Komisi II DPR: Pencabutan PT Langkah Maju Naikkan Derajat Demokrasi Substantif

Jakarta, LiraNews – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut syarat ambang batas pencalonan presiden atau residential threshold (PT) 20% dinilai sebagai langkah maju untuk membangun demokrasi substanstif dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).

Anggota Komisi II DPR RI Indrajaya mengatakan, sistem proposional terbuka dalam pemilu memang ditentukan secara kuantitatif dengan perolehan suara pemilih.

Namun, lanjut Indrajaya, kualitas peserta tetap harus menjadi faktor utama.

”Maka, penghapusan presidential threshold merupakan upaya untuk membuka konstitusionalitas semua warga yang akan menaikkan derajat demokrasi kepemiluan di Indonesia,” kata Indrajaya, Senin (6/1/2025).

Indrajaya mengatakan, putusan MK yang akhirnya mencabut PT setelah 32 kali di-uji materikan bukan semata-mata faktor keterlambatan, tapi pertimbangan matang.

”Bukankah untuk membangun suatu peradaban tidak boleh gegabah atau grusa-grusu. Ini adalah kemenangan bangsa dan negara. Putusan MK final dan mengikat sehingga harus dilaksanakan,” ujar Indrajaya.

Dengan dihapusnya PT, kata Indra, wajar jika nantinya masing-masing partai politik (parpol) nantinya berkeinginan untuk mengusung calon presiden dan/atau wakil presiden sendiri.

Namun, lanjut Indrajaya, meskipun tidak ada lagi PT harus ada ketentuan yang membatasi calon presiden dan wakil presiden, selain yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilihan Umum.

“Misalkan, karena presiden tetap akan diusulkan oleh parpol maka syarat pendirian parpol harus dilakukan dengan sangat ketat. Selain itu, bisa juga dibuat aturan melalui revisi UU Pemilu yang mengatur adanya pembatasan parpol yang bisa mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden adalah parpol yang lolos ambang batas minimal parliamentary threshold 4% atau parpol yang bertengger di Senayan,” sebut Indrajaya.

”Bisa juga misalkan ada konvensi internal atau antarpartai, dan pembatasan pilpres satu putaran atau dua putaran seperti di Pilkada DKJ,” sambung Indrajaya.

Syarat lain yang mungkin bisa dibuat misalkan capres atau cawapres harus berasal dari kader parpol dan pernah menjadi pejabat negara.

“Seperti pernah jadi anggota DPR RI, gubernur, menteri atau pernah pimpin partai politik. Syarat yang memikat parliamentary threshold 4 persen terbukti efektif membatasi parpol di Senayan. Jadi parpol non parlemen harus bersabar. Pak Anies Baswedan pun misalnya, kalau mau nyapres ya harus gabung dengan partai yang ada di Senayan,” urai Indrajaya.

Indrajaya menyebut ada beberapa negara yang pilpresnya tanpa PT.

“Rata-rata adalah negara yang menganut sistem presidensil, seperti Amerika Serikat, Brasil, Peru, Meksiko, Kolombia, dan Kyrgyzstan,” beber Indrajaya.

Indrajaya pun meyakini, meski PT ditiadakan, tidak semua parpol akan mencalonkan presiden atau wakil presiden.

Indrajaya mencontohkan, meski di Jakarta PKS memenangkan Pileg 2024, PKS tidak mengusulkan kadernya sebagai calon gubernur.

Menurutnya, jika ada pembatasan pencalonan hanya untuk parpol yang bertengger di Senayan maka kemungkinan paling banyak hanya akan ada empat pasangan calon.

”Saya pesimistis ada parpol yang berani mengusung paket capres-cawapres sendiri,” pungkas Indrajaya. LN-RON

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *