Oleh Dimas Huda | CeknRicek
Kasus gagal bayar perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) PT Delta Dunia Sandang Tekstil mengundang spekulasi banyak pihak tentang masalah yang membelit industri TPT. Benarkah krisis Duniatex sebagai potret buram industri TPT saat ini?
Bagaimana pun untuk menilai kasus ini perlu hati-hati. Jika menengok angka-angka pertumbuhan industri TPT dalam negeri, naga-naganya kasus ini bukan merupakan kasus umum perusahaan tesktil yang ada. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat, menyebutnya kasus Duniatex sebagai sesuatu yang menggambarkan karakter sebuah individu perusahaan dan bukan merupakan potret industri TPT.
Itu sebabnya, dia mengimbau agar seluruh perusahaan tekstil terbuka (public listed) atau tidak terbuka (private) menerapkan sistem good corporate governance (GCG) yang baik.
Dia menilai kasus yang menimpa anak usaha Duniatex yakni Delta Dunia Sandang Tekstil tersebut, memiliki sejumlah anomali yang perlu dicermati, seperti rating S&P yang berubah dari BB- ke CCC- dalam waktu 4 bulan saja.
Apa yang dikatakan Ade bukan berarti bahwa industri TPT baik-baik saja. Soalnya, sejumlah pengusaha TPT belakangan ini secara seragam mengeluhkan membanjirnya produk impor. Pengusaha domestik kewalahan bersaing dengan produk impor yang sebagian besar dari China. Harga barang China itu dijual lebih murah.
Kondisi itu memburuk sejak perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Produk China yang tadinya mengalir ke negeri Paman Sam sejak Mei lalu sebagian membanjiri pasar Indonesia.
Berdasarkan catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal China merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat seperti Indonesia.
Gempuran produk dari China itu membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat, konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah.
Ancaman Defisit
Membanjirnya TPT impor lebih deras dibandingkan kemampuan ekspor industri TPT kita jelas mengancam neraca perdagangan TPT Indonesia. Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), memperkirakan, dalam tiga tahun ke depan neraca perdagangan TPT Indonesia bakal defisit jika kondisi saat ini dibiarkan saja.
“Industri ada masalah, tetapi pemerintah enggan melihat. Pertumbuhan impor selalu di atas ekspor 10 tahun terakhir,” ujar Redma dalam Evaluasi Kinerja Industri Serat dan Benang Filamen Semester I/2019 di Jakarta, Rabu (10/7).
Sejak 2007 hingga tahun lalu, rata-rata pertumbuhan ekspor TPT hanya sebesar 3,1%, sedangkan impor tumbuh 12,3%. Surplus TPT terus tergerus dari US$6,7 miliar menjadi US$3,2 miliar.
Pada semester I tahun ini, impor TPT naik sekitar 7% secara tahunan senilai US$4,4 miliar dan diperkirakan pada akhir tahun neraca perdagangan TPT surplus US$2 miliar saja.
Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan impor TPT mengalami lonjakan terburuk dalam lima tahun terakhir yaitu sebesar 13,8%, sedangkan ekspor hanya naik sebesar 0,9%. Dengan demikian, surplus neraca perdagangan tergerus sebesar 25,5%.
Revisi Permen
Ade mengakui masalah impor memang sudah berlebihan. Soalnya, barang dari manca negara tersebut sudah diproduksi di Tanah Air. Itu sebabnya ia meminta Menteri Perdagangan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.64/2017 tentang ketentuan impor TPT.
Revisi itu diperlukan dalam hal pengetatan ketentuan kepada para importir pemegang angka pengenal importir umum (API-U). Pasalnya selama ini ketentuan impor yang diberikan kepada API-U terlalu longgar sehingga memicu lonjakan impor produk jadi melalui pusat logistik berikat (PLB).
Di sisi lain, Ade meyakini kinerja ekspor TPT Indonesia masih berada di jalur yang tepat dan prospektif. Nilai ekspor TPT ditargetkan tumbuh ke angka US$14,6 miliar pada tahun ini dari US$13,9 miliar pada 2018.
Meskipun target pertumbuhan ekspor tersebut cenderung moderat, namun banyak kesempatan yang dapat dicapai, terutama ekspor menuju ke AS yang kini ditinggalkan China. “Kami baru saja melakukan pembicaraan dengan importir tekstil di AS pada pekan ini. Respon importir AS sangat bagus, dan kami diminta bersiap untuk mengisi ceruk pasar di negara ini. Terlebih AS masih berkonflik dagang dengan China saat ini,” katanya kepada Bisnis.com, Selasa (23/7).
Sektor Andalan
Sejatinya, potret ciamik industri tekstil sudah ditunjukkan Badan Pusat Statistik (BPS). Badan ini mengungkap sepanjang kuartal I 2019, industri TPT tumbuh 18,98%. Pencapaian ini jauh lebih baik ketimbang pencapaian kuartal I 2018 yang sebesar 7,46%, bahkan melebihi pencapaian sepanjang 2018 yang sebesar 8,73%.
Pertumbuhan tinggi itu terjadi oleh investasi yang cukup besar di sektor hulu, khususnya produsen rayon. Ini terlihat dari beroperasinya PT Asia Pacific Rayon (APR) di Riau pada akhir 2018 dengan investasi Rp11 triliun.
Selama ini, industri TPT menjadi salah satu sektor andalan negeri ini. Industri tersebut memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional, sebab industri TPT tergolong padat karya dan berorientasi ekspor. Industri TPT menyerap tenaga kerja sebanyak 3,6 juta orang.
Itu sebabnya, berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, industri TPT merupakan satu dari lima sektor manufaktur yang menjadi prioritas pengembangan menuju era industri 4.0. Produsen tekstil dan pakaian jadi nasional diharapkan masuk jajaran lima besar dunia pada 2030.
Tentu saja untuk mencapai ke sana industri TPT perlu melakukan transformasi dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital, seperti 3D printing, automation, serta pemanfaatan internet of things (IOT). Transformasi ini dapat mendongkrak produktivitas dan kualitas secara efisien, serta dapat membangun klaster industri TPT yang terintegrasi dengan industri sarat teknologi atau industri 4.0. Jika itu sudah dilakukan, untuk menjadi lima besar dunia pada 2030 rasanya bukan sekadar mimpi.