Maluku, LiraNews — Dalam rangka Memperingati hari Pattimura yang jatuh setiap 15 Mei, Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) dipengasingan menuliskan pernyataan terbuka. Surat tersebut ditandatangani Presiden RMS J.G.Wattilete; Wakil Presiden RMS T.Solisa; Menteri Luar Negeri RMS Umar Santi; dan Menteri Urusan Umum Ir.E.Rahantoknam.
Dalam pernyataan tersebut pihak J.G. Wattilete menegaskan bahwa 15 Mei diperingati sebagai hari kematian pahlawan Pattimura. Kapitan Pattimura adalah putra bangsa Maluku. Seorang pahlawan karena ia menentang penindasan bangsanya —bangsa Maluku— oleh penjajah kolonial Belanda.
“Dia harus membayar perlawanannya terhadap penjajah Belanda dengan kematian. Setelah penangkapannya, ia dijatuhi hukuman mati. Pada 15 Mei 1817, Pattimura dihukum mati dengan cara digantung di depan umum di depan Benteng Victoria di Ambon,” jelas mereka.
Lebih lanjut dikatakan, untuk bangsa Maluku, Pattimura sama dengan pahlawan bangsa Maluku. Putra bangsa Maluku, yang memiliki keberanian untuk melawan penguasa kolonial. Tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan senjata. Itulah tindakan berani.
Baru pada tahun 1973 Presiden Indonesia Soeharto mengangkat Pattimura sebagai pahlawan rakyat Indonesia melalui dekrit presiden. Sehingga mulai saat itu Pattimura ditambahkan ke daftar pahlawan Indonesia yang menentang penjajah Belanda.
“Penambahan Pattimura ini terjadi hampir 23 tahun setelah negara kesatuan Indonesia dibentuk pada 17 Agustus 1950. Hanya jalan waktu ini telah menunjukkan bahwa menghormati Pattimura sebagai pahlawan rakyat oleh Republik Indonesia, tidak diprioritaskan”, jelas mereka.
Yang terakhir kata mereka, secara simbolis gambar Kapitan Pattimura dicetak pada uang kertas dengan nilai moneter terendah yaini 1000 Rupiah. Dan sebuah patung yang harusnya merupakan Pattimura ditempatkan di kota Ambon. Bentuk wajah dan perawakannya tidak terlihat seperti orang Maluku.
“Oleh karena itu untuk Republik Indonesia, Pattimura rupanya pahlawan nasional kelas 2. Ini bisa dimengerti dengan sendirinya. Pattimura tak pernah menjadi pahlawan Republik Indonesia”, tegas pemerintahan dipengasingan itu.
Diurai lebih lanjut, saat pemberontakan yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura pada tahun 1817 di pulau Saparua, Republik Indonesia tentu belum ada atau tidak eksis. Dogma negara kesatuan Indonesia dari “Sabang sampai Merauke” juga
tidak beréksis.
Sama sekali tak disebutkan tentang awal pembentukan negara Indonesia. Apalagi tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan predikat “harga mati”.
Negara ini pertama kali didirikan secara sepihak pada 17 Agustus 1950. Itu setelah terlebih dahulu Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan sebagai Negara pada 25 April 1950.
“Sebuah negara yang berlanjut hidup hingga kini di bawah hukum internasional. Namun, gagasan Proklamasi Republik Maluku Selatan lahir di negeri Islam yaini Tulehu di pulau Ambon pada hari-hari sebelum 25 April 1950”, ungkap mereka.
Dijelaskan pula, Kapitan Pattimura adalah pahlawan sejati bagi bangsa Maluku. Seorang Maluku, yang dengan keyakinan kuat bahwa ia sebagai putra bangsa Maluku, harus mengakhiri pendudukan negaranya Maluku dan eksploitasi rakyat Malukunya.
Penindasan bangsa dan tanah Maluku adalah motivasi untuk Pattimura pergi berperang. Bukan pentingnya Republik Indonesia yang tidak dikenal pada tahun 1817. Karena itu merupakan kesalah persepsi untuk menghormati Pattimura sebagai pahlawan yang mati demi kebebasan negara dan rakyat Republik Indonesia.
“Itu palsu. Kapitan Pattimura mati untuk Maluku. Seperti juga Mr. Dr. Chr. Soumoukil – Presiden ke-2 dari RMS – mati demi kemerdekaan Maluku. Pattimura dan Soumokil memiliki banyak kesamaan. Keduanya adalah putra bangsa Maluku,” urai mereka.
Ditegaskan, baik Pattimura atau pun Soumoukil sama-sama telah menentang penjajah kolonial di negara mereka. Yang satu melawan penjajah kolonial Belanda. Yang lainnya melawan penjajah kolonial Indonesia yang berturut-turut. Keduanya telah ditangkap.
Keduanya dijatuhi hukuman mati tanpa proses hukum jang adil. Untuk Soumokil juga kemungkinan untuk naik banding ditolak sebelumnya. Sudah pasti bahwa ia akan dihukum mati.
Turut dijelaskan pula bahwa kuburan Pattimura dan Soumokil tidak diketahui hingga saat ini. Meskipun tidak diketahui kuburan kedua pahlawan bangsa —putra Maluku— jiwa Pattimura dan Soumokil hidup dalam dalam hati semua orang Maluku, Muslim dan Kristen.
“Jika Pattimura akan hidup pada tahun 2020, ia akan pula melakukan perlawanan. Kali ini melawan penjajah Indonesia. Sejak pendudukan Maluku oleh Republik Indonesia, Maluku telah menjadi negara di mana anak-anak Maluku tidak dapat hidup dalam kebebasan,” seru mereka.
Diungkap pula, bukan Belanda yang bersalah untuk ini, tetapi itu adalah Republik Indonesia. Siapapun yang secara terbuka dan damai menyatakan keinginannya untuk bebas dengan mengibarkan bendera nasional RMS pada tanggal 25 April, akan ditangkap dan dijatuhi hukuman tinggi tanpa dasar hukum.
“Kami ingin mengingatkan semua pihak bahwa Belanda telah melakukan hal yang sama dengan Soekarno dan Hatta dengan membuang mereka. Menjadi fakta kalau Belanda dan Indonesia memiliki lebih banyak kesamaan”, sesal mereka.
Disampaikan pula kekecewaan yang mendalam bagaimana Penguasa kolonial —Belanda dan Republik Indonesia— secara strukturil mengeksploitasi Maluku. Kedua penjajah mencuri sejumlah besar sumber daya alam Maluku.
“Meskipun Maluku adalah negara kaya, rakyat di Maluku hidup dalam kemiskinan besar. Pendidikan dan perawatan kesehatan sangat buruk”, tulis Wattilete dan anggota kabinetnya.
Maluku menurut daftar yang mereka miliki, jelas ada di peringkat paling bawah. Karena berjangkitnya virus Covid-19, Gubernur Maluku Murad Ismail telah mengumumkan bahwa tingkat kemiskinan telah meningkat dari 17 persen ke 40 persen.
“Rakyat Maluku sengaja dibuat sebodoh mungkin. Ini juga merupakan strategi yang setiap kekuasaan kolonial, seperti di masa lalu juga digunakan Belanda secara struktural. Republik Indonesia menerapkan instrumen penindasan yang sama”, ungkap mereka.
Dikatakan pula bahwa Bangsa Maluku tidak bodoh dan semakin sadar bahwa penindasan yang berkelanjutan atas tanah dan bangsa Maluku harus berakhir.
“Mereka mengerti bahwa mereka hidup dalam kemiskinan di atas gunung emas. Mereka juga menyadari bahwa mereka harus bangkit untuk mengakhiri ini. Para pemimpin saat ini, dari gubernur sampai bapa raja negeri-negeri adat, sebagai anak-anak turunan Maluku harus mengambil tanggung jawab mereka. Berhenti jadi penonton”, jelas mereka.
Mereka juga menegaskan bahwa Maluku adalah bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak. Keadaan ini, semangat Pattimura, tidak dapat dikendalikan lagi —bukan saja di Negeri Aboru— tetapi di seluruh Maluku. Rakyat akan mengatasi ketakutan untuk membuat suara mereka didengar dan melawan penindasan dan kemiskinan.
“Pattimura-patimura baru akan pasti bangkit dan berjuang untuk memberikan kembali Maluku tanah leluhur mereka dalam tangan pemilik yang sah satu-satunya: Bangsa Maluku”, pungkas keempat tokoh Maluku yang merupakan pimpinan pemeritahan di pengasingan itu. LN-IT