Prof. Pratikno, Prof.Brian, Prof.Ova Emilia Jika Gagal Tuntaskan Kebenaran, Sebaiknya Mundur

Oleh Agusto SulistioMantan Kepala Aksi Advokasi PIJAR era 90an, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).

ISU dugaan ijazah palsu Sarjana Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) milik mantan Presiden Joko Widodo kembali mencuat dan tak kunjung mereda. Meski masa jabatannya telah berakhir, bayang-bayang pertanyaan publik terhadap keabsahan ijazah tersebut terus menghantui ruang kepercayaan terhadap lembaga negara, termasuk institusi pendidikan tinggi.

Dugaan ini bukan sekadar bisik-bisik publik, melainkan telah diajukan melalui jalur hukum oleh Prof. Dr. Eggi Sudjana, seorang aktivis senior sekaligus cendekiawan muslim dan praktisi hukum. Namun, hingga kini, Jokowi belum pernah hadir di persidangan guna menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sebaliknya, pembelaan terhadap dugaan tersebut lebih banyak dilakukan oleh institusi terkait, seperti UGM, melalui pernyataan beberapa tokoh, salah satunya Prof. Dr. Pratikno.

Prof. Pratikno bukan sosok biasa. Ia adalah mantan Rektor UGM yang kemudian menjadi Menteri Sekretaris Negara selama dua periode pemerintahan Jokowi. Banyak pihak meyakini bahwa ia memiliki peran besar dalam membangun narasi politik Jokowi, bahkan dianggap sebagai sosok yang merancang jalur karier politik putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, hingga berhasil menembus posisi strategis sebagai Wakil Presiden RI. Jika dugaan ini benar, maka gagal redamnya isu ijazah palsu Jokowi justru menjadi pukulan terhadap kredibilitas konseptor utama tersebut.

Kekhawatiran publik tak berhenti sampai di dugaan ijazah palsu Jokowi. Kian hari, pertanyaan pun mulai mengarah ke latar belakang pendidikan tinggi Gibran sendiri. Meski tidak ada tuduhan langsung, sorotan terhadap legalitas dan integritas pendidikan keluarga Presiden menjadi indikator betapa pentingnya transparansi di tengah masyarakat yang terus menuntut akuntabilitas.

Di tengah transisi kekuasaan nasional, munculnya polemik seperti ini sangat berpotensi mengganggu stabilitas politik dan sosial. Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi fondasi utama bagi keberhasilan program pembangunan yang kini dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto bersama Wakil Presiden Gibran. Tanpa kejelasan hukum dan jawaban yang jujur, risiko kegaduhan politik akan tetap ada, dan ini jelas bukan iklim yang ideal bagi pembangunan nasional maupun investasi jangka panjang.

Di sinilah peran penting Kementerian Pendidikan, khususnya Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Prof. Brian Yuliarto, untuk melakukan langkah konkret dan terukur. Sebagai perpanjangan tangan Presiden di bidang pendidikan tinggi, Prof. Brian perlu segera berkoordinasi dengan Rektor UGM saat ini, Prof. dr. Ova Emilia, Ph.D, untuk mengurai simpul keraguan publik secara terbuka dan jujur. Penyelesaian ini bukan hanya perkara administratif, melainkan soal menjaga martabat negara dan kredibilitas dunia akademik.

Apalagi, baru-baru ini publik juga dikejutkan dengan adanya perbedaan data mengenai siapa sebenarnya dosen pembimbing skripsi Jokowi pada tahun 1985. Selama ini disebutkan Prof. Soenardi Prawirohatmodjo, namun laporan lain menyebutkan nama Prof. Achmad Sumitro. Ketidaksesuaian ini, tanpa klarifikasi yang jujur dan menyeluruh, hanya akan memperparah krisis kepercayaan yang sudah meruncing.

Jika pihak-pihak terkait seperti Mendikbudristek dan Rektor UGM merasa tidak mampu atau tidak memiliki keberanian untuk menyelesaikan persoalan ini secara tuntas, maka demi kebaikan bersama, sebaiknya mereka mengundurkan diri. Hal yang sama juga berlaku bagi Prof. Pratikno jika kelak terbukti terlibat dalam upaya menutupi fakta. Jabatan publik adalah amanah yang melekat pada prinsip kejujuran, bukan semata status atau kekuasaan.

Penuntasan dugaan ijazah palsu ini menjadi batu ujian penting bagi Indonesia. Bila dibiarkan mengambang tanpa kejelasan, ia tak hanya meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi, tapi juga membuka celah ketidakpastian hukum yang bisa menghalangi masuknya investasi dan memperlemah pembangunan nasional. Pemerintahan Prabowo-Gibran membutuhkan fondasi yang kuat, bukan hanya secara politik, tetapi juga secara etis dan moral.

Menjawab keprihatinan publik bukanlah bentuk serangan, melainkan langkah untuk menyelamatkan nilai-nilai dasar negara, vtkejujuran, keadilan, dan kepastian hukum. Keteladanan bukan dibentuk dari narasi indah, tetapi dari keberanian menghadapi kenyataan. Inilah saatnya kita mengembalikan martabat pendidikan, integritas pejabat, dan kehormatan bangsa, dengan menjadikan kebenaran sebagai panglima.

Penutup

Jerman telah memberi pelajaran berharga bagi kita, bahwa dalam negara demokrasi yang sehat, kejujuran bukan sekadar nilai moral, tetapi fondasi kepercayaan publik terhadap negara dan pemimpinnya. Ketika integritas akademik seorang pejabat dipertanyakan dan terbukti cacat, langkah yang diambil bukanlah pembelaan institusional membabi buta, melainkan tindakan korektif demi menjaga marwah negara.

Skandal Karl Theodor Zu Guttenberg menunjukkan bahwa kebenaran akademik tak bisa dikompromikan dengan popularitas politik. Meski ia adalah bintang muda politik Jerman saat itu, publik tak ragu menuntut akuntabilitas, dan ia pun memilih mengundurkan diri. Bukan karena dipaksa, melainkan karena menyadari bahwa kekuasaan tanpa legitimasi moral hanya akan meruntuhkan wibawa pemerintahan.

Indonesia sebagai bangsa besar yang menjunjung demokrasi dan keadaban publik, semestinya belajar dari pengalaman serupa. Transparansi dan keberanian membuka kebenaran, termasuk soal keabsahan latar belakang pendidikan pemimpin, adalah bagian dari menjaga kepercayaan rakyat. Jangan sampai keraguan yang dibiarkan berlarut menjadi bara api ketidakpercayaan yang menyala di tengah masyarakat.

Sebab pada akhirnya, bukan hanya ijazah yang dipertanyakan, tapi masa depan kepercayaan publik terhadap hukum, institusi pendidikan, dan nilai kejujuran yang menjadi tulang punggung bangsa ini. (*)

banner 300250

Related posts

banner 300250

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *