Pintu Masuk Ambruknya Bank Bali

DUA jam lebih kami habiskan waktu untuk cerita tentang masa lalu. Pada Sabtu siang itu, hanya sedikit hal-hal terkini yang kami singgung. Rudy Ramli, eks Direktur Utama Bank Bali, ini belum bisa menghapus sepenuhnya kenangan pahit yang sempat menjerat bisnisnya, keluarganya, dan dirinya.

Rudy tidak muda lagi. Kini sudah 61 tahun. Bertingkat masalah pernah menerpanya. “Saya sempat kena santet,” tuturnya serius. “Sekarang sudah bebas,” lanjut putra Djaya Ramli, pemilik dan pendiri PT Bank Bali Tbk. Rudy tercatat sudah dua kali terserang stroke.

Sampai detik ini, Rudy masih memercayai bahwa ayahnya meninggal juga karena kena guna-guna. Kini sang bunda sedang terbaring sakit. “Sudah empat tahun dalam kondisi koma,” jelasnya, sembari menunjukkan video yang merekam perempuan tua tergeletak di atas divan.

Siapa yang jahil terhadap keluarga ini? Rudy bilang sudah tahu orang jahat itu. Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang memberi petunjuk.

Pada penghujung 2000, Rudy dipanggil Gus Dur. Pertemuan berlangsung di Istana Negara, Jakarta. Kala itu Rudy sudah kehilangan Bank Bali, status dirinya baru lepas dari tahanan dalam kasus cessie Bank Bali yang bikin heboh itu. Pertemuan terjadi atas permintaan Gus Dur. “Kami berbicara sampai dua jam. Sebagian saya enggak tahu apa yang diomongkan karena sering mengeluarkan istilah-istilah dalam bahasa Jawa, kadang istilah Islam,” kenangnya.

Rudy mengadukan nasib kepada Gus Dur atas kehilangan kepemilikannya di Bank Bali. Pada pertemuan itu Gus Dur bertanya, “Pak Rudy, apakah mengetahui kejadian yang sesungguhnya menimpa Bank Bali?”

Agak bingung juga Rudy ditanya begitu. “Gus Dur tentu punya maksud tertentu. Dia presiden dan dia ngomong begitu, pasti dia mau bicara apa-apa yang saya tidak tahu,” pikir Rudy.

“Saya tidak tahu, Gus,” jawab Rudi, akhirnya. Gus Dur lalu bercerita banyak. Bahkan, apa yang dilakukan Rudy terkait Bank Bali, Gus Dur tahu. Misalnya, ada pertemuan antara Rudy dan pengusaha JR, Gus Dur juga tahu persis tentang tempat, waktu, dan apa yang dibahas.

“Pak Rudy, kebetulan saya ini presiden. Semua aparat intelijen kedudukannya berada di bawah kewenangan saya. Karena itu, sebelum ketemu Pak Rudy, saya meminta laporan terlebih dahulu kepada semua aparat intelijen mengenai Bank Bali,” ujar Gus Dur mengusir rasa heran Rudy.

Gus Dur lalu membeberkan pertemuan yang dilakukan Rudy dengan JR dan AN pada April 1997. “Kelompok mereka ingin membeli Bank Bali dengan harga US$1,8 miliar, tetapi Anda abaikan. Mereka marah besar,” kata Gus Dur.

Bank Bali sejak lama memang telah menjadi portofolio keuangan yang diminati oleh banyak kalangan investor. Eks Komisaris Bank Permata, Ichsanuddin Noorsy bersama Haryo Prasetyo dalam buku Menggugat Pengambilalihan Bank Bali menyebutkan minat kalangan investor untuk memiliki saham Bank Bali sudah mulai diketahui jauh sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia.

Kembali ke cerita Rudy tentang upaya AN dan JR membeli saham Bank Bali. Pada September 1997, pengusaha ST juga menawar Bank Bali. Persis dengan tawaran yang pernah diajukan AN dan JR. “Kondisi ekonomi kan sekarang sedang tidak bagus. Jual saja saham Bank Bali,” bujuk ST.

Rudy dan keluarga tetap menolak. Tawaran ST itu menjadi pendekatan langsung terakhir yang dilakukan calon pembeli saham pengendali Bank Bali yang dipegang keluarga Ramli. Hingga akhir 1997, setelah krisis ekonomi datang, saat pasar uang macet dan banyak bank yang mengalami masalah keuangan, kondisi Bank Bali tetap prima.

Kala itu, Bank Bali sangat kelebihan dana sehingga, dalam beberapa kesempatan, Bank Bali berkali-kali diundang rapat oleh pejabat di Ditjen Keuangan Depkeu, yaitu Bambang Subianto dan pejabat Bank Indonesia dengan agenda untuk memberikan pinjaman ke pasar uang antarbank.

Karena dorongan itu, manajemen Bank Bali tidak ragu untuk memberikan pinjaman kepada bank-bank lain. Rudy tidak pernah mengira keputusan itu kelak membuatnya harus kehilangan kepemilikan di Bank Bali. Sadar atau tidak, keberanian memberi pinjaman antarbank inilah pintu masuk pengambilalihan Bank Bali.

Miftah H. Yusufpati

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *