Jakarta, LiraNews – Dengan mata berbinar dan suara bariton yang riang, Jakob Oetama berkata: “Lihatlah halaman 4 Kompas, sekarang banyak sekali diisi oleh intelektual muda dari kalangan santri. Jumlah mereka jauh melampaui cendekiawan dari kalangan lain.”
Ia merujuk halaman opini dan editorial (op-ed) koran miliknya yang kala itu, dua dakade silam, belum dipindahkan ke halaman 6. Ia mengatakan itu di Hotel Santika Petamburan, dalam jamuan makan yang diadakannya untuk melepas Syafi’i Anwar yang akan kuliah di Australia.
Tapi agaknya Jakob mengatakan hal itu bukan sekadar demi relevansi dengan identitas tamunya, seorang wartawan berlatar belakang Muhammadiyah, melainkan karena ia memang selalu meminati segi-segi intelektual dalam hidup. Baginya pers dan kewartawanan merupakan kegiatan intelektual yang selayaknya akrab dengan kecendekiaan. Maka ia pun gembira melihat ada wartawan yang masuk ke dunia formal akademis seperti Syafi’i, yang ingin meraih gelar doktor di luar negeri (ia lulus beberapa tahun kemudian, dan menjadi dosen di beberapa negara).
Sejak lama Jakob menggariskan filsafat jurnalistiknya sebagai “jurnalisme makna”. Orang, katanya dalam pidato penerimaan doktor kehormatan UGM (2003), bukan hanya ingin tahu peristiwa sebagai berita. “Orang juga ingin tahu apa yang menyebabkan peristiwa itu terjadi, bagaimana proses dan latar belakangnya, bagaimana pula arah perkembangan peristiwa itu.”
Pengertian tentang aspek-aspek sosio-kultural dan historis dari suatu peristiwa itulah yang ia maksud dengan “makna”. Ia setuju pada pandangan De Volder, ahli etika media dari Belgia, bahwa yang perlu dikembangkan adalah “jurnalisme obyektif yang subyektif”. Namun subyektifas itu bukan atas dasar suka-tak suka, bukan prasangka, bukan kepentingan pribadi dan motif partisan.
“Subyektif dalam arti: secara serius, secara jujur, secara benar, secara profesional mencoba mencari tahu selengkap-lengkapnya mengapa peristiwa itu terjadi dan apa arti dan maknanya”, ujarnya. Baginya, berita bukanlah semata informasi tentang fakta. Berita adalah juga “penyajian
interpretasi akan arti dan makna dari peristiwa.”
Dalam konteks ini ia menyebut syarat bagi sikap dan cara kerja wartawan adalah “cara kerja bebas dan independen, tetapi disertai pertimbangan atas akal sehat, kepekaan serta komitmen.” Atau, tambahnya dengan mengutip teolog Paul Tillich, “Orang hidup dalam makna, artinya hidup di atas validitas yang lengkap, yakni validitas akal sehat, estetik, etis dan religius.”
Karena itu pula ia berteori tentang tiga jenis berita: berita primer (“hari ini”), berita sekunder (peristiwa masa lampau yang dampaknya masih terasa hingga sekarang), dan berita tersier (peristiwa yang akan datang, yang gejalanya mungkin sudah bisa dilihat sejak sekarang).
Mudah dimengerti mengapa ia menempatkan news sebagai “berita primer”. Bagaimanapun ia bekerja di koran harian, dengan sirkulasi peristiwa per 24 jam, dan ia tetap terikat pada rukun jurnalistik tentang aktualitas. Peristiwa silam ia tempatkan sebagai “berita sekunder” bukan hanya karena ia terkait dengan peristiwa hari ini, tapi juga karena peristiwanya telah terjadi, telah menjadi fakta, dan karena itu jurnalisme bisa dan perlu menyajikannya tanpa ragu. Sedangkan hal-hal yang prospektif, yang masih dalam taraf pengandaian, ditempatkannya di urutan ketiga; tugas pokok jurnalistik bukanlah mengumbar ramalan dan spekulasi.
Namun hal-hal prospektif itu tampaknya ia anggap penting, karena itu ia terlihat sangat peduli dengan halaman op-ed, tempat para ahli dan pengamat memaparkan ide-ide mereka, yang lazimnya tentu juga berisi uraian tentang arah perkembangan peristiwa.
Bahkan, untuk memberi tempat lebih luas bagi ide-ide semacam itu, Jakob mengembangkan teori tentang “berita pikiran” — meski gagasan ini belum tentu orisinal, dan tampaknya dipetiknya dari teori ilmu sejarah. Pikiran manusia pun bisa menjadi ajang berlangsungnya peristiwa. Maka bolehlah ia disebut peristiwa potensial; dan karena itu layak juga diberi tempat di halaman media.
Mungkin dengan dasar itulah Kompas memberi ruang besar bagi pendapat para ahli berupa wawancara. Dengan cara ini opini para cendekiawan yang sibuk itu tetap bisa dinikmati pembaca, tidak harus berupa tulisan kolom yang butuh upaya ekstra untuk menyusunnya. Dalam pengembangannya, sejumlah pakar itu dimintai pendapat tentang suatu isu, lalu laporan tentang pendapat-pendapat mereka dirangkum dalam satu tulisan.
Intro laporan semacam itu biasanya berupa kesimpulan oleh redaktur, yang mengklaim bahwa ia ditarik berdasarkan rangkaian wawancara dengan para ahli yang nama-namanya disebut berurutan, lengkap dengan keahlian masing-masing. Tampaknya dari model pelaporan semacam inilah kemudian mashur frasa “benang merah”. Ada “benang merah” antara pendapat Prof. Annu dan Dr. Foolans — maksudnya opini orang-orang itu mirip atau saling mendukung.
Lalu pendapat masing-masing ahli itu dipaparkan satu per satu — lalu kita heran: bagaimana suatu kesimpulan bisa ditarik di awal tulisan, seakan-akan itu adalah konklusi yang valid, padahal benang yang menghubungkan opini mereka bukan merah ataupun kelabu, bahkan sering tidak ada benangnya sama sekali, jika pun bukan berlawanan.
Model itu berlangsung bertahun-tahun dan segera diikuti oleh para pengekor, termasuk koran-koran daerah; dan rasanya tidak pernah muncul keluhan dari para narasumber yang yang pendapat-pendapatnya diseragamkan dengan serampangan itu.
Model tadi bahkan dikembangkan lebih jauh lagi dalam bentuk “Diskusi Panel Ekonomi Kompas” dan subjek-subjek lain, yang kemudian punya prestise tersendiri. Ahli komunikasi massa yang keberatan boleh menyebut sajian seperti itu sebagai “realitas psikologis”, mirip pidato pejabat yang pemberitaannya justeru lebih ditekankan, mengalahkan penyajian tentang gedung yang ia resmikan. Ia bukan “realitas sosiologis”, jenis realitas yang mestinya diutamakan oleh jurnalistik. Tapi “berita pikiran” yang dirumuskan Jakob Oetama agaknya bisa menjadi penangkis yang andal atas kritik ini.
Di sisi lain, dan di masa lain, Jakob Oetama mengeluhkan meriahnya “todologi”. Mengutip kolumnis Alberto Montano, ia mendefinisikan istilah itu sebagai “kemampuan untuk bicara tentang hal apapun tanpa sikap tahu diri dan tanpa pengetahuan.”
“Todologi celakanya,” tambahnya, “turut membentuk cosmovision Amerika Latin, yakni pandangan hidup yang sekadar dan terbatas pada ngomong melulu.” Todologi sudah melanda Amerika Latin dan, menurut Jakob, kawasan itu telah mengalami inflasi wacana oleh para komentator dan kaum intelektualnya. Ia kuatir inflasi yang sama menimpa Indonesia; bukan ingar-bingar wacana semacam itu yang menurut dia selayaknya memenuhi media kita.
***
Semula Jakob Oetama keberatan dengan kritik seniornya Rosihan Anwar bahwa ia dan korannya mengembangkan “jurnalisme kepiting.” Jakob, jika ingin menyeberangi sungai, mencoba-coba dulu dengan satu kaki. Jika kakinya aman alias tidak dipatil kepiting, ia akan turun dengan dua kaki dan terus melangkah. Bila satu kaki itu dijepit kepiting, kata Rosihan yang mashur dengan sarkasmenya, Jakob akan menarik kakinya — dan memilih jalan lain yang aman.
Jakob, yang hampir selalu menerapkan strategi kalimat pasif dan kalimatnya sangat jarang bersubjek, kemudian bisa menerima kritik itu, bahkan dengan nada menganjurkan ia berharap media lain juga menganut “jurnalisme kepiting.” Ia menjelaskan, media massa tidak lagi bisa dipandang semata sebagai organisasi pers. Media, katanya — tentu terutama ia menunjuk grup medianya sendiri — telah berkembang menjadi organisasi bisnis yang besar.
Ada beribu-ribu perut yang tergantung dari kelangsungan hidup media itu — para karyawan dan keluarga mereka, para agen, pengecer dan pedagang yang bisnisnya terkait. Nasib mereka tentu harus dipertimbangkan serius. Sebagai organisasi bisnis, media tidak sepatutnya hanya mengutamakan pertimbangan tunggal jurnalistik; main hantam kromo mengritik the power that be (frase favorit Jakob). Di titik ini rupanya ia, yang kalimat pasifnya tampak dijadikan pedoman bagi nada kritik meliuk yang menjadi ciri Kompas, tak selalu sejalan dengan mitra seniornya dalam membangun kerajaan bisnis media, P.K Ojong.
Sejarah, jika boleh diukur pada hanya satu tolok, terbukti berpihak pada Jakob Oetama. Grup bisnisnya menjadi Kelompok Kompas Gramedia (KKG), yang merambah berbagai bidang yang bisa semakin jauh dari inti — perkebunan, resort, hotel, MICE, hotel murah…
Pada masa media memerlukan surat izin pemerintah, yang sangat sulit didapat, grup Jakob memiliki sedikitnya 22 koran, tabloid dan majalah aneka jenis (kecuali majalah berita umum). Kini pengelompokan bidang bisnisnya saja sudah lebih besar dari 22. Penerbit Gramedia menjadi produsen buku terbesar, dengan memproduksi 5000an judul per tahun. Lebih dari seratus toko bukunya pun merupakan jaringan terbesar di Indonesia.
Semuanya bermula dari Intisari, majalah bulanan mungil yang terbit dua tahun sebelum Kompas. Meniru Reader’s Digest yang melegenda di Amerika, Intisari tampil dengan menarik dan bisa dibaca oleh semua umur. Himpunan features panjang dan pendek itu di hampir setiap halamannya mencantumkan kutipan lepas dari para bijak Barat seperi Emerson, Oscar Wilde atau Socrates.
Semangat dasar Intisari terlihat mewarnai hampir semua media KKG beserta aneka kegiatannya. Semuanya bagaikan ekspresi publik Jakob Oetama: modernisasi, inilah kata kunci yang digenggam erat oleh The Last Renaissance Man Standing itu sampai kemarin pagi, ketika ia telah merasa cukup, dan perlu beristirahat panjang.
Lebih enam dekade penuh dari 88 tahun usianya dihabiskan Jakob Oetama untuk ikut memodernisasi Indonesia dengan caranya sendiri — sambil mengajukan makin banyak klausul dan disclaimer di ujung umurnya. Pengaruhnya melampaui monumen jurnalistik yang dibangunnya dan identik dengan dirinya. Tak banyak tokoh pers yang kemudian perlahan-lahan bertransformasi dan mendapat pengakuan sosial sebagai orang bijak yang mendekati status guru bangsa.
Dengan warisan kulturalnya yang kokoh dan impresif dan menimbulkan respek tinggi, Jakob Oetama belum tamat. Ia hanya beralih dari halaman op-ed.
Hamid Basyaib