Pimpinan MPR Gelar Silaturahmi Kebangsaan dan Penyerahan Surat pada Keluarga Presiden ke-2 RI Soeharto

Jakarta, LiraNews – Pimpinan MPR RI kembali menyelenggarakan acara Silaturahmi Kebangsaan dengan Keluarga Besar Presiden ke-2 RI Soeharto. Agenda Silaturahmi Kebangsaan ini merupakan agenda rutin yang dilaksanakan oleh Pimpinan MPR periode 2019-2024.

Pada acara ini juga diserahkan surat jawaban Pimpinan MPR RI Nomor: B-13721/HK.00.00/BVII/MPR/09/2024 tanggal 24 September 2024 dalam Menindaklanjuti Surat Pimpinan Fraksi Partai Golongan Karya MPR RI Nomor PP.022/FPG/MPRRlllX/2024, Perihal Pasal 4 TAP XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk ditegaskan oleh Pimpinan MPR RI bahwa Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 khususnya yang secara eksplisit menyebut nama Mantan Presiden Soeharto agar dinyatakan sudah dilaksanakan, tanpa mencabut ketetapan tersebut maupun mengurangi makna yang termaktub secara umum dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998.

Dengan ini Pimpinan MPR RI menegaskan sebagai berikut:

1 . Pimpinan dan lembaga MPR sebagai lembaga penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan Rumah Besar Kebangsaan, berkomitmen untuk terus melakukan berbagai upaya untuk terciptanya rekonsiliasi nasional dan kerukunan persaudaraan kebangsaan di antara berbagai elemen bangsa dalam koridor etika dan hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2. Bahwa terdapat fakta hukum Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 yang merupakan Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor l/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2022 yang menyatakan bahwa Tap XI/MPR/1998 termasuk dalam kategori TAP MPR Yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang;

3. Bahwa selanjutnya dalam Pasal 4 angka 2 TAP l/MPR/2003 dipertegas keberlakuan Tap XI/MPR/1998 yaitu dinyatakan: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut;

4. Bahwa Undang-undang pelaksana dari Tap XI/MPR/1998 yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan dalam Pasal 34: Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya;

5. Bahwa terdapat fakta hukum, secara hukum pidana pada 11 Mei 2006 Kejaksaan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Bapak Soeharto karena perkara ditutup demi hukum, yaitu gangguan kesehatan permanen pada Bapak Soeharto sehingga persidangan tidak mungkin dilanjutkan. Bahwa pada 9 Juli 2007, Kejaksaan Agung menggugat Bapak Soeharto secara perdata beberapa Yayasan Bapak Soeharto, salah satunya Yayasan Supersemar. Hasilnya, pengadilan melalui berbagai putusan mulai Putusan Pengadilan Negeri (PN) sampai putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung pada 2015 menyatakan Yayasan Supersemar terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan amar putusan mengharuskan Yayasan Supersemar membayar kerugian kepada negara, namun sampai saat ini baru dibayarkan sebagian kepada negara;

6. Bahwa upaya hukum yang dilakukan kepada mantan Presiden Soeharto secara pribadi sudah selesai dilakukan dengan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memberikan kepastian hukum kepada mantan Presiden Soeharto, melalui Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan/SKPPP pada tahun 2006 oleh Kejaksaan Agung sesuai pasal 140 ayat (1) KUHAP, serta Keputusan Mahkamah Agung nomor 140 PK/Pdt/2015 karena alasan penyakit permanen yang diderita Bapak Soeharto pada waktu itu.

7. Bahwa, pada tanggal 27 Januari 2008 Bapak Soeharto telah meninggal dunia dan sesuai ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.
8. Bahwa dengan mengacu point 6 dan 7 di atas, maka materi muatan dalam Pasal

4 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 yang secara eksplisit menyebutkan nama Mantan Presiden Soeharto dalam perbuatan melawan hukum melakukan tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme secara pribadi dengan ini dinyatakan sudah dilaksanakan, namun tidak termasuk terhadap perkara-perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme lainnya yang disebutkan dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998;

9. Bahwa Pimpinan MPR dalam Rapat Gabungan tanggal 23 September 2024 menyetujui untuk menugaskan alat kelengkapan MPR yaitu Badan Pengkajian MPR untuk melakukan pengkajian atas kedudukan hukum dan tindak lanjut TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 dimaksud, termasuk ketetapanketetapan MPR/MPRS lainnya yang dinyatakan masih berlaku sesuai ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003;

10. Bahwa dalam semangat persatuan dan kesatuan serta bersandar pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersumber dari ajaran agama dan nilai-nilai Iuhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa, Pimpinan MPR RI mendorong agar jasa dan pengabdian mantan Presiden Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade dapat diberikan penghargaan yang layak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. LN-RON

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *