Ketika Tarif Trump Mengancam: Rupiah di Persimpangan Krisis

Presiden AS Donald Trump saat mengumumkan pengenaan tarif. (Daily Mail)

JAKARTA, LIRANEWS.COM | Langkah pemerintahan Donald Trump untuk menerapkan tarif ekspor terhadap Indonesia ke Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran serius bagi perekonomian nasional. Dalam beberapa bulan ke depan, dampaknya dapat berujung pada depresiasi rupiah yang lebih dalam terhadap dolar AS, memperburuk tekanan eksternal yang sudah membayangi. Saat ini, rupiah telah melemah hingga Rp16.560 per dolar AS. Pertanyaannya, mungkinkah rupiah menembus Rp17.000 dalam waktu dekat?

Tarif Baru, Ancaman Nyata

Amerika Serikat merupakan mitra dagang utama Indonesia, dengan ekspor produk-produk unggulan seperti tekstil, alas kaki, furnitur, serta produk karet dan kelapa sawit yang bergantung pada pasar AS. Pengenaan tarif baru oleh Trump diperkirakan akan menekan daya saing ekspor Indonesia, mengurangi surplus perdagangan, dan memperburuk defisit transaksi berjalan yang sudah menjadi momok bagi stabilitas ekonomi nasional.

Pengamat ekonomi dari Institute for Economic and Financial Research (INFER), Dr. Budi Santoso, menilai bahwa langkah AS ini akan mempersempit ruang gerak industri ekspor Indonesia. “Kita bukan hanya kehilangan daya saing di pasar AS, tetapi juga berisiko mengalami penurunan penerimaan devisa dari ekspor. Ini bisa memperparah tekanan pada nilai tukar rupiah,” ujarnya.

Read More
banner 300250

Menurut perhitungan Bank Indonesia, setiap pelemahan Rp100 terhadap dolar AS dapat meningkatkan biaya impor hingga Rp5 triliun per tahun. Dengan ancaman tarif baru ini, dampaknya bisa lebih luas, termasuk pada biaya produksi industri yang bergantung pada bahan baku impor.

Rupiah Bisa Menuju Rp17.000: Kenapa?

Dalam analisis pasar mata uang, pergerakan nilai tukar sangat bergantung pada fundamental ekonomi serta sentimen investor global. Ekonom senior dari Center for Global Trade Studies, Dr. Rina Wijaya, menyebutkan ada tiga faktor utama yang bisa mendorong rupiah menuju Rp17.000 per dolar AS:

1. Penurunan Devisa Ekspor: Tarif baru akan mengurangi pendapatan ekspor Indonesia, menekan ketersediaan dolar di pasar domestik.
2. Pelarian Modal Asing: Investor global cenderung mengalihkan investasinya ke aset yang lebih aman, seperti dolar AS dan emas, terutama ketika ketidakpastian ekonomi meningkat.
3. Tekanan Inflasi dan Kenaikan Suku Bunga: Jika rupiah terus melemah, Bank Indonesia mungkin dipaksa menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi dan menarik modal asing kembali ke pasar obligasi.

Fundamental Ekonomi Indonesia: Masih Kuat?

Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih dalam kondisi baik. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menekankan bahwa cadangan devisa yang cukup besar—sekitar $140 miliar—akan menjadi benteng pertahanan menghadapi volatilitas rupiah.

Namun, ekonom kritis seperti Faisal Basri berpendapat bahwa ketahanan ekonomi Indonesia tidak sekuat yang diklaim. “Fundamental ekonomi kita masih bergantung pada ekspor komoditas mentah dan impor barang modal. Ketika ekspor tertekan dan rupiah melemah, kita menghadapi risiko besar terhadap stabilitas ekonomi,” ujarnya.

Selain itu, kebijakan fiskal yang bergantung pada utang luar negeri juga menambah risiko tekanan terhadap rupiah. Dalam situasi seperti ini, kebijakan moneter yang hati-hati dan strategi diversifikasi ekspor ke pasar alternatif seperti Eropa dan Asia Timur menjadi langkah yang sangat penting.

Strategi Antisipasi Prabowo: ASEAN Bersatu Hadapi AS

Menghadapi ancaman tarif baru dari AS, Presiden terpilih Prabowo Subianto merespons dengan menginisiasi koordinasi strategis dengan negara-negara ASEAN. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dan kawasan Asia Tenggara dalam menghadapi tekanan ekonomi global.

Menurut sumber dari lingkaran ekonomi pemerintahan, Prabowo akan mendorong ASEAN untuk membentuk blok perdagangan yang lebih solid dalam menghadapi kebijakan proteksionisme AS. Beberapa strategi yang mulai dirumuskan antara lain:

1. Diversifikasi Pasar Ekspor: ASEAN harus lebih mengembangkan pasar intra-kawasan serta memperluas akses ke Eropa, Timur Tengah, dan Afrika sebagai alternatif tujuan ekspor.
2. Perundingan Perdagangan Kolektif dengan AS: Jika negara-negara ASEAN bersatu, posisi negosiasi dengan Washington akan lebih kuat dibandingkan jika bertindak sendiri-sendiri.
3. Penguatan Industri Domestik: Dengan meningkatkan substitusi impor dan mendorong hilirisasi industri, Indonesia dan ASEAN bisa mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS.
4. Stabilitas Finansial Kawasan: ASEAN harus mengoptimalkan Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM), sebuah mekanisme swap devisa antarnegara ASEAN+3 (Jepang, China, Korea Selatan) untuk menjaga stabilitas mata uang di kawasan.

Langkah diplomasi ekonomi ini mendapat dukungan dari pengamat hubungan internasional, Prof. Anwar Susanto. “Jika ASEAN bisa bersatu menghadapi tarif Trump, AS akan berpikir dua kali sebelum menekan satu negara saja. Trump bisa menargetkan Indonesia, tapi tidak mudah jika harus menghadapi satu blok ekonomi besar seperti ASEAN,” ujarnya.

Bersiap Menghadapi Dampak

Penerapan tarif ekspor oleh Trump bukan sekadar isu perdagangan, tetapi juga pukulan terhadap ketahanan ekonomi Indonesia. Jika tidak diantisipasi dengan strategi yang tepat, rupiah sangat mungkin menembus Rp17.000 per dolar AS dalam waktu dekat. Namun, langkah antisipatif yang diinisiasi oleh Prabowo dengan memperkuat koordinasi ASEAN bisa menjadi perisai terhadap tekanan eksternal.

Krisis selalu memberi dua pilihan: bertahan dengan kebijakan yang adaptif atau terjebak dalam arus global yang semakin ganas. Indonesia harus memilih dengan bijak.

banner 300250

Related posts

banner 300250

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *