Jakarta, LiraNews – Terkait gugatan Anadarko Petroleum Corporation senilai Rp39,5 triliun, Wakil Ketua Fraksi PKS (F-PKS) DPR RI Mulyanto meminta Pertamina menjelaskan secara terbuka kepada publik terkait masalah yang terjadi.
Menurut Mulyanto nilai gugatan perusahaan Amerika Serikat (AS) itu tidak main-main karena Pertamina harus membayar kerugian sebesar Rp39,5 triliun akibat pembatalan perjanjian impor LNG 1 juta ton (MTPA) per tahun dalam jangka waktu 20 tahun dari Mozambik pada Februari 2019.
Anggota Komisi VII DPR RI ini juga mendesak Pemerintah agar lebih akurat dalam menyusun perencanaan pertumbuhan kebutuhan energi. “Jangan sampai terjadi ketidaksesuaian atau miss match seperti kasus listrik PLN yang over supply mendekati 50%. Saat produksi listrik berlebih PLN malah membangun pembangkit dengan utang yang mencapai Rp500 triliun,” imbuhnya.
Menurut Mulyanto, hal ini juga serupa terkait komoditas gas. “Di saat produksi LNG kita surplus, sehingga memungkinkan ekspor, Pertamina justru mengimpor gas ini dalam jumlah besar. Logikanya tidak pas,” ungkapnya.
Padahal, lanjut Mulyanto, diketahui transaksi berjalan perdagangan migas Indonesia terus tekor setiap tahun. Semestinya yang dilakukan bukanlah impor gas, tetapi ekspor,” pinta Mulyanto.
Mulyanto juga meminta Pemerintah menegur Pertamina yang ingin mengambil keuntungan dengan menabrak logika perdagangan komoditas energi selama ini.
“Secara umum strategi dasar kita adalah menggenjot lifting migas, sehingga kita dapat semakin baik memenuhi kebutuhan migas domestik dan terus mengurangi impor migas, yang dengan itu defisit transaksi berjalan migas dapat direduksi,” ujarnya.
“Syukur-syukur kalau bisa surplus. Bukan malah memperbesar defisit transaksi berjalan melalui impor LNG,” tambah legislator asal Dapil Banten 3 ini.
Mulyanto menilai, Pertamina lalai menganalisa data kebutuhan gas dalam negeri. Akibatnya perusahaan plat merah itu harus menghadapi gugatan dengan nilai yang tidak sedikit.
“Seperti diketahui, sebelum datangnya pandemi Covid-19 sudah muncul kelesuan dalam permintaan energi untuk industri, apalagi setelah terjadi pandemi, yang sampai hari ini belum berakhir, permintaan energi di sektor industri semakin melemah,” tandas Mulyanto. LN-RON