Jakarta, LiraNews – Diskusi informal rutin bersama Mayor Jendral Rido Hermawan M.Sc di Coffe Shop Lemhannas, Jl. Merdeka Selatan Jakarta Pusat, 17 Februari 2022 dimulai dengan topik bergesernya posisi dan peran masyarakat adat akibat desakan para pendatang yang berdatangan dan bermukim ditempat masyarakat setempat.
Masalah masyarakat adat yang diusung Johan Sembiring dari Forum Masyarakat Adat Sedunia, sungguh menjadi topik yang tak kunjung rampung. Apalagi mengacu pada peran masyarakat Keraton yang selama ini terkesan tidak difungsikan dalam upaya menata bangsa dan negera yang telah diwariskan kepada Negara Indonesia, sejak merdeka dari penjajhan bangsa asing.
Seperti bangsa Amerika yang ingin menjadi raja di luar daerah kekuasaannya, diimplementasikan melalui Hisbullah, hingga kemenangan dari pihak Taliban terhadap Hisbullah makin jelas tidak ada kaitannya dengan Umat Islam di dunia, kata Jendral Rido Herman. Karena Taliban itu telah membatasi diri dalam bingkai nasionalisme mereka saja. Tidak seperti isu yang berkembang di Indonesia.
“Jadi peta perseteruan di Afganistan itu bersifat nasional, tidak dalam skala internasional,” katanya.
Konteksnya dalam karakter building bangsa, maka jiwa bangsa itu wujud dari kepentingan nasional. Karena itu jiwa bangsa harus memiliki ruh yang kuat dan kukuh sebagai pondamen dari jati diri bangsa untuk diraih kembali melalui laku spiritual yang menasional sifatnya hingga kemudian sampai pada level yang mendunia.
“Upaya membangun Nation carakter building itu tidak cukup hanya dibicarakan, tapi harus diwujudkan dalam setiap jejak langkah dan perbuatan yang bisa dirasakan langsung oleh setiap orang,” ujar Rido Hermawan.
Karakter bangsa yang paling pondamental itu harus dilandasi oleh nilai-nilai spiritul yang kuat dan kukuh, agar bisa membentuk kepribadian yang bermartabat.
Seperti hal Ibu Kota Negara (IKN) dalam pandangan Eko Sriyanto Galgendu yang menyetarakannya dengan konsep babat alas semacam yang dilakukan Raja Jawa, harus dipahami secara historis, filosofis maupun geografis dalam konteks spiritual yang tidak bisa diabaikan. Sehingga IKN dapat memiliki ruh, karana memang tidak dapat dikatakan cukup untuk diselesaikan secara fisik semata.
Oleh karena itu, menurut Eko Sriyanto Galgendu, agar tidak akan sia-sia, IKN harus diberi muatan nilai-nilai spiritual. Sebab nafas kehidupan suatu bangsa dan negara hanya mungkin ada karena memiliki nilai-nilai spiritual di dalamnya.
Jika tidak, maka kesunyian dan kekosongan akan terjadi kelak, atau tidak memberikan apa-apa bagi warga bangsa Indonesia yang pada dasarnya senantiasa mengedepankan nilai-nilai spiritual.
Jendral Rido membenarkan bahwa untuk membangun jiwa dan raga bangsa itu setidaknya harus seimbang. Bahkan tata urutannya pun membangun jiwa baru kemudian raga (fisik). Sehingga dapat dipahami bahwa jiwa (spiritual) bagsa itu idealnya yang terdepan untuk dilakukan.
Pemahaman terhadap konsepsi memayu hayuning bawono (merawat keagungan dunia) bisa dijadikan acuan juga, imbuh Eko Sriyanto Galgendu, sehingga kehadiran IKN dapat ikut memperindah — tidak hanya dalam arti material semara, tetapi yang lebih penting memiliki bobot spiritual.
Apalagi, dalam konteks yang lebih ideal dapat memiliki korelasi dengan siklus peralihan setiap tujuh abad yang hari ini tengah memasuki babak keempat bagi warga bangsa Nusantara yang telah bersepakat memembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Jadi IKN pun tidak terlepas dari masalah yang manusiawi sifat dan irodatnya, utama mengenai masalah keiklasan dalam melalukan perannya sebagai manusia ciptaaan Tuhan di bumi,” pungkas Jendral Rido Hernawan. LN-Syabru