Oleh Faisal S Sallatalohy | Pemerhati Kebijakan Politik
JOKOWI ketar-ketir dan tampak sangat cemas menghadapi hebatnya tekanan masyarakat yang mendesaknya menunjukkan ijazah aslinya. Saking paniknya sampai harus menggunakan jasa Hercules mengintimidasi masyarakat.
Kalimat ancaman Hercules cukup menakutkan. Meminta masyarakat dan para penggugat berhenti mempersoalkan ijazah palsu Jokowi, Hercules menegaskan: “ijazahnya asli, enggak usah cari masalah”
Dikiranya masyarakat bakal kendor dan takut hadapi ancaman Hercules. Tidak sama sekali. Masyarakat justru makin berani bersuara. Desakan Jokowi tuntuk menunjukkan ijazah asli makin kuat menggelinding.
Urat takut masyarakat Indonesia sudah kebal. Sudah terlatih menghadapi berbagai ancaman selama 10 tahun Jokowi berkuasa. Jangankan diancam Hercules, intimidasi polisi dan pengadilan saja dihadapi. Tanpa rasa takut diviralkan.
Salah satu kasus intimidasi di era Jokowi yang paling tersohor adalah apa yang dilakukan kepolisian terhadap Rizieq Shihab dan pengawalnya. Intimidasi fisik berlangsung brutal. Para korban berakhir kehilangan nyawa dengan luka pembantaian brutal di sekujur tubuh.
Tapi apakah membuat masyarakat Indonesia takut dan kendor mengkritisi kebijakan pemerintah Jokowi yang pro terhadap kepentingan dinasti dan kolega oligarkinya?
Tidak sama sekali. Masyarakat justru semakin berani menggulirkan kritikan. Meskipun juga diancam lewat berbagai pasal pembungkaman dan ganjaran pidana yang subjektif dalam sejumlah aturan. Misalnya daam KUHP dan UU ITE.
Dengan pengalaman itu, sungguh menjadi percuma Jokowi menggunakan jasa Hercules untuk mengintimidasi publik agar kendor mendesak dirinya menunjukkan ijazah aslinya.
Frustasi dan kecemasan membuat Jokowi hilang waras. Makin berani menunjukkan jati diri premanismenya dengan menggunakan jasa Hercules yang tersohor diidentikkan dengan simbol kekuatan premanismenya.
Dengan melibatkan Hercules sebagai bantalannya menghadapi tuntutan masyarakat, menunjukkan Jokowi sedang memanfaatkan aktor non-negara atau “local strongman” untuk merekayasa persepsi dan tingkah laku masyarakat Indonesia secara massal.
Sebagai salah satu tokoh informal berpengaruh, Hercules memiliki jaringan luas di komunitas akar rumput, terutama melalui pendekatan kekuasaan informal, loyalitas, dan kekuatan simbol premanismenya. Potensi ini dimanfaatkan Jokowi untuk merekayasa dan mendistribusikan tekanan, ancaman, memproduksi tekanan, intimidasi, ketidakamanan dan perasaan takut secara massal.
Hercules saat ini memegang kendali ormas GRIB Jaya. Tak dapat dipungkiri, kekuatannya turut menjadi representasi kekuatan informal yang memiliki pengaruh kultural, historis dan aspek simbolik maupun aktual dengan potensi memobilisasi secara massal tekanan dan ancaman kepada masyarakat luas.
Dalam kaitan ini, harus dipahami, bahwa secara politik ormas seperti GRIB Jaya, Pemuda Pancasila, Forkabi dll, telah menjadi organ satelit yang tidak kalah pentingnya dari partai politik dalam merekayasa, mengendalikan, dan serta memobilisasi persepsi dan keyakinan keyakinan masyarakat secara massal.
Fenomena ini tergambar dalam perspektif “State in Society” yang digagas Joel Migdal. Dalam teorinya, Migdal mengatakan, Ormas adalah entitas paling dominan selain negara dan partai politik. Ormas bahkan seringkali lebih tampil sebagai aktor dominan yang memberikan dorongan kepada parpol dan negara dalam membentuk aturan sosial.
Dalam kaitan ini, ormas dan local strongmen seperti Hercules tak jarang memainkan peran sebagai “strongmen institutions” yang dapat berfungsi sebagai perpanjangan tangan negara dan elit politik kekuasaan. Tetapi juga bertindak indepen sesuai idealismenya untuk muncul sebagai kekuatan tandingan (oposisi) kekuasaan.
Kenyataannya, sampai saat ini, di Indonesia, ormas dengan relasi dan representasi sosial, masih dimanfaatkan kekuasaan dan elite politik untuk sebagai strategi politik informal untuk dapat mengontrol dan mengendalikan kekuatan sosial di akar rumput.
Inilah cara berpikir yg mendasari strategi politik Jokowi. Memanfaatkan jasa Hercules dan Ormas GRIB Jaya sebagai aktor potensial non-negara dengan kapasitas mumpuni untuk merekayasa persepsi masyarakat lewat produksi tekanan, intimidasi, ketakutan, ancaman terhadap rasa aman.
Inilah bukti kejayaan Jokowi dalam kontestasi politik nasional masih sangat kuat. Hadirnya Hercules dalam skandal ijazah palsunya, menunjukkan Jokowi masih berpengaruh kuat mengendalikan Ormas besar sebagai penghubung untuk mencapai tujuan politiknya di akar rumput.
Fenomena ini menunjukkan, Jokowi masih terus membangun “legacy” kekuasaannya dengan memastikan para aktor politik lokal seperti Hercules tetap berada dalam orbit pengaruhnya untuk mewujudkan kepentingannya di level bawah.
Termasuk mengandalkan Hercules ke dalam strategi politiknya untuk mengorbitkan intimidasi, ancaman, kecemasan kepada masyarakat. Sungguh tidak bermoral.
Dipikirnya masyarakat takut. Dugaan prematur. Salah besar. Masyarakat sudah terlanjur terluka, menderita, sakit hati akibat sandiwara skandal ijazah palsu Jokowi. Bertahun-tahun skandal ini berjalan, selama itu juga banyak implikasi negatif, ancaman dan penghakiman menyakitkan dirasakan masyarakat. Terutama derita menahun yang dirasakan Bambang Tri dan Gus Nur.
Kesakitan itulah yang mendasari keberanian masyarakat. Mau diancam pakai apapun. Sungguh tak ada gunanya. Tekad masyarakat udah bulat. Skandal ijazah palsu Jokowi secepatnya harus selesai. Ini akan menjadi pintu masuk potensial untuk menghakimi berbagai kejahatan Jokowi selama 10 tahun memimpin Indonesia. (*).