Koopssus, Pos Baru TNI, dan Perwira Menganggur

Presiden Joko Widodo mensahkan Komando Operasi Khusus atau Koopssus TNI. Di sisi lain, Panglima TNI Hadi Tjahjanto telah mengajukan anggaran sebesar Rp1,5 triliun untuk satuan TNI ini.

Satuan ini resmi terbentuk setelah Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, pada situs resminya, Senin (22/7) menyebut: “Dengan pertimbangan dalam rangka menghadapi ancaman yang memiliki eskalasi tinggi dan dapat membahayakan ideologi negara, kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, (NKRI), dan melindungi segenap bangsa Indonesia, pemerintah memandang perlu membentuk Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia.”

Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardhani, menjelaskan Koopssus TNI sesuai Perpres Nomor 42/2019 merupakan kesatuan dari 3 matra di TNI. Koopssus TNI mengoordinasikan 3 pasukan elite dari masing-masing matra itu.

“Dulu tahun 2015 Pak Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan saat ini), saat itu sebagai Panglima TNI, sudah memulai dengan Koopssusgab. Koopssus ini mengoordinasikan satuan elite TNI yaitu Den-81 Kopassus, Den-Jaka Marinir dan Sat-Bravo Paskhas,” ujar Jaleswari kepada Detik Minggu (21/7).

Dankoopssus TNI dibantu oleh Wakil Komandan Koopssus TNI disebut Wadankoopssus TNI. Dankoopssus TNI dijabat oleh perwira tinggi (Pati) bintang 2, sementara Wadankoopssus TNI dijabat oleh Pati bintang 1.

Sumber: tribunnews

Koopssus TNI tadinya terdiri dari 90 orang pasukan yang akan bertugas dalam status operasi. Hadi mengatakan telah mengajukan anggaran sebesar Rp1,5 triliun untuk membangun infrastruktur dan penyediaan peralatan seperti senjata. Selain itu, TNI akan membangun jaringan Koopssus di daerah yang didesain untuk mendeteksi posisi terduga teroris.

Perwira Nonjob

Jika menilik sejarahnya, Koopssus bukan pos baru yang dijanjikan Presiden Jokowi. Namun, jika menilik perpres tersebut satuan ini bakal menjadi besar. Sebelumnya, Jokowi berjanji menyiapkan 100 formasi baru untuk perwira tinggi TNI.

Sumber: Istimewa

“Dalam rapim TNI dan Polri beberapa waktu lalu saya sampaikan tugas TNI dan Polri semakin berat. Sebentar lagi akan saya tanda tangan penambahan jabatan perwira tinggi TNI,” kata Jokowi di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, Kamis (16/5). Sebulan sebelumnya dia juga menyampaikan pernyataan untuk membuat 60 pos jabatan baru untuk TNI.

Pembentukan pos baru perlu diambil sebagai solusi mengatasi masalah penumpukan perwira nonjob yang jumlahnya mencapai ratusan. Hanya saja, banyak yang mengkhawatirkan pos-pos baru yang dimaksud bakal “memakan” pos-pos sipil.

Muncul kecurigaan pemerintah ingin mengembalikan peran ganda tentara yang terjadi di masa Orde Baru. Kecurigaan semakin kuat setelah Marsekal Hadi menyatakan salah satu upaya mengurangi masalah perwira nonjob tersebut yaitu dengan mendistribusikan mereka ke kementerian. Lebih jauh, Hadi bahkan mewacanakan revisi UU TNI untuk memuluskan penempatan para perwira pengangguran ini.

Tentu saja hal ini dibantah pemerintah. “Setelah reformasi, TNI sudah mengubah diri menjadi institusi yang profesional,” ujar Moeldoko. Hadi sendiri juga menampik tudingan untuk mengembalikan dwifungsi. Menurut dia, dwifungsi militer merupakan masa lalu dan sudah berakhir pada 1998. “Kami memasuki era TNI baru,” kata Hadi, kepada Sindo Weekly.

Moeldoko. Sumber: Kompas

Sayangnya, meskipun telah dibantah tegas, rupanya kecemasan itu belum sirna. Kenangan tentang praktik dwifungsi ABRI di era Orde Baru sepertinya sulit dilupakan. Ini terlihat ketika pada 28 Juni Sekretariat Kabinet (Setkab) merilis Peraturan Presiden Nomor 37/2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI). Untuk kedua kalinya masyarakat heboh. Sekali lagi, beleid ini memancing kecurigaan akan kembalinya tentara ke ranah tugas dan fungsi sipil, yang konon memang dielu-elukan TNI dan para pensiunannya.

Perpres ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Juni dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, pada 17 Juni dan dirilis 11 hari kemudian. Pengumuman itu pun tak diiringi dengan isi lengkap dari Perpres Nomor 37 Tahun 2019 itu. Sontak, ini mengundang syak wasangka soal pemerintah ingin mengembalikan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Penanganan Bencana

Secara tersurat perpres tersebut sebenarnya tidak mengatur boleh tidak tentara keluar lagi dari barak alias masuk lagi ke posisi jabatan sipil. “Perpres ini tidak bisa ditafsirkan untuk menjadi landasan menduduki jabatan sipil,” kata peneliti Imparsial, Anton Alliabbas. Mantan jurnalis itu merujuk Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang prajurit TNI dalam satuan organisasi TNI.

TNI “dipaksa” pulang ke tangsi setelah Orde Baru runtuh. Namun, lebih dari 20 tahun reformasi, nyatanya masih tetap berhubungan dengan politik dan sosial masyarakat. Realitasnya, memang tidak sedikit jabatan dan tugas di lembaga sipil yang diduduki TNI. Pasal 47 Undang-Undang (UU) Nomor 34/2004 tentang TNI bahkan mengatur 10 kementerian atau lembaga negara yang boleh dijabat TNI. Syaratnya, mundur sebagai TNI aktif atau sudah pensiun.

Sumber: beritagar

Hadi menerangkan, sekarang TNI masuk dalam penanganan bencana dan pengelolaan perbatasan. Di wilayah kerja itu, TNI dibutuhkan untuk menggerakkan komando, komunikasi, dan koordinasi dengan semua stakeholder. Khusus wilayah perbatasan, pelibatan TNI dianggap wajar karena selama ini prajurit-prajurit loreng telah mengisi pos-pos perbatasan. Hadi menegaskan untuk posisi-posisi strategis di kementerian yang diisi oleh TNI aktif selalu berdasarkan memorandum of understanding (MoU). “Hanya sektor-sektor tertentu. Bukan kegiatan seperti dwifungsi, tapi profesional saja,” terangnya.

Tak bisa dibantah, kontroversi seputar kembalinya dwifungsi tentara berasal dari masalah penumpukan perwira yang menganggur di tubuh TNI. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkap TNI kelebihan 156 orang yang berpangkat bintang satu hingga tiga. Kemudian, ada 256 perwira tinggi dan 697 kolonel yang tersebar di kementerian dan lembaga. Sebaliknya, TNI mengalami defisit pada level prajurit hingga letkol mencapai 126.897 orang.

Data tersebut sedikit banyak menggambarkan adanya persoalan dalam pengaturan personel dan jabatan dalam tubuh TNI. Salah satu biang terjadi penumpukan perwira itu adalah perpanjang masa pensiun dari umur 55 menjadi 58 tahun. Aturan itu termaktub pada Pasal 71 UU Nomor 34 Tahun 2004.

Perpres Nomor 37/2019 diharapkan bisa menyelesaikan masalah tersebut. Jaleswari mengatakan perpres ini tidak kaitannya dengan dwifungsi, apalagi kembalinya gaya Orde Baru. “Sama sekali tidak benar,” ujarnya.

Jaleswari Pramodhawardhani. Sumber: Kompas

Perpres ini hanya mengatur jabatan fungsional yang berada di lingkup internal TNI. Pasal-pasal di dalamnya ingin mengurai perwira menganggur. Misalnya, jabatan fungsional untuk ahli utama bisa diduduki brigadir jenderal/marsekal pertama/laksamana pertama hingga mayor/marsekal muda/laksamana muda. Kemudian, ahli madya bisa dijabat oleh letkol hingga kolonel. Fungsional ahli muda menjadi jatah mayor hingga letkol. “Untuk menghargai profesi dan keahlian yang beragam di dalam TNI sendiri,” terangnya.

Jabatan fungsional yang diikuti kenaikan pangkat membuka ruang prajurit TNI untuk terus meraih bintang walau di luar jalur struktural. Memang maksimal bintang dua. Selama ini ada semacam pakem: kalau ingin karier dan pangkat meningkat harus berada di menempati posisi pemegang komando. Bukan rahasia lagi, jabatan sebagai pemegang komando, seperti panglima komando daerah militer (kodam) dan komando resor militer (korem), dianggap lebih bergengsi.

Sebelum rencana penguraian di jalur fungsional, Hadi Tjahjanto sudah melepas wacana meningkatkan pangkat pada jabatan struktural. Misal, ada 21 korem tipe B menjadi A. Jabatan itu diisi oleh perwira bintang satu. “Dampak ke bawah ada banyak jabatan letkol menjadi kolonel,” terang mantan Sekretaris Militer Presiden itu. Hadi tak sembarang mengeluarkan kebijakan karena itu merujuk pada Perpres Nomor 6 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi TNI.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah maupun internal TNI ini menunjukkan betapa sulitnya merapikan manajemen dan struktur organisasi militer. Bahkan, setelah 15 tahun UU 34/2004 terbit, TNI masih menghadapi masalah klasik: banyaknya perwira nonjob. Pengamat militer, Kusnanto Anggoro, mengatakan, masalah itu tidak bisa diselesaikan oleh perpres. “Itu masih menjadi soal seumur hidup kalau tidak ada terobosan,” terangnya.

Sumber: Warta Kota

Akar masalahnya adalah tidak klopnya antara kebutuhan operasional untuk menduduki jabatan dan personnel planning. TNI Angkatan Darat (AD) tiap tahun bertambah 15.000 mulai dari prajurit hingga perwira. Namun, yang pensiun tak sebanding. Hal serupa terjadi di dua matra lain, Angkatan Laut dan Udara.

Penyelesaian itu membutuhkan pembahasan mendalam dan serius mengenai external oriented, strategi militer, menempatkan diplomasi pertahanan dan militer, serta postur pertahanan. Ada satu solusi yakni dengan perubahan alokasi anggaran.

Anggaran yang terbatas membuat TNI tak leluasa dalam pengembangan organisasi, peningkatan kesejahteraan prajurit, dan pembelian alutsista. Tahun ini, TNI mendapatkan anggaran Rp108,4 triliun atau naik sekitar Rp9 triliun. Salah satu pos pengeluaran terbesar TNI untuk menggaji prajurit, yakni hampir 40–50%.

Semua masalah itu bukan berarti TNI tak melakukan pengembangan organisasi, peningkatan infrastruktur, hingga alutsista. Tahun lalu, TNI menempatkan empat kesatuan baru di Markas Komando III di Sorong. Empat kesatuan itu, antara lain Divisi Infanteri 3/Kostrad, Komando Armada III TNI AL, Korps Marinir TNI AL, dan Komando Operasi Angkatan Udara. Jabatan-jabatan itu lambat laun harus diperlebar.

Adanya kesatuan baru boleh jadi bakal sedikit mengurai masalah perwira nonjob ini. Selanjutnya, selamat datang Koopssus. (Dimas Huda)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *