reorganisasi, dan reorientasi, serta bila terus membiarkan institusi Polri diperalat oleh penguasa dan para oligarki taipan, maka Polri akan menuju kehancuran dan menjadi musuh rakyat.
Tanpa dukungan rakyat, Polri (dan TNI) hanya akan menjadi jongos Aseng dan alat pemukul rakyat yang tidak bersalah. (Bandung, 22 Dzulkaidah 1446 H)
Kolom Komentar