PADANG,LIRANEWS—Kepala SMK Negeri 8 Padang, Ita Desnatalia membenarkan pihaknya ditunjuk sebagai pelaksana pegadaan pakaian batik untuk sekolah SMK se Sumatera Barat. Sebab, menurut Ita kepada LiraNews.com, lewat chat WA, Selasa (01/10/2024, SMK Negeri 8 Padang merupakan salah satu sekolah Pusat Keunggulan di jurusan Busana, dan itulah sebabnya sekolahnya mempunyai mesin printing batik yang di tempatkan di sekolah.
Ita menyebutkan bahwa, untuk pengoperasian mesin printing batik ini pihaknya bekerjasama dengan mitra bisnis yang melibatkan SMK Negeri 2 dan SMK Negeri 4 yang berkolaborasi dibawah bimbingan CV.Novia, sebuah perusahaan produsen batik tanah liat di Kota Padang. Namun ketika ditanya bentuk mimbingan tersebut, Ita tak berkomentar lagi. Bahkan sampai berita ini diturunkan tak adalagi tambahan informasi yang berhasil LiraNews.com korek dari Ita.
Disisi lain Ita juga menyebutkan bahwa program ini adalah program Kemendikbudristek, yaitu program SMK-PK, skema Pemadanan Industri, namun yang bersangkutan tidak menyebutkan bentuk kolaborasi dengan CV. Novia sebagai salah satu perusahaan industri batik di kota Padang. Apakah kolaborasinya berbentuk kerjasama saling menguntungkan dalam bisnis ataupun pemakaian alat dan tenaga kerja termasuk tenaga ahli, tidak dijelaskan Ita Desnatalia.
Seperti diberitakan media ini kemarin menyebutkan, Pengurus DPW LIRA (Dewan Pimpinan Wilayah-Lumbung Informasi Rakyat), Provinsi Sumatera Barat mendesak aparat penegak hukum di wilayah ini untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap indikasi kongkolingkong dalam pengadaan seragam sekolah khususnya pakaian batik bagi siswa-siswi SMA/SMK se Sumatera Barat. Sebab DPW LIRA melihat, pengadaan pakaian seragam berupa batik, pakaian pramuka dan pakaian muslim diindikasi dikelola langsung pihak sekolah dan hal ini sangat potensi melanggar aturan yang ada.
Khusus utuk pengadaan batik sekolah, konon khabarnya melibatkan MK3S (Musyawarah Kepala-Kepala Sekolah), baik tingkat SMA maupun SMK. Caranya, setiap tahun kepada sekolah-sekolah diturukan empat warna batik dan kepada sekolah-sekolah diminta untuk menentukan warna dan jenisnya. Setelah disetujui sekolah, barulah contoh tersebut dibawa kepada pihak pengadaan untuk selanjutkan pesanan tersebut dicetak dan didistribusikan.
Untuk tahun ini, justru diduga adanya indikasi kongkolingkong untuk pengadaan pakaian khusus batik tersebut. Dimana, untuk pengadaan seluruh Sumatera Barat yang ditunjuk SMK Negeri 8 bersama 5 sekolah lainya, empat di Padang, dua diluar Padang, salah satunya SMK di Solok. Masing-masing sekolah punya peran masing-masing, yaitu untuk SMK 8 ditunjuk untuk pengadaan bahan baju batik, sedangkan penjahitannya diberikan kepada SMK 6. Lantas gimana cara distribusinya ke sekolah-sekolah?
Sama halnya dengan pernyataan Ketua MKKKS SMA Sumatera Barat, ketua MKKKS SMK Sumatera Barat, Busraini Lubis juga menjelaskan bahwa pihaknya, (MKKKS-Red) tidak dilibatkan dalam masalah ini. “Rasanya MKKS tidak pernah dilibatkan untuk hal itu”, tukas Busraini Lubis lagi.
Program Nasional
Terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, Drs. H. Barlius kepada LiraNews.com menjelaskan, sebetulnya program penjualan pakaian sekolah seperti yang dilakukan SMK Negeri 8 adalah program nasional SMK PK Pemadanan Industri, Dinas Pendidikan hanyalah pemantau, “Jadi bukan kita yang tunjuk (Dinas Pendidikan-Red)”, sebut Kadis.
Drs. H. Barlius lebih jauh menjelaskan, karena SMK Negeri 8 adalah sekolah Pusat Keunggulan Busana, maka pihaknya mengajukan diri ke Ditjen Vokasi sebagai penyedia pakaian batik tersebut. Setelah diteliti kelengkapan persyaratan sesuai aturannya dan lengkap, pihak Ditjen Vokasi menyetujuinya, dimana untuk pendanaan separoh ditanggung dari pihak industri pendamping dalam hal ini CV. Novia dan separoh lagi dari Ditjen Vokasi, jelas Barlius.
Menjawab pertanyaan LiraNews.com tentang munculnya angka Rp.29 Miliar yang terdapat dalam angka penjumlahan seluruh siswa SMA dan SMK kelas X, dengan tegas Barlius membantahnya, “angka itu adalah angka fiktif, termasuk jumlah siswa. Karena tidak seluruh sekolah yang memakai baju batik produksi industri yang digandeng SMK Negeri 8, akan tetapi hanya sebagian, lagi pula jumlah siswa sebanyak 242.346 dikali harga Rp.120 ribu/pcs adalah angka seluruh siswa/siswi SMA/SMK di Sumatera Barat, bukan jumlah siswa/siswi SMK kelas X”, terang Barlius lagi.
Barlius juga menyebutkan bahwa, program ini merupakan bagian dari pembelajaran riil industri (teaching factory) di SMK. Dimana dalam program itu, anak-anak belajar mendesain produk, menghasilkan produk dan kemudian memasarkan produk dengan dipandu oleh industri. Pakaian dijahit oleh siswa SMK busana se Sumbar, siswa dapat uang.
Kebijakan Sekolah Masing-masing
Terpisah, sesuai dengan pengakuan, Saswin wakil ketua MKKS Kabupaten Pesisir Selatan yang dihubungi melalui handphonenya saat yang bersangkutan mengaku menuju Padang dari Ranah Pesisir menyebutkan, bahwa untuk pengadaan pakaian seragam sekolah tersebut pihaknya tidak terlibat, akan tetapi murni kebijakan sekolah masing-masing.
Bahkan Saswin menyebutkan bahwa, tahun lalu ada edaran dari Dinas Pendidikan bahwa, sekolah dilarang berbisnis dalam pengedaan pakaian seragam ini. Namun saja terjadi kerancuan, maka atas kesepakatan orangtua maka pembelian pakaian seragam ini, ditangani sekolah masing-masing.
Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor.50 tahun 2022, tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, pada Bab III tentang Penggunaan dan Pengadaan Pakaian Seragam Sekolah
Pasal 12 menyebutkan, (1) Pengadaan pakaian seragam Sekolah menjadi tanggung jawab orang tua atau wali Peserta Didik. (2) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, Sekolah, dan masyarakat dapat membantu pengadaan pakaian seragam Sekolah dan pakaian adat bagi Peserta Didik dengan memprioritaskan Peserta Didik yang kurang mampu secara ekonomi. Sedangkan pada Pasal 13 disebutkan bahwa, Dalam pengadaan pakaian seragam Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan/atau memberikan pembebanan kepada orang tua atau wali Peserta Didik untuk membeli pakaian seragam Sekolah baru pada setiap kenaikan kelas dan/atau penerimaan Peserta Didik baru. (***)