Menendang Chevron di Laut Dalam

A tanker passes Oil platform Edith sits nine miles off the Long Beach, California coast in 161 feet of water and has been producing oil and gas since 1983. The Beta Oil field is in federal waters and was discovered by Shell Oil in 1976. Six West Coast senators introduced legislation that would ban permanently new oil-and-gas drilling off of the California, Oregon and Washington state coasts.

Raksasa migas Amerika Serikat, Chevron, dikabarkan bakal hengkang dari proyek Indonesia Deepwater Development (IDD). Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) kabarnya tengah membahas calon pengganti operator proyek Ultra Laut Dalam tersebut.

Kabar ini dilansir CNBC Indonesia, Senin (22/7). Seorang anggota SKK Migas membisikkan, kini pihaknya tengah membahas pengganti Chevron. Jika menelisik sejarah IDD, sejatinya kabar ini tidak mengejutkan. Soalnya, sudah beberapa kali perundingan antara SKK Migas dengan perusahaan migas Paman Sam itu selalu berakhir tanpa kesepakatan.

Sejauh ini SKK Migas juga belum menyetujui proposal rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) proyek IDD yang diajukan Chevron Pacific Indonesia (CPI). SKK Migas masih memperhitungkan tingkat keekonomian dari proyek tersebut.

Read More

Sumber: Katadata

Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, pernah menjelaskan tingkat kewajaran bagi kontraktor dan pemerintah berbeda sehingga perlu perhitungan yang matang. “Kewajaran itu tentu saja cukup relatif. Tapi kami juga harus lihat kepentingan negara,” kata Dwi, 27 Maret lalu.

Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan bahwa persetujuan PoD proyek IDD telah mencapai tahap evaluasi akhir. Pembicaraan mengenai biaya pembangunan proyek ini sudah mendekati nilai yang diharapkan pemerintah.

Chevron sudah mendapatkan persetujuan pengembangan proyek ini pada 2008. Dalam proposal PoD nilai investasinya sekitar US$6,9 hingga US$7 miliar. Namun, proposal itu direvisi karena harga minyak naik. Perusahaan asal Amerika Serikat itu kemudian mengajukan angka US$12 miliar pada 2013.

Sumber: CNBC

Proposal itu belum disetujui pemerintah. Selanjutnya, pada akhir 2015, Chevron kembali mengajukan revisi proposal PoD dengan nilai investasi US$9 miliar. Nilai investasi tersebut dengan asumsi ada insentif investment credit di atas 100%. Proposal itu pun kembali ditolak Kementerian ESDM. Sekitar Juni 2018, Chevron mengajukan proposal lagi. Namun, angka itu berubah dari yang dijanjikan sekitar US$6 miliar.

Pada Januari lalu, SKK migas mengestimasi biaya pengembangan proyek IDD hanya US$5 miliar. Dari data SKK Migas, proyek IDD  bisa berproduksi hingga 1.120 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd) untuk gas dan 40.000 barel per hari (bph) untuk minyak.

Konon, SKK Migas masih mengevaluasi proposal PoD pertama revisi yang diajukan Chevron terkait proyek itu. Pada proposal tersebut, Chevron tak lagi memasukkan Blok Makassar Strait sebagai bagian dari proyek IDD.

Jadi, proyek IDD hanya terdiri dari Blok Ganal dan Rapak. Namun, dua blok itu akan berakhir kontraknya dalam 10 tahun ke depan. Blok Rapak berakhir pada 2027 dan Blok Ganal tahun 2028. Belakangan, Arcandra Tahar menginginkan perpanjangan kontrak kedua blok ini bisa menggunakan bagi hasil dengan skema gross split setelah kontraknya berakhir. Namun hal itu belum bisa diputuskan. “Yang kontrak eksisting kan dengan cost recovery. Ke depan, pemerintah prefer gross split,” kata Arcandra kala itu.

Arcandra Tahar. Sumber: Istimewa

Proyek IDD merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi fokus perhatian pemerintah untuk dapat segera diwujudkan. Tadinya, proyek ini diharapkan lebih cepat mendapatkan titik temu dibanding Blok Masela. Nyatanya, tidak demikian. Kini, Masela justru sudah beres duluan.

Dwi Soetjipto pernah mengatakan, Chevron meminta tambahan bagi hasil (split) di proyek tersebut, agar proyeknya sesuai dengan keekonomian, sebab pemerintah meminta percepatan produksi dalam proyek IDD menjadi pada kuartal I-2024. “Tinggal masalah split memang, saat ini sedang negosiasi dengan mereka,” kata Dwi, Mei lalu.

Pembahasan masalah split tersebut cukup alot. Sebab, hingga saat ini skema kontrak bagi hasil dalam proyek ini masih menggunakan cost recovery hingga 2028, setelah perpanjangan kontrak, barulah menggunakan skema gross split.

Dwi masih belum mau membeberkan berapa tambahan split yang diajukan Chevron. Kendati demikian, ia menargetkan, penentuan besaran split IDD tersebut harus rampung di semester I tahun ini.

Lepas Satu per Satu

Sejatinya, dalam beberapa tahun terakhir, Chevron meninggalkan satu per satu blok yang dikelola. Salah satu sebab adalah karena blok itu sudah tidak ekonomis. Blok East Kalimantan dan Attaka, misalnya, masuk dalam kategori ini.

Sumber: Istimewa

Chevron mengumumkan tak lagi berminat mengelola blok East Kalimantan sejak 2016, ketika kontrak baru berakhir di 24 Oktober 2018. Blok dilepas karena hanya menghasilkan produksi rata-rata cuma 18.000 barel per hari ini. Blok dianggap sudah dan tidak ekonomis lagi.

Selain itu, Chevron juga mundur dari Blok Attaka yang memang masih merupakan unitisasi East Kalimantan. Di Blok Attaka, Chevron sebelumnya memiliki saham partisipasi sebesar 50%.

Sumber: CNBC

Setahun kemudian, Chevron juga memutuskan melepas 25% kepemilikan sahamnya di Blok B South Natuna, mengikuti Inpex dan Conoco Philips yang lebih dulu mundur dari tambang migas tersebut. Blok B South Natuna diteken pada 1968 dan semestinya berakhir pada 2028, rata-rata produksi minyak mencapai 20 ribu barel per hari dan gas 197 MMSCFD. Meskipun tidak menjadi operator, perusahaan asal Amerika Serikat itu menjual 25% hak kelola itu ke Prime Energy.

Pada Juli 2018, Chevron juga mundur dari blok Makassar Strait, yang merupakan bagian dari mega proyek ultra laut dalam IDD Chevron. Blok Makassar Strait adalah blok keempat yang dilepas oleh Chevron. Makassar Strait ditinggalkan dengan dalih faktor keekonomian.

Harusnya blok ini baru berakhir masa kontraknya di 2020 mendatang. Dengan mundurnya Chevron, blok dengan produksi minyak 1.965 barel per hari dan gas 2,4 MMSCFD ini kembali ke tangan pemerintah.

Sebelum melego blok Makassar Strait, di tahun yang sama, Chevron juga hengkang dari Blok Rokan karena kalah bersaing dengan PT Pertamina (Persero). Blok ini sempat menjadi blok minyak tersubur di Indonesia, sebelum akhirnya kalah oleh Cepu. Chevron mengusasi blok ini selama 94 tahun.

Blok Rokan

Blok Rokan seluas 6.264 km2 memiliki dua lapangan minyak terbesar, yakni Minas dan Duri. Chevron pertama kali datang ke sini sejak tahun 1924 dan melakukan produksi pertama di tahun 1952. Saat itu, tingkat produksi di lapangan Minas masih berada di level 15.000 barel per hari (bph) dan terus meningkat lebih dari 100.000 bph.

Sumber: Berita Satu

Dalam perjalanan yang panjang tersebut, tahun 2017 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan sempat mempersilakan Chevron memperpanjang kontraknya. Sebab di tahun 2021 kontrak pengelolaan tersebut akan habis.

Tidak ingin kehilangan Blok Rokan, Chevron terus berupaya dengan melakukan penawaran, salah satunya penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) secara full scale. Dengan EOR tersebut produksi Blok Rokan diperkirakan bisa mencapai 500.000 barel per hari.

Tetapi Pertamina tak diam saja, pihaknya juga mengajukan proposal untuk mengelola Blok Rokan di tahun 2021. Hal ini dilakukan untuk mensejajarkan dengan perusahaan minyak papan atas dunia.

Akhirnya pada 31 Juli 2018 perebutan tersebut diselesaikan. Kementerian ESDM memutuskan pengelolaan Blok Rokan di tahun 2021 jatuh kepada Pertamina. Sebab Pertamina menawarkan signature bonus atau bonus tanda tangan yang diberikan ke pemerintah sebesar US$784 juta atau Rp11,3 triliun. Kemudian, Pertamina juga menawarkan komitmen kerja pasti sebesar US$500 juta atau sekitar Rp7,2 triliun kepada pemerintah.

Sumber: CNBC

“Potensi pendapatan negara selama 20 tahun ke depan sebesar US$57 miliar atau sekitar Rp825 triliun. Insya Allah potensi pendapatan ini bisa menjadi pendapatan dan kebaikan bagi kita bangsa Indonesia,” ujar Arcandra Tahar.

Nah, kini Chevron tampaknya mengalami kesulitan. Saatnya PT Pertamina menyiapkan diri. (Dimas Huda)

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *