Refleksi Hari Lahirnya Sumpah Pemuda dari Desa (Opini)

INTELEKTUAL MUDA ANTARA PAHAM HIERARKI KEKUASAAN DAN SENTRALITAS PEMERINTAHAN DESA

Bone, LiraNews – Pada hari ini, realitasnya pemuda yang gandrung terhadap kekuasaan mendominasi sudut-sudut sentral berbagai macam skala kekuasaan itu sendiri, demikian pula dalam hal kekuasaan di pedesaan, selain karena sudut pandang sentralitas pedesaan yang kini unggul dalam pemerintahan dan pembangunan, faktor intelektual dan ketajaman ideologi menjadikan para pemuda memilih untuk memainkan perannya.

Intelektual muda adalah tameng bagi permasalahan dalam kerangka hierarki kekuasaan, bukan justru merupakan bagian dari hierarki yang ada, hal tersebut dapat dibuktikan dalam struktur kekuasaan para kaum muda di masa lalu, dimana pemuda intelek yang terpelajar justru menempatkan diri mereka dengan posisi kekuasaan yang berbeda dengan sudut afirmasi pergerakan yang cenderung kritis dan melawan arus kekuasaan yang ada.

Read More
banner 300250

Pada kenyataannya, pada hari ini tidak bisa dipungkiri bahwa sinergitas dan kolaborasi adalah wujud penyatuan struktur kekuasaan antara kekuatan pelajar dan pemerintahan maupun masyarakat, akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa disisi lain karena hal tersebut justru rentan mematikan independensi kekuasaan dan perlahan mengatur tingkat fluktuasi nilai atas nalar kritis dari pihak kaum pelajar atau biasa disebut sebagai kaum intelektual.

Hal – hal yang mendasari kerentanan akan matinya nalar kritis adalah bercampuraduknya unsur kekuasaan dengan orientasi gerak juang kaum terpelajar yang murni, hal semacam ini banyak terjadi di-pedesaan dimana kaum terpelajar justru cenderung lebih ‘banyak nurut’ dihadapan pemerintahan pemegang kuasa dengan asas pemahaman gerakan tradisional mengatasnamakan adat-istiadat dan kebudayaan dari sudut pandang yang justru seringkali inkonsisten untuk mempertahankan kekuasaan, di sisi lain terjadi pengklaiman sikap yang didasari oleh gerak untuk sekedar jaga image, atau bahkan cari aman untuk orientasi kekuasaan kedepannya, masalahnya lagi hal tersebut diklaim sebagai bagian dari strategi kekuasaan.

Tidak hanya itu, peran pemuda terpelajar di pedesaan justru dituntut lebih mengarah pada sudut pandang aksiologis terapan dengan mengesampingkan nilai-nilai etis dan estetis dalam gerak politis, dimana nalar kritis mati dimatikan oleh pemahaman bahwa bukti nyata kreativitas gerakan serta pembangunan fisik sangat dibutuhkan dari kaum terpelajar, dan meniadakan independensi pemikiran yang kritis.

Dari paham tersebut, lahirlah beberapa golongan terpelajar di ruang lingkup pedesaan dengan corak gerakan yang justru terpecah-pecah, yaitu ; pertama, golongan pemuda intelektual sosiologis-humanis, dimana mereka mengambil peran dengan sepenuhnya berbaur dengan masyarakat dan mendalami sudut permasalahan yang ada, sembari memikirkan dan mewujudkan nilai-nilai yang bersifat solutif untuk masyarakat.

Kedua, golongan pemuda intelektual dengan orientasi kekuasaan, memang tidak layak dikatakan bahwa golongan pemuda dengan orientasi kekuasaan ini adalah dipenuhi dengan unsur pragmatis yang cacat nilai, karena seringkali nilai-nilai kritis yang solutif lahir dari mereka untuk beberapa sudut pandang, akan tetapi orientasi kekuasaan kadangkala mematikan nalar kritis pemuda tersebut, apalagi jika didudukkan pada persoalan-persoalan etis menyangkut struktur kekuasaan yang didudukinya.

Ketiga, golongan pemuda orientasi spiritual, tidak bisa dipungkiri bahwa nilai spritualitas adalah modal besar bagi masyarakat pedesaan, maka dari itu banyak dari generasi muda yang gandrung terhadap gerakan religiusitas dengan berbagai macam model gerakan, seperti misalnya beberapa kelompok pemuda yang menggalakkan gerakan dakwah dengan gerak puritan, ataupun dengan melibatkan diri diruang-ruang ibadah dan mengajarkan ilmu agama kepada generasi untuk menjadi tameng dari segala macam persoalan amoral dan non-etis dikalangan generasi.

Pemuda terpelajar adalah unsur masyarakat yang banyak mengambil peran di skala nasional maupun di pedesaan.

Seperti disebutkan dalam paragraf sebelumnya, dengan berbagai macam model pergerakannya. Secara historis, pemuda terpelajar yang intelek memang banyak mengambil peran dalam proses kekuasaan dan pembangunan, anggaplah misalnya para tokoh-tokoh yang bergerak dengan nalar kritis sejak masih muda seperti Bung Karno, Tan Malaka, Moehammad Yamin, WG Soepratman, BJ Habibie, dan masih banyak lagi.

Lalu bagaimana gerakan sosial intelektual profetik mewujud di-pedesaan? Jawabannya adalah dapat diukur dari keseimbangan antara gerakan intelektual, spiritual dan humanitas pemuda di-pedesaan, dimana harus ada proses keseimbangan peran dari ketiga unsur pengetahuan dan pergerakan tersebut dengan mematikan pandangan yang berdasar pada tendensi peran maupun subordinasi yang mengakibatkan adanya perpecahan dan yang terpenting adalah bersikap proporsional dalam melibatkan diri didalam struktur kekuasaan tanpa mematikan nalar kritis akibat tendensi paham hierarki kekuasaan maupun adat istiadat yang inkonsisten.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, terdapat beberapa golongan kaum terpelajar yang cenderung mengedepankan nilai epistemologis bayani/tekstual sebagai landasan pergerakan dengan mengesampingkan unsur epistemologi burhani maupun irfani, demikian pula sebaliknya, maka dari itu perlu adanya sikap balance untuk gerakan yang ideal bagi pemuda pedesaan.

Pada akhirnya, idealisme gerakan kaum terpelajar akan bermuara pada orientasi kekuasaan yang murni dengan unsur-unsur pragmatis yang ada, tetap mempertahankan identitas sebagai kaum yang berpikir dengan kekuatan akal sehat (common sense) yang terjaga, memelihara unsur-unsur spiritualitas untuk terus menghidupkan ruh kemasyarakatan dan kemanusiaan.

Oleh: Ahmad Zailan

(Ketua Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Kahu Kabupaten Bone)

banner 300250

Related posts

banner 300250