Ombudsman Awasi Pengelolaan Dana Investasi BPJS Ketenagakerjaan

Mokh Najih, Ombudsman RI

Jakarta, LiraNews – Ombudsman Republik Indonesia mencermati pelayanan publik bidang sosial yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih mengatakan, masyarakat masih mengeluhkan pelayanan BPJS Ketenagakerjaan, terutama pada sisi kepesertaan dan pemberian hak jaminan sosial datau klaiom manfaat.

Read More
banner 300250

Keluhan masyarakat ini berhubungan dengan tata kelola dana BPJS Ketenagakerjaan serta sistem pelayanannya,” ungkap Mokh. Najih saat memberikan sambutan dalam Ngobrol Virtual Bareng Ombudsman RI dengan tema “Apa Kabar Investasi Saham BPJS Ketenagakerjaan”, Kamis (22/7/2021) secara daring di Jakarta.

Ia menilai perlukan solusi yang tepat agar tata kelola pelayanan BPJS Ketenagakerjaan selalu berpihak kepa peserta atau pengguna layanan.

UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pasal 11 huruf (b) menyatakan bahwa BPJS berwenang menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.

“Oleh sebab itu dalam konteks penempatan dana BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk investasi pada perusahaan (BUMN maupun Swasta) harus menjamin tentang program jaminan sosial yang menjadi hak dari peserta,” ujar Mokh. Najih.

Dalam kondisi pandemi COVID-19 dimana situasi dunia usaha dan investasi sedang mengalami ujian, Najih mengatakan masyarakat peserta BPJS Ketenagakerjaan perlu mendapatkan kepastian bahwa program penjaminan sosial tetap berjalan dengan baik.

“Utamanya bagi peserta yang terdampak COVID-19 agar diperhatikan dalam proses pengurusan hak jaminan sosialnya. Sebagaimana diketahui tingginya angka korban dan PHK dalam kurun satu tahun terakhir akan berakibat terhadap banyaknya pengurusan jaminan sosial dari peserta, seperti pengajuan klaim Jaminan Hari Tua dan Jaminan Kematian,” terang Mokh. Najih.

Senada, Anggota Ombudsman RI Hery Susanto yang bertindak sebagai salah satu narasumber menegaskan bahwa BPJS Ketenagakerjaan berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukannya.

“Dalam Pasal 3 UU BPJS, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya,” tegasnya.

Hery membeberkan, total dana investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 487,1 triliun pada 2020. Jumlah itu meningkat 12,7% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 432 triliun. Dana tersebut berasal dari setiap jaminan dan BPJS Ketenagakerjaan sendiri.

Dengan rincian, dana investasi dari jaminan hari tua (JHT) mencapai Rp 340,8 triliun atau meningkat 9% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 312,6 triliun. Lalu, dana investasi yang berasal dari jaminan pensiun (JP) sebesar Rp 79,4 triliun, naik 34% dibandingkan pada 2019 yang mencapai Rp 58,9 triliun. Dana investasi dari jaminan kecelakaan kerja (JKK) sebesar Rp 40,6 triliun atau naik 13,9% dari tahun 2019 yang sebesar Rp 35,6 triliun.

Kemudian, dana investasi yang berasal dari jaminan kematian (JK) sebesar Rp 14,7 triliun atau meningkat 12,3% dibandingkan pada 2019 yang sebesar Rp 13 triliun. Sedangkan, dana investasi dari BPJS Ketenagakerjaan turun 1,7% menjadi Rp 11,7 triliun. Hasil dari investasi tersebut tercatat sebesar Rp 32,3 triliun pada 2020.

“Jumlah itu naik 10,6% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 29,2 triliun. Perusahaan lantas menargetkan hasil investasi mencapai Rp 33,4 triliun pada tahun ini,” imbuh Hery.

Ia menerangkan BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana peserta ke instrumen investasi deposito dengan lebih memilih berinvestasi di Bank Pembangunan Daerah (BPD). Pada semester I tahun 2020, diperoleh informasi bahwa dari 26 BPD se-Indonesia terdapat tujuh Bank BPD yang tidak mendapatkan alokasi penempatan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan. Yakni BPD DKI, BPD Kaltim, BPD Papua, BPD Riau Kepri, BPD Sulteng, BPD Sumsel Babel dan BPD DIY.

“Sebaran dana investasi BPJS Ketenagakerjaan tidak berkeadilan dan proporsional sebab masih ada 7 bank BPD yang tidak mendapatkan dana investasi tersebut,” tegasnya.

Ia juga menyebut BPJS Ketenagakerjaan perlu menerapkan asas BPJS yakni asas kemanusiaan, asas manfaat dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Penerapan faktor bunga tinggi saja itu sudah melenceng dari asas BPJS. Direksi dan Dewas BPJS Ketenagakerjaan harus sadar posisinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara,” ucap Hery.

Di akhir paparannya, Hery menyampaikan beberapa harapan Ombudsman RI di antaranya percepatan penyelesaian laporan masyarakat dengan mengoptimalkan focal point pada instansi Terlapor, membangun koordinasi dan kerjasama dengan Kementerian/Lembaga/Penyelenggara Pelayanan Publik dalam Pencegahan Maladministrasi dan Penyelesaian Laporan Masyarakat.

Kemudian membangun koordinasi dan kerjasama dalam rangka pengawasan pelayanan publik di Kementerian/Lembaga terkait dengan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dan komisikomisi terkait di DPR RI, serta bersinergi dalam penyusunan regulasi dari pusat sampai dengan daerah dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik.

Hadir pula sebagai narasumber, Ketua Komisi IX DPR RI Felly S Runtuwene dan Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Periode 2016-2021, Poempida Hidayatulloh.

Ketum FSPTSI-KSPSI, HM. Jusuf Rizal dan Wapres KH Ma’ruf Amin

Sebelumnya, aktivis buruh pekerja, HM. Jusuf Rizal menyoroti kasus korupsi dana investasi BPJS Ketenagakerjaan senilai Rp43 triliun yang masih mandek di Kejaksaan Agung.

Jusuf Rizal mengingatkan, Kejaksaan Agung jangan sampai masuk angan dan “mempetieskan” kasus yang sudah bertahun-tahun ini.

“Ada apa dengan Kejagung. Kami mendesak Jaksa Agung Burhanuddin memberi perhatian serius karena dana itu milik para pekerja dan buruh,” tegas HM. Jusuf Rizal.

Lebih parah lagi, Jusuf Rizal yang juga aktivis pekerja dan buruh telah mencium adanya lobi-lobi politik dalam kasus ini agar aktor intelektualnya bisa lepas dari jeratan hukum. “Jika ini terjadi akan menampar muka Kejagung, ” tandasnya.

Jusuf Rizal mengingatkan, uang Rp43 triliun itu sangat besar. Dikumpulkan dari dana pekerja puluhan ribu rupiah setiap orang. Pekerja dipaksa membayar melalui kekuatan hukum, tapi begitu terkumpul kemudian disalahgunakan.

Saat ini BPJS Ketenagakerjaan memiliki dana lebih dari Rp600 triliun. Diperkirakan akan terus naik seiring dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 tentang optimalisasi kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.

“Kan menjadi ironis, kepesertaan digenjot. Begitu terkumpul, uangnya bocor. Lebih miris lagi dana sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan untuk meningkatkan kepesertaan dan pendapatan, justru diincrat-incrit,” tegas pria berdarah Madura-Batak yang juga Presiden LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat).

Related posts