Jakarta, LiraNews.com – Menteri Agraria Tata Ruang, Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengisi materi dalam retret para kepala daerah di Akmil, Magelang, Jawa Tengah pada Kamis (27/2/2025).
Menteri Nusron menjelaskan tentang besarnya peranan kepala daerah, baik Gubernur, Bupati dan Wali Kota dalam masalah agraria, salah satunya dalam menentukan penerima Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)
“Kewenangan kepala daerah, gubernur, bupati, dan wali kota dalam Masalah agraria sangat besar sekali. Maka saya (Menteri ATR/BPN) berkepentingan dalam menyamakan frekuensi dengan bapak bapak dan ibu sekalian,” kata Nusron Wahid di awal pemberian materi retret kepala daerah.
Nusron menjelaskan terkait isu reforma agraria, khususnya terkait Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) karena banyak persoalan terjadi akibat adanya moral hazard.
Nusron menjelaskan tiga hal terkait Tanah Objek Reforma Agraria yang harus dipahami betul oleh kepala daerah, karena punya kewenangan yang besar.
Pertama, tanah negara yang tak produktif
Nusron menjelaskan, kawasan eks-HGU (Hak Guna Usaha) yang sudah tidak lagi diperpanjang, itu 30 persen harus menjadi TORA.
“Dan yang menentukan siapa penerima TORA adalah kepala daerah,” ujar Nusron.
Kerap terjadi persoalan (moral hazard) karena orang yang mestinya tidak dapat (tanah TORA) malah dikasi. Dan yang mestinya mendapat malah tidak dapat. Mungkin karena kemarin waktu pilkada tidak jadi timses atau bagaimana.
“Ini makanya saya berkepentingan bertemu bapak-bapak supaya menyamakan frekuensi soal TORA,” jelas Nusron.
Kedua, mengenai status perubahan tata ruang
Nusron menjelaskan sebuah kawasan yang dulunya adalah HGU perkebunan, kemudian karena kepala daerah mengubah tata ruang menjadi permukiman dan industri, maka statusnya berubah dari HGU menjadi HGB.
Ketentuan perundang-undangan mengatakan setiap perubahan dari HGU ke HGB, maka 20 persen tanah itu harus dikembalikan ke Negara, dan harus menjadi TORA.
“Siapa yang menentukan penerima TORA? lagi-lagi kepala daerah. Memang kami (Kementerian ATR/BPN) yang menentukan TORA, tapi soal siapa orang-orang yang menerimanya itu kewenangan kepala daerah,” jelas Nusron.
Ketiga, tanah telantar
Sudah punya izin HGU atau HGB, tapi selama dua tahun tak diapa-apakan. Lantas dikasi peringatan tiga kali, tetap tidak direspon dan tidak diapa-apakan. Maka tanah itu dianggap sebagai tanah telantar.
“Ini (status tanah telantar) sama dengan orang nikahan. Kalau tiga bulan berturut-turut tidak dikasi nafkah lahir dan batin. Yang bersangkutan tidak rela. Maka jatuh talak pertama,” kata Nusron sambil berkelakar dan disambut tawa para kepala daerah.
Terkait tanah telantar ini, Nusron menjelaskan 30 persennya wajib TORA. Penentu siapa yang menerima TORA tetap kepala daerah.
“Jadi banyak sekali kewenangan kepala daerah. Maka kita harus menyamakan persepsi agar satu frekuensi,” tegas Nusron.