Penyelesaian Jiwasraya Harus Transparan dan Adil: Sertakan Tim Independen, dan Hukum yang Bersalah

Jakarta, LiraNews – Sejak akhir 2018 pemegang polis PT Asuransi Jiwasraya (Jiwasraya) tidak bisa mencairkan polisnya yang jatuh tempo. Jiwasraya gagal bayar. Sampai sekarang belum ada penyelesaiannya. Pemerintah sebagai pemegang saham Jiwasraya dengan kepemilikan 100 persen, terlihat gagap. Maju mundur tanpa ada kejelasan.

Penyebab gagal bayar Jiwasraya bukan karena risiko bisnis biasa. Bukan karena ekonomi turun kemudian berimbas kepada kinerja investasi Jiwasraya sehingga merugi. Tetapi, gagal bayar Jiwasraya ditengarai akibat ada pelanggaran hukum dan korupsi. Beberapa orang sudah ditangkap. Dan beberapa orang dicegah bepergian ke luar negeri.

Read More
banner 300250

Pertama mengenai Produk JS Saving Plan yang ditawarkan kepada publik pada akhir 2013. Produk ini terindikasi melanggar ketentuan produk asuransi Jiwa. Produk ini mirip deposito dengan bonus asuransi jiwa, menawarkan imbal hasil tetap selama lima tahun. Tetapi bisa dicairkan setiap tahun. Imbal hasil yang ditawarkan sangat tinggi. Sekitar 9 persen lebih, bahkan bisa mencapai 13 persen. Nasabah tertarik membeli produk JS Saving Plan. Dana mengalir sampai puluhan triliun.

Kemudian, Jiwasraya tertekan untuk mengembalikan imbal hasil tinggi. Spekulasi tidak terhindarkan. Jiwasraya mulai investasi di saham ‘gorengan’. Atau penempatan investasi langsung, atau repo, di beberapa perusahaan dengan kinerja buruk. Penempatan langsung ini sepertinya tidak dilakukan secara profesional, tetapi berdasarkan rente.

Jiwasraya akhirnya gagal bayar. Polis jatuh tempo akhir 2018 tidak bisa dicairkan. Nasib pemegang polis terkatung-katung selama dua tahun terakhir ini. Ada yang mengadu ke DPR, tapi tanpa hasil.

Para pemegang polis tidak boleh menjadi korban. Mereka tidak bersalah. Pemerintah selaku pemegang saham Jiwasraya harus bertanggung jawab penuh atas terjadinya kerugian ini. Pemerintah harus mengganti investasi mereka. Dilematis, penggantian kerugian ini akan menjadi beban rakyat yang juga tidak bersalah, dan tidak tahu-menahu permasalahan.

Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat gagal bayar Jiwasraya harus diusut. Yang salah harus dihukum sesuai peraturan dan undang-undang yang berlaku. Kalau tidak rakyat yang menanggung beban bailout ini bisa marah. Oleh karena itu, penegakkan hukum yang adil menjadi keharusan.

Pihak-pihak yang wajib diperiksa antara lain perwakilan pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, pejabat OJK yang mengawasi sektor asuransi, auditor atau pemeriksa laporan keuangan perusahaan, serta pihak lainnya seperti manajer investasi dan pejabat perusahaan yang menerima dana penempatan investasi Jiwasraya.

Per 31 Desember 2019, ekuitas (modal) Jiwasraya defisit Rp 33,66 triliun. Dengan aset Rp 19,12 triliun dan kewajiban Rp 52,78 triliun. Defisit ini terus bertambah seiring berjalannya waktu. Per akhir Juli 2020 defisit ekuitas diperkirakan mencapai Rp 38 triliun.

Pemerintah rencananya akan melakukan restrukturisasi Jiwasraya dengan menyuntik dana Rp 22 triliun. Rencana ini tentu saja mengundang polemik. Di satu sisi, tidak adil kalau rakyat harus menanggung beban korupsi berjamaah yang dilakukan para pejabat Jiwasraya dan kroninya. Di lain sisi, juga tidak adil kalau para pemegang polis yang tidak bersalah ini harus menanggung beban korupsi berjamaah tersebut.

Tetapi, pemerintah sebagai pemegang saham wajib bertanggung jawab. Karena masalah gagal bayar ini juga merupakan kesalahan pemegang saham yang mempunyai wewenang mengganti dan mengangkat direksi dan komisaris.

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diadakan paling sedikit setahun sekali. Pemegang saham seharusnya tahu kondisi keuangan Jiwasraya yang sebenarnya. Pemegang saham seharusnya tahu produk JS Saving Plan bermasalah, mirip skema ponzi. Kenapa didiamkan bertahun-tahun sampai menderita kerugian besar?

Jangan sampai suntikan dana Rp 22 triliun tersebut disalahgunakan lagi. Jangan sampai dikorupsi lagi. Oleh karena itu, dana _bailout_ seyogyanya hanya boleh digunakan untuk mengganti kerugian para pemegang polis. Proses penggantian ini harus dilakukan secara transparan. Pemerintah harus menunjuk tim independen untuk membayar polis yang sudah jatuh tempo. DPR harus membentuk tim independen pencari fakta siapa yang terlibat kasus korupsi maupun gratifikasi Jiwasraya. Hukum harus ditegakkan.

Dana _bailout_ Rp 22 triliun tidak boleh digunakan untuk operasional Jiwasraya atau holding asuransi yang akan dibentuk. Rakyat sudah tidak percaya dengan manajemen Jiwasraya serta wakil pemegang saham. BUMN harus dirampingkan hanya untuk keperluan industri strategis saja, sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Per akhir Desember 2019, 11 BUMN dari 99 BUMN di bawah kendali kementeriaan BUMN mengalami defisit modal. Antara lain: PT Asabri defisit Rp 6,1 triliun. PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari defisit Rp 1,2 triliun. PT Iglas defisit Rp 1,1 triliun. PT Kertas Kraft Aceh defisit Rp 1,1, triliun, PT Merpati Nusantara Airlines defisit Rp 6,4 triliun, PT PANN defisit Rp 3,3 triliun.

BUMN akan selalu menjadi beban negara. Beban rakyat. Modal BUMN berasal dari utang negara dengan beban bunga cukup tinggi yang harus ditanggung APBN. Selain itu, BUMN juga tidak memberi manfaat banyak kepada rakyat. Bahkan monopoli BUMN sering kali merugikan rakyat.

Pertamina tidak menurunkan harga BBM ketika harga minyak mentah dunia anjlok. PLN tidak menurunkan tarif listrik ketika bahan bakar pembangkit listrik turun. Bank BUMN tidak menurunkan suku bunga kredit (sepantasnya) ketika suku bunga acuan Bank Indonesia turun, ketika resesi menghantui ekonomi Indonesia. Bahkan bank BUMN membukukan _Net Interest Margin_ tinggi. Menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

BUMN juga sering dijadikan ATM (kasir) untuk kepentingan politik. Bagi-bagi jatah jabatan komisaris dan proyek. Oleh karena itu, keberadaan BUMN harus ditinjau ulang untuk kepentingan rakyat. BUMN yang tidak penting sebaiknya dibubarkan.

Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy studies (PEPS)

Related posts