Radikalisme Produk Kapitalisme Barat

Jakarta, LiraNews.com – Radikalisme, kata yang setiap kali kutemui, seringkali lebih membingungkan daripada menjelaskan. Dari kacamata sebagai seorang Muslim tradisional, juga sering menyesakkan. Mengapa? Aku tidak menolak bahwa memang ada radikalisme dalam Islam; Khawarij adalah salah satu contohnya. Tetapi, perkembangan peradaban Islam tidak ditopang apalagi diwarnai oleh Muslim dengan tipikal Khawarij tersebut. Khawarij hanyalah kerikil yang tidak penting, namun tetap harus dijadikan pelajaran.

Dalam konteks itu, agak menyesakkan membaca tuduhan radikalisme terhadap Muslim yang dilakukan secara serampangan. Yang kutentang adalah penggunaannya yang sangat serampangan, tendensius dan bahkan memuakkan, karena lebih banyak didasarkan pada hasil imajinasi daripada fakta historis. Maknanya telah dikuasai dengan sangat baik oleh regime of truth yang berasal atau dipengaruhi kelompok tertentu, dan oleh sebab itu merekalah yang berhak untuk memberi label.

Terkadang aku termenung, bagaimana seseorang yang telah mencurahkan jiwa raganya untuk bangsa, dan pernah memimpin salah satu organisasi Muslim terbesar di negeri ini, begitu mudah dicap radikal hanya karena menuntut Ahok diadili. Contoh lain, seorang profesor di UGM, dengan ringan berkomentar bahwa saat ini, hanya NU yang menjadi benteng NKRI, sebab Muhammadiyah telah disusupi oleh kelompok radikal.

Sebagai perbandingan, ada baiknya kuceritakan salah satu kelompok ‘radikal’ yang sangat dibenci oleh ‘publik: yaitu FPI. Suatu ketika, aku berkunjung ke rumah wakil panglima laskar, di daerah Mampang. Rumahnya kecil, di dalam satu gang yang hanya bisa dilalui oleh sepeda motor. Sedang berbincang santai, istrinya datang menghidangkan teh panas dan cemilan hangat. Di ruang tengah, anaknya yang seusia SD sedang asyik menonton konser dangdut di sebuah saluran TV swasta. Suasana yang kurasakan ketika itu sangat ‘pribumi’.

Sebelum aku datang, ternyata ia juga baru saja menerima seorang peneliti dari Jepang. Pengakuannya, peneliti itu telah beberapa kali berkunjung ke rumahnya. Tak jauh beda, hal yang sama kutemukan di rumah salah seorang pengurus FPI Jakarta Utara. Di rumahnya yang kecil di Warakas, kami berbincang santai. Ia bercerita, ketika terjadi tsunami di Aceh, ia minta izin pada bosnya untuk menjadi relawan ke Aceh, namun ditolak. Akhirnya, ia memutuskan berhenti. Ia yakin, ketika kembali ke Jakarta, Allah pasti akan membukakan rezeki dari jalan lain.

Tiga bulan di Aceh, ia kembali ke Jakarta sebagai pengangguran. Keyakinannya benar, tak lama, ia kemudian mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Inilah salah satu gambaran orang-orang yang selama ini dianggap radikal.

Diskursus radikalisme adalah bagian dari cara kapitalisme Barat melakukan ekspansi ke wilayah Muslim. Pemahaman tentang Muslim dikonstruksi dan diproblematisasi. Islam dan Muslim menjadi ‘object of knowledge’, hasilnya kemudian tidak hanya dikonsumsi Barat, tapi juga kaum Muslim sendiri. Sebagai objek pengetahuan, maka kemudian ‘ditemukan’ dan ‘dikonstruksi’ berbagai permasalahan dalam masyarakat Muslim, sebagian besar negatif.

Maka, muncullah pemaknaan sepihak terhadap berbagai konsep, seperti radikal, teroris dan oleh sebab itu menjadai ancaman terhadap Barat. Muslim adalah others; dan penggunaan Muslim radikal di Indonesia untuk menjelaskan bahwa mereka adalah others dalam konteks negara Indonesia.

Labelisasi radikal lebih bertujuan sebagai alat kontrol sosial daripada untuk menjelaskan fakta, dan diskursus radikalisme adalah bagian dari production of difference; Karena berbeda, mereka tidak berhak untuk bernapas, apalagi hidup di negeri ini. Label radikal pada suatu kelompok, dengan sendirinya adalah bagian dari cara untuk membatasi ruang sosial dan politik kelompok itu, dan bahkan mencabutnya dari akar tunggangnya sebagai Muslim Indonesia.

Perbedaan tidak lagi menjadi marker of cultural diversity, tapi telah menjelma menjadi alat kontrol. Sepanjang pengetahuanku, hingga saat ini tak ada seorangpun pelaku yang dianggap menista agama dibunuh oleh seorang Muslim Indonesia , bandingkan dengan kasus Faraj Faudah di Mesir, yang dibunuh oleh seorang penjual ikan karena mencaci maki istri Nabi. Setidaknya, ini menjadi bukti bahwa radikalisme bukanlah fakta dominan di Indonesia yang harus terus menerus direproduksi demi masuknya ‘nilai-nilai’ lain.

Radikalisme tak lebih dari problematisasi yang dibangun dalam sebuah diskursus daripada fakta yang benar-benar berurat berakar dalam masyarakat. Dalam suasana yang penuh problem itu, maka kapitalisme Barat bisa masuk dengan mulus, menawarkan treatment, berikut ‘obat, dosis’, dan cara penggunaannya. Dalam konteks itulah, nilai dan sistem yang datang dari Barat, mulai dari demokrasi, pluralisme, inklusifisme, sekulerisme, liberalisme, persamaan gender, persamaan HAM, dan lain-lain, dikonsumsi dengan penuh gairah. Sebaliknya, segala yang dicap ‘syariah’ akan ditolak, karena ia adalah others.

Andri Rosadi, Lc., MA, Kandidat Doktor Sosiologi Western Sydney University

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *