PDI Perjuangan Dalam Ingatan, Kesaksian Sejarah

Robi Maulana

JAKARTA – Masih terngiang dalam ingatan masa kecil saya, Tahun 1997, bapak saya alamarhum Sutarman pernah mengajak saya keliling berkampanye untuk Partai Demokrasi Indonesia (PDIP).

Di atas motor Yamaha RX Spesial, bersama teman-teman bapak, saya menikmati kepulan asap di atas motor yang knalpotnya sudah diubah sedemikian rupa agar terdengar suara khas motor-motor para pembalap liar.

Read More
banner 300250

Bapak memang simpatisan PDI saat itu, bersama tongkronganya yang saya ingat sesama pekerja proyek, bapak menyiapkan bambu, bendera, ikan kepala dan bapak juga mebagi kaos bergambar kepala banteng dalam limas segi lima.

Saya dinaikian di atas motor legend Yamaha RX Spesial, rombongan kami menyusun barusan di Jalan Tanjung Duren Raya, Jakarta Barat.

Sebelum berangkat, ibu saya hanya berpesan pada bapak dan saya agar hati-hati di jalan. Ibu tidak pernah ikut kampanye, karen beliau simpatisan PPP dari garis keturunan kakek yang juga jamaah Muhamadiyah, jadi warga Muhamadiya pada saat itu pasti pilih PPP.

Rombongan bapak meluncur menuju arah Grogol, lalu di sambut oleh simpatisan PDI yang keluar dengan motor dari arah Duri Kepa, dan akhirnya bergabung juga simpatisan bermotor di jalur Tomang.

Saya mengingat, ratusan motor simpatisan PDI tumpah di Jalan Tomang menuju Harmoni.

Dalam kegemebiraan kampanye, saya mengingat betul muka muka wong cilik, mukanya orang susah, muka si miskin yang meneriakan Hidup PDI… Hidup Mega… Hidup PDI… Hidup Mega….

Barisan pendukung PDI ini terus melaju dari arah Harmoni menuju Monas, hingga bundaran air mancur (yang sekarang dikenal dengan Bundaran Indosat).

sampai di Bundaran Indosat, para simpatisan PDI ini dibelokan jalurnya menuju jalan Budi Kemuliyaan arah Tanah Abang oleh polisi, karena kata polisi di depan ada rombongan simpatisan lain yang juga sedang berkampanye.

Saya ingat betul bapak bilang “kita balik arah pulang, di depan ada Golkar”.

“Siapa golkar?” kata ku.

“Mereka lawan kita,” kata bapak.

Rombongan kami pun balik menuju arah Slipi, masuk Kemanggisan, lalu membubarkan diri di Tanjung Duren.

Malamnya, bapak ngumpul sama temen-temenya yang tadi siang kampanye. Saya ikut nimbrung, sebagai anak bocil kelas 6 SD, saya sotoy aja ikutan bapak denger pengarahan dari koorlapnya yang masih pakai kaos PDI dengan gambar Bu Mega.

Saya tak paham apa yang disampaikan oleh si korlap ini. Pas mereka bubar, saya tanya ke bapak.

“Tadi ngobrol apa pak?”

Bapak cuma jawab, “besok Obi ga usah ikutan konvoi lagi, kayaknya suasana akan panas.”

Saya masih engga ngerti dimaksud bapak “suasan akan panas”.

Hari hari selanjutnya saya hanya bisa nonton keseruan kampanye pemilu ini lewat berita di TVRI yang disiarkan dari tv layar cembung bermerek Sharp yang ada di rumah.

Hingga pemilu 1997 selesai, saya terus diwanti-wanti oleh bapak untuk tetap hati-hati dan engga boleh main jauh-jauh pada saat itu.

Hingga akhirnya saya masuk usia SMP tahun 1998, sebagai warga Tanjung Duren, kami remaja SMP kaget dengan apa yang terjadi di sekitar Grogol pada Mei 1998.

Kampus Trisakti heboh ada kerusuhan, saya dan teman-teman dengan santai melihat semua kejadian itu dari dekat sekolah kami di Tanjung Duren.

Akhirnya bapak menemukan kami dengan membawa motor legendnya sambil membawa sebatang bambu kecil dan beliau berterika: “Pulang ga lu pada, ato gua getok satu satu.”

Kami kocar kacir menyelamatkan diri menuju rumah masing-masing. Hingga akhirnya kami tau ini adalah tragedi mengerikan.

Kerusuhan terus berlanjut, tiap hari selalu ada berita kekacauan di mana mana. Sebagai remaja SMP, Ibu selalu berpesan, “Pulang sekolah langsung pulang, biar engga digetok bambu sama bapak lu”.

Dan bapak juga engga kalah merepetnya, “Engga usah ikut ikutan mahasiswa itu, bahaya,” ujar bapak pada ku.

Hingga sekian lama, kekacauan yang ada ini terhenti, bapak kembali mengajak aku berkampanye untuk PDI, yang kali ini semua atribut bertuliskan Mega Bintang Rakyat.

Hingga akhirnya saya ikut bapak menuju tempat pencoblosan pada tahun 1999 itu.

Sesaat setelah pencoblosan, saya tanya ke bapak, “Pak tadi coblos PDI yah?

“Bukan, kita coblos PDI Perjuangan, bukan PDI lagi,” ujar bapak.

Sejak saat itulah itulah saya mengenal PDI Perjuangan di usia remaja, dan sosok Ibu Megawati Soekarnoputri

Hari ini, PDI Perjuangan genap berusia 52 Tahun, masih banyak yg perlu saya tuliskan tentang partai ini dalam perjalanan hidup saya. Karena sejarah tidak pernah berhenti, dan saya akan mencoba menuliskanya lagi.

Selamat Ulang Tahun Ke-52 PDI Perjuangan, Semoga Semakin Berjaya Selama-lamanya.

Oleh: Robi Maulana
Pengurus Badan Kebudayaan Nasional PDI Perjuangan DKI Jakarta.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *