Menanti Daerah Istimewa Minangkabau

Padang, LiraNews –Tanpa mengecilkan peran daerah lain, sumbangsih orang Sumatera Barat atau Minangkabau dalam merumuskan kemerdekaan Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Beberapa nama seperti Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, Syahrir, M. Yamin merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan awal bangsa atau bahasa lainnya merupakan founding father bangsa.

Tidak hanya itu, disaat kondisi negara sedang kritis, dimana ibukota negara dikuasai oleh Belanda, Sumatera Barat merupakan daerah yang menyelematkan pemerintahan negara melalui Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan presiden saat itu Syafrudin Prawiranegara. Jika tidak ada PDRI, maka akan terjadi kekosongan pemerintahan, lalu diambil alih lagi oleh Belanda.

Lebih lanjutnya, peran dan sumbangsih orang Minangkabau atau Sumatera Barat dalam proses sebelum hingga pasca kemerdekaan dapat dibaca dalam buku-buku sejarah pergerakan nasional. Dan tdak perlu jugalah saya menuliskannya kembali, toh tujuan saya bukan untuk bernostalgia, tapi memberi masukan kepada pemerintah pusat agar Minangkabau atau provinsi Sumatera Barat diberikan otonomi khusus dan keistimewaan.

Terlepas dari sumbangsih Sumatera Barat dalam proses ikut terlibat melahirkan negara ini, ada satu hal yang berbeda di Sumatera Barat, yakni kebudayaan. Sama-sama kita ketahui jika suku Minangkabau memakai sistem kekerabatan matrilineal atau garis keturunan ibu. Sistem matrilineal merupakan satu-satunya sistem kekerabatan yang ada di Indonesia.

Kebudayaan Minangkabau yang lekat dengan keislaman pun menjadi ciri khas tersendiri. Hal tersebut diterjemahkan kedalam falsafah hidup orang minangkabau ‘Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Adat Mamakai, Syarak Mangato’ yang artinya adat bersendi atau berpedoman kepada syarak (syariat islam), dan syarak (syariat islam) berpedoman kepada kitab (Al Qur’an dan Hadist), lalu adat memakai, syariat islam mengatakan atau menuliskan.

Alhasil, ada pameo yang berkembang di tataran masyarakat, yakni tidak ada orang Minangkabau yang tidak beragama islam alias semua orang minang semuanya beragama islam. Prakteknya pun telah memperlihatkan, seperti kehadiran pondok pesantren, surau (mushalla) dan masjid. Bahkan surau dijadikan sebagai pembentukan karakter islami dan sebuah kewajiban bagi anak-anak usia 7 sampai 17 tahun untuk dididik di surau.

Akibatnya, bermunculan para tokoh islam dari Minangkabau melalui proses pembentukan karakter di surau. Nama-nama seperti imam besar Masjidil Haram, Al Khatib Minangkabawi, penyebar agama islam di Sulawesi Selatan dan Aceh, Syekh Burhanuddin Ulakan dan ulama kontemporer seperti Buya Hamka, Ahmad Syafii Maarif serta banyak nama lain.

Selain itu, pemerintahan yang berlaku di Minangkabau pun ada dua, yakni pemerintahan umum dan pemerintahan adat. Pemerintahan adat di Minangkabau disebut dengan datuk sebagai ketua adat.

Nah, beberapa ciri khas atau karakteristik minangkabau seharusya membuat provinsi Sumatera Barat mendapatkan otonomi khusus, setidaknya diberikan keistimewaan oleh pemerintah pusat. Namun, sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, keistimewaan tersebut tidak kunjung diberikan. Padahal, proses pengajuan keistimewaan sudah dilakukan sejak tahun 2002.

Saya sebagai generasi muda minangkabau mendukung upaya keistimewaan minangkabau yang bisa kita sebut sebagai Daerah Istimewa Minangkabau (DIM). Upaya mendorong DIM ini pernah saya suarakan melalui Forum Pemuda dan Mahasiswa Awak Minang tempo hari saat bertemu beberapa tokoh dari Sumatera Barat. Hanya saja, dorongan ataupun dukungan dari segenap tokoh masyarakat akan menjadi sia-sia jika pemerintah pusat tetap bergeming.

Harapan saya, di usia 74 tahun kemerdekaan Indonesia, semoga kado termanis yang diterima masyarakat Sumatera Barat adalah Daerah Istimewa Minangkabau.

Dede Prandana Putra, Koordinator Forum Pemuda dan Mahasiswa Awak Minang

Related posts