Kaidah Hubungan Seks dalam Islam

Disertasi Abdul Aziz di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang hubungan seks nonmarital mengundang polemik. Banyak kelemahan dalam karya ilmiah ini

Oleh Muhammad Sa’dun Masyhur

=============

Belakangan ini muncul pemikiran sesat yang menyatakan bahwa hubungan seks nonmarital dengan pendekatan konsep milkul yamin dibolehkan secara syariah. Pemikiran yang semula digagas oleh Muhammad Syahrur, dari Suriah itu, telah mengundang polemik dan penolakan keras, karena oleh Abdul Aziz dijadikan disertasi, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sayangnya pihak UIN Jogja, kemudian meloloskan desertasi itu dan memberikan gelar doktor kepada Abdul Azis. Seharusnya para penguji dapat mengarahkan desertasi Abdul Azis sebagai antitesa, bukan sebaliknya seolah-olah malah melegitimasi, pemikiran Muhammad Syukur, yang sangat jelas kelemahannya.

Alquran menyebut frasa milkul yamin dalam pengertian kepemilikan tangan kanan, hamba sahaya atau budak, sebanyak 15 kali. Dalam konteks ayat melekat perintah berlaku adil dalam perkawinan (QS. 4:3, 24, 25, 36, QS. 24:33, QS. 33:50, 52), pembagian rizki yang sebanding kepada budak (QS. 16:71, QS 30:28), dan menjaga aurat dari pandangan mereka (QS. 24:31, 58), bahkan melarang budak memasuki kamar pada tiga waktu yang ditetapkan (QS. 33:55).

Sedangkan ayat yang selalu dikutip oleh Syakur maupun Azis, QS 23:6, hanya dipahami sebagai budak yang terikat haknya secara fisik, termasuk dalam hal hubungan seksual. Dan lebih sempit lagi definisi itu hanya berlaku pada budak perempuan.

Darimana bisa menyimpulkan bahwa ayat itu hanya berlaku pada budak perempuan?
Lantas, bagaimana kedudukan kaidah hukumnya bagi budak laki-laki?

Terlebih terkait perbudakan, hukum internasional telah melarangnya. Bahkan PBB telah menetapkan 23 Agustus sebagai International Day for the Remembrance of the Slave Trade and its Abolition atau dikenal sebagai Hari Mengenang Perdagangan Budak Sedunia. Maka sangat aneh jika ada seseorang yang hari ini masih mengidiomkan perbudakan dalam bentuk praktik yang lain.

Memahami Alquran hanya didasarkan pada satu-dua ayat dapat menimbulkan kesalahan, dan mengambil kesimpulan dengan serampangan adalah kesalahan yang fatal.

Padahal, pada surat yang sama, QS. Al Mu’minun, yang dipakai sebagai dasar argumen itu, mulai pada ayat 11 sd 14 bicara khusus dan sangat detail, membahas tentang tahap penciptaan manusia. Mengapa tidak sedikitpun disinggung dan dikaitkan dalam pembahasan materi desertasi itu?

Dalam konteks ayat perlu dipahami bahwa yang dimaksud hamba sahaya yang boleh dikawini, adalah hamba sahaya yang disejajarkan dengan istri, artinya telah dinikahi, bukan sembarang hamba sahaya. Apalagi jika kemudian dimaknai lebih luas secara sembarangan, hanya didasarkan atas komitmen suka sama suka, antarpribadi dalam hubungan yang bebas tanpa ikatan pernikahan. Suatu pemikiran yang liar dan sangat ngawur.

Dalam pemahaman yang lebih luas, perlu diketahui bahwa hubungan seks dalam Islam, juga terikat dengan hukum perkawinan, waris, dan interaksi hubungan darah dalam keluarga. Selain itu, melekat pula kaidah-kaidah pokok dalam syariah mahdhoh dan muamalah lainnya.

Misalnya, menurut Alquran, kaidah fisiologi kelamin merupakan bagian dari organ perut (QS. 16:78). Kaidah berikutnya, hubungan seks adalah melepaskan saripati makanan dan minuman hasil produksi bagian inti perut, yaitu lambung (junuub). Karena yang keluar saripati dari lambung, maka maniiy itu suci, bukan sisa makanan sebagai kotoran/najis. Dalam kaitan itu, hukum thoharohnya disebut junub, sedang orangnya disebut junubah.

Di sisi lain hubungan badan dalam Islam mengikuti kaidah faktu chortsun, yang dalam pengertian sederhana diartikan, mengunjungi ladang (QS. 2:223). Artinya, hanya ladang dengan kepemilikan yang telah sah dinikahi, yang sah untuk dikunjungi hubungan badan dan atau ditanami benih manusia.

Adapun pengertian faktu berupa perintah, kunjungilah, tidak hanya dalam posisi coitus, dimana Mr. P berada dan mencapai mulut rahim, di dalam kelamin perempuan.Tetapi menenpel saja sudah dapat dingggap sebagai faktu. Kaidah faktu (berkunjung), juga tidak didasarkan atas waktu sebentar atau lamanya kunjungan, atau akibat yang ditimbulkan berupa kehamilan, keluarnya maniiy, atau hal lain berupa kenikmatan.

Para jumhur bersepakat, bahwa faktu tidak harus dalam posisi coitus. Hal ini untuk menjaga timbulnya perbuatan yang menjurus terjadinya zina, dan atau perbuatan lain yang dapat merusak kesucian diri, ganguan kesehatan fisik dan jiwa (QS. 17: 32).

Dengan demikian jelas kiranya bahwa hubungan seks bagi seorang muslim harus dilakukan dalam hubungan perkawinan sebagaimana diatur sesuai syariat Islam. Mengunakan konsep milkul yamin sebagai justifikasi hubungan seks non marital adalah sesat, karena bertentangan dengan kaidah hukum syariah lainnya. Dan mengikuti jalan pikiran itu, apalagi mempraktekannya adalah kesesatan yang sesesat-sesatnya.

Penulis adalah pengarang buku Kaidah Manusia Holistik menurut Alquran.

Related posts