Jember, LiraNews – Menjelang ahir masa jabatan Hendy Siswanto sebagai Bupati Jember, permasalahan proyek pengadaan wastafel di kabupaten Jember paska keluarnya putusan PN Jember No. 11/Pdt/G.S/2024/PN Jmr tertanggal 18 April 2024, dipatikan akan berdampak besar bagi kesiapan dan kekuatan APBD Kabupaten Jember untuk menjalankan putusan tersebut.
Perlu diketahui, hingga saat ini masih ada gugatan kasus yang sama dan sedang berjalan di Pengadilan Negeri Jember, bahkan menyikapi adanya putusan terbaru tersebut, bisa dipastikan beberapa pelaksana pekerjaan wastafel yang belum terbayar bersiap diri untuk mengajukan gugatan baru, dengan harapan mendapatkan hasil putusan yang sama dengan putusan No. 11/Pdt/G.S/2024/PN Jmr tersebut.
“Kita di Gabpeknas sedang membahas rencana pengajuan gugatan bagi anggota asosiasi yang belum menggugat ke pengadilan, ada beberapa anggota kita yang belum terbayarkan dan nilainya tidak sedikit, mencapai milyaran rupiah, bahkan ada anggota kita yang terpaksa harus jual asset untuk melunasi hutang dan membayar bunga bank,” ujar Adi Bangun Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Jember.
Menurutnya, saat ini sedang dilakukan konsolidasi untuk pendataan siapa saja yang belum mengajukan gugatan, akibat belum terbayarnya wastafel oleh Pemkab Jember, nantinya akan dikoordinir oleh asosiasi untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jember.
Aulia Rahman SH. yang menjadi kuasa Hukum PT. Kwarta Usaha Buana membenarkan jika ada kewajiban Pemkab Jember membayar uang paksa sebesar Rp. 1 juta/hari sejak putusan dijatuhkan oleh Majelis Hakim PN Jember.
“Sejak diputus tanggal 18 April 2024 lalu, Pemkab Jember berkewajiban untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada klien kami sebagaimana yang diputuskan oleh PN Jember,” ujar lawyer yang juga menjabat sebagai ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DPD LIRA Jember.
Jika ternyata denda berjalan sejak putusan dijatuhkan hingga saat ini (1 September 2024), setidaknya Pemkab Jember diawajibkan membayar uang paksa kurang lebih sebesar Rp. 150 juta, padahal nilai kontrak wastafel sekitar Rp. 180 juta.
“Jika permasalahan ini oleh Pemkab Jember tidak segera diselesaikan bisa jadi nilai dwangsom yang harus dibayarkan kepada klien kami bisa dua kali lipat bahkan berlipat-lipat jika pembayaran dwangsom tidak dianggarkan lewat APBD maupun PAPBD,” imbuh Aulia.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Choironi ZA, Sekretaris Daerah DPD LIRA Jember, yang menyatakan jika proses untuk membayar uang paksa tidak mungkin langsung dibayarkan, karena ada mekanisme dalam sistem keuangan daerah yang mengharuskan pengeluaran anggaran lewat persetujuan dewan.
“Untuk pembayaran sesuai nilai kontrak yang dimenangkan dalam gugatan mungkin sudah dianggarkan pada tahun sebelumnya, namun untuk pembayaran uang paksa bisa dipastikan tidak ada anggaran untuk membayarnya, karena putusan tentang pembayaran dwangsom tersebut keluar setelah APBD 2024 berjalan,” ujarnya.
Menurutnya, bisa saja dilakukan pembayaran lewat mekanisme PAPBD, namun apakah dimungkinkan akan dibahas oleh DPRD mengingat saat ini telah dilantik anggota dewan baru hasil pilihan legislative 2024, apalagi anggota dewan baru saat ini masih disibukkan dengan penyusunan alat kelengkapan dewan (AKD) baru.
“Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, apakah anggota dewan baru akan membahas masalah kewajiban membayar dwangsom lewat PAPBD 2024 atau APBD 2005..? kalaupun disetujui untuk pembayarannya, bagaimana penentuan besarannya nilai dwangsomnya…?,” imbuhnya.
Karena pembayaran dwangsom diputuskan sebesar Rp. 1 Juta/per hari, bukan berdasarkan prosentase atas nilai kontrak, belum lagi jika ada gugatan yang memiliki putusan yang sama, berapa lagi uang pajak rakyat yang diamanatkan lewat APBD akan dihabiskan akibat kelalaian dari Pemkab Jember…?
Bahkan menurut pria yang juga sebagai dewan Pembina LBH DPD LIRA Jember tersebut, jika permasalahan ini tidak segera dituntaskan akan semakin besar dwangsom yang harus dibayarkan, jika ada gugatan baru dan seluruhnya diputuskan minimal sama dengan putusan No. 11/Pdt/G.S/2024/PN Jmr, bisa jadi Pemkab Jember terancam bangkrut karena anggaran pembangunan dan belanja akan banyak terserap untuk membayar uang paksa.
“Semakin besar uang paksa yang tak terbayar, dan jika tidak ada kesanggupan untuk membayar, maka penggugat dimungkinkan dapat mengajukan sita asset milik Pemkab Jember sebagai ganti atas ketidak sanggupan membayar uang paksa, dengan catatan hanya asset tertentu yang bisa diajukan untuk di eksekusi,” tandasnya. LN-Biro Jember