Publikasi Pelacuran di Bulan Suci Ramadhan, Bentuk Penistaan Institusi Keluarga

Jakarta, LiraNews – Munculnya publikasi yang merendahkan institusi keluarga dan mempromosikan kejahatan seksual, yaitu pelacuran, yang dilakukan oleh salah satu media feminis di Indonesia, Magdalene, sangat disesalkan di tengah pandemi Covid-19 yang sedang dialami masyarakat Indonesia dan bertepatan dengan pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.

Magdalene memuat publikasinya dalam laman web nya dengan judul “Prostitusi Bisa Jadi Pilihan yang Berdaulat” pada
tanggal 16 Mei 2020 (lihat : https://magdalene.co/story/prostitusi-bisa-jadi-pilihan-yang-berdaulat), serta pada akun twitter nya dengan judul yang sama di tanggal 15 Mei 2020 (lihat : https://twitter.com/the_magdalene/status/1261272618591633408?s=19_).

“Publikasi tersebut telah menimbulkan keresahan masyarakat dan merupakan bukti nyata adanya ancaman ketahanan keluarga di Indonesia, yaitu kampanye nilai-nilai feminis yang memusuhi institusi keluarga dan mengusung isu kedaulatan tubuh serta kebebasan seksual,” ujar Ketua Aila Indonesia, Rita H. Soebagio, M.Si dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/5/2020).

Publikasi tersebut menampilkan pernyataan, kutipan dan wawancara para pendukung pelacuran, serta di saat yang bersamaan sekaligus memunculkan komentar yang merendahkan dan menghina peran dan kedudukan istri dalam institusi pernikahan/keluarga. Menurut opini mereka, profesi pelacur dianggap memiliki kemerdekaan dan kontrol penuh atas tubuhnya. Pelacur bebas kapan menerima pesanan, menentukan jenis pelanggan yang akan dilayani, dan mendapatkan bayaran ketika berhubungan seksual dgn kliennya.

“Sedangkan seorang Istri dianggap sebagai pelacur yang diperbudak, karena selain digunakan untuk hubungan seksual, istri harus merawat rumah dan keluarga dan tunduk pada suami,” katanya.

Ideologi kedaulatan tubuh dalam berbagai publikasi feminis seperti Magdalene, yang menganggap kemerdekaan perempuan terletak pada kebebasan dalam mengontrol organ seksualnya, bukanlah barang baru karena telah dikampanyekan secara masif di Indonesia.

Isu kedaulatan tubuh juga merupakan filosofi dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (“RUU PKS”) yang menitikberatkan pidana pada ada tidaknya consent atau persetujuan dalam hubungan seksual, bukan pada baik buruknya sebuah perilaku seksual. Bagi para pengusung kedaulatan tubuh, prostitusi dan perzinaan tidak dianggap sebagai bentuk kekerasaan seksual jika dilakukan atas dasar suka sama suka.

“Ideologi kedaulatan tubuh tentunya sangat bertentangan dengan konsep keluarga yang merupakan hubungan suci dan sakral karena diikat oleh nilai-nilai agama. Pernikahan dan keluarga lebih dari sekedar penjajahan dan eksploitasi organ seksual demi uang sebagaimana pelacuran,” tegas Rita.

Pernikahan dan keluarga adalah unit sosial masyarakat terkecil yang menunjang peradaban manusia. Keluarga yang ideal merupakan tempat pulang yang hangat bagi jiwa dan raga manusia. Dalam konteks demikian, Aila mengingatkan kembali bahwa kebebasan berekspresi yang senantiasa digaungkan oleh media feminis dan gerakan pemikiran lainnya, bukan berarti menjadikan media bebas untuk menyampaikan hal-hal yang justru bersinggungan dengan nilai dan prinsip masyarakat Indonesia, apalagi sampai memicu keresahan masyarakat.

“Untuk itu, menyikapi dampak yang ditimbulkan atas pemberitaan Magdalene, Aila mengharapkan agar media tidak hanya sekedar menjalankan fungsinya untuk menyajikan berita tetapi juga disertai dengan tanggung jawab sosialnya untuk menyajikan kebenaran,” cetusnya.

Aila secara khusus mengimbau masyarakat agar tetap waspada terhadap publikasi yang mengkampanyekan isu kedaulatan tubuh, mempromosikan kebebasan seksual, serta memusuhi pernikahan dan institusi keluarga. Masyarakat diharapkan dapat memperkuat ketahanan keluarga dan terlibat secara aktif untuk mengawasi atau melaporkan, agar media semacam ini tidak terus mempengaruhi pola pikir masyarakat, khususnya generasi muda Indonesia.

“Aila juga mengimbau pemerintah untuk berperan secara aktif dalam melakukan pengawasan terhadap konten informasi yang patut diduga dapat mengarah pada penghinaan, pencemaran nama baik, maupun kebohongan yang merugikan masyarakat, tanpa harus membatasi kebebasan media itu sendiri,” pungkasnya. LN-RED

 

Related posts