JAKARTA, LIRANEWS.COM | Kasus lonjakan tagihan listrik yang tidak wajar semakin sering terdengar di berbagai daerah. Salah satu yang mencuat adalah keluhan pelanggan yang biasanya hanya membayar sekitar Rp66.000 per bulan, tetapi tiba-tiba menerima tagihan sebesar Rp1,36 juta—padahal rumah tersebut dalam kondisi kosong tanpa penghuni.
Fenomena ini bukan kejadian langka. Sejumlah pelanggan PLN di berbagai daerah mengeluhkan kejadian serupa, di mana tagihan listrik mereka melonjak drastis meskipun penggunaan listrik sangat minim atau bahkan nihil.
Penyebab Lonjakan Tagihan: Sistem yang Bermasalah?
PLN kerap menyatakan bahwa kenaikan tagihan disebabkan oleh sejumlah faktor, mulai dari metode perhitungan rata-rata, biaya minimum (abodemen), hingga kesalahan pencatatan meter. Namun, beberapa kasus menunjukkan adanya ketidaksesuaian yang sulit dijelaskan secara rasional.
1. Biaya Minimum dan Abodemen
PLN menerapkan sistem biaya minimum atau abodemen, yang berarti pelanggan tetap harus membayar sejumlah biaya meskipun tidak menggunakan listrik. Biaya ini dihitung berdasarkan perkiraan konsumsi minimum dalam sebulan. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah: mengapa tagihan bisa melonjak jauh di atas rata-rata jika rumah benar-benar kosong?
Direktur Niaga dan Manajemen PLN, Bob Saril, menjelaskan bahwa biaya minimum adalah bentuk investasi yang harus dibayar pelanggan atas ketersediaan jaringan listrik. Namun, dalam praktiknya, biaya ini sering kali terasa tidak masuk akal ketika pelanggan dikenakan tagihan ratusan ribu hingga jutaan rupiah untuk rumah yang tidak digunakan.
2. Metode Penghitungan Rata-Rata yang Merugikan Pelanggan
Sejak pandemi COVID-19, PLN menerapkan metode penghitungan rata-rata tagihan berdasarkan konsumsi tiga bulan sebelumnya. Kebijakan ini awalnya dimaksudkan untuk menghindari keterlambatan pencatatan meter akibat keterbatasan mobilitas petugas. Namun, banyak pelanggan mengalami lonjakan tagihan akibat metode ini.
Misalnya, jika seseorang pernah menggunakan listrik dalam jumlah besar dalam tiga bulan terakhir sebelum rumahnya kosong, sistem tetap menganggap pola konsumsi itu berlanjut meskipun rumah tersebut tidak lagi dihuni. Akibatnya, pelanggan membayar lebih dari yang seharusnya.
3. Kesalahan Pencatatan Meteran
Kasus salah pencatatan meteran listrik bukan hal baru. Beberapa pelanggan mengaku bahwa angka pada tagihan tidak sesuai dengan angka sebenarnya di meteran rumah mereka. Dalam beberapa kasus, PLN mengakui adanya kesalahan pencatatan dan melakukan koreksi, tetapi dalam kasus lain, pelanggan kesulitan mendapatkan keadilan karena sistem birokrasi yang berbelit.
Korban Lonjakan Tagihan: Dari Rumah Kosong hingga Rumah Tangga Sederhana
Beberapa pelanggan yang mengalami lonjakan tagihan listrik menyampaikan keluhan mereka di media sosial maupun kepada media massa. Berikut beberapa kasus yang sempat viral:
Seorang pelanggan di Jakarta mengeluhkan tagihan listrik yang melonjak dari Rp300.000 menjadi Rp3,5 juta dalam satu bulan, padahal konsumsi listriknya tidak berubah. PLN menyatakan bahwa kenaikan tersebut terjadi karena perubahan sistem pencatatan, tetapi pelanggan tidak mendapatkan penjelasan rinci.
Di Surabaya, seorang pemilik rumah yang kosong selama enam bulan tiba-tiba mendapatkan tagihan Rp1,2 juta. Setelah melaporkan kejadian tersebut, PLN menyebutkan adanya kesalahan penghitungan dan akhirnya mengoreksi tagihan.
Seorang ibu rumah tangga di Yogyakarta mengeluh karena tagihan listriknya naik dua kali lipat setelah menggunakan kompor induksi, meskipun daya listrik rumahnya tetap sama. Hal ini memicu kecurigaan bahwa ada perubahan tarif atau penghitungan yang tidak transparan.
Pihak yang Paling Dirugikan: Masyarakat Kecil
Kenaikan tagihan listrik yang tidak wajar terutama berdampak pada masyarakat menengah ke bawah yang memiliki keterbatasan ekonomi. Banyak pelanggan yang akhirnya harus membayar tagihan yang tidak mereka pahami, karena prosedur komplain ke PLN sering kali memakan waktu lama dan tidak selalu membuahkan hasil.
Bagi masyarakat yang sehari-hari bergantung pada penghasilan pas-pasan, lonjakan tagihan listrik sebesar ratusan ribu hingga jutaan rupiah bisa menjadi pukulan berat. Beberapa bahkan terpaksa meminjam uang atau mengurangi kebutuhan pokok mereka demi membayar tagihan yang tidak masuk akal.
Peran Oligarki Energi: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?
Ketika masyarakat kecil kesulitan menghadapi lonjakan tagihan listrik, pihak lain justru diuntungkan. Ada dugaan bahwa permainan tarif listrik, sistem abodemen, dan kebijakan pencatatan meteran yang tidak transparan merupakan bagian dari skema yang menguntungkan segelintir kelompok.
Di balik sistem kelistrikan nasional, terdapat kepentingan bisnis besar yang melibatkan para pemilik modal. Perusahaan-perusahaan energi besar dan oligarki listrik memiliki akses terhadap kebijakan tarif dan mekanisme pengelolaan listrik yang memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan maksimal, sementara masyarakat harus menanggung biaya yang terus meningkat.
Sebagai contoh:
Beberapa perusahaan besar mendapatkan subsidi listrik yang sangat besar dari negara, sementara pelanggan rumah tangga harus membayar tarif yang lebih tinggi.
Ada indikasi bahwa pembangkit listrik swasta (Independent Power Producers/IPP) menjual listrik ke PLN dengan harga yang menguntungkan bagi mereka, tetapi beban biaya akhirnya tetap ditanggung pelanggan.
Pihak-pihak tertentu memiliki akses ke negosiasi tarif listrik yang lebih murah, sedangkan masyarakat umum harus menerima kenaikan harga tanpa bisa bernegosiasi.
Apa Solusi bagi Masyarakat?
Untuk menghindari kejadian serupa, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh pelanggan PLN:
1. Pantau Tagihan Secara Berkala
Gunakan aplikasi PLN Mobile atau layanan online lainnya untuk memantau konsumsi listrik secara real-time. Jika ada lonjakan yang tidak wajar, segera laporkan.
2. Gunakan Listrik Prabayar
Dengan sistem prabayar, pelanggan bisa lebih mengontrol penggunaan listrik dan tidak akan terkena tagihan minimum atau abodemen.
3. Laporkan Kesalahan Secepat Mungkin
Jika menemukan tagihan yang tidak wajar, segera laporkan ke PLN dan minta klarifikasi. Jika perlu, lakukan pencatatan meteran secara mandiri setiap bulan untuk membandingkan angka dengan yang dicatat oleh PLN.
4. Dorong Transparansi dan Reformasi Sistem Tarif Listrik
Masyarakat perlu lebih kritis terhadap kebijakan tarif listrik dan mendorong transparansi dalam pengelolaan sistem kelistrikan nasional. Jika perlu, lakukan advokasi melalui jalur hukum atau gerakan sosial untuk menuntut kebijakan yang lebih adil.
Masyarakat yang Selalu Jadi Korban
Lonjakan tagihan listrik yang tidak masuk akal adalah fenomena yang terus berulang. Sistem yang tidak transparan, metode penghitungan yang merugikan pelanggan, dan permainan oligarki energi menciptakan kondisi di mana masyarakat kecil selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.
Sudah saatnya masyarakat bersatu dan mendesak pemerintah serta PLN untuk lebih transparan dalam pengelolaan listrik nasional. Jika tidak, lonjakan tagihan listrik yang tidak wajar ini akan terus terjadi, dan masyarakat akan terus menjadi korban tanpa kejelasan.