Refleksi Hari Pers Nasional, LP3ES: Senjakala Media Mainstream

Jakarta, LiraNews.com – Direktur Center for Media and Democracy (LP3ES) Wijayanto membuat ulatan kritis terkait peringatan Hari Pers Nasional dengan judul: Ketika Jurnalisme Memunggungi Demokrasi.

Wijayanto memulai ulasannya itu dengan menyebut Senjakala Media Mainstream, untuk menggambarkan kondisi media saat ini. Bukan karena diterpa oleh penetrasi revolusi digital, namun karena dia berhenti untuk menjadi relevan bagi publik.

“Media mungkin boleh berganti, namun jurnalisme akan tetap ada,” kata Wijayanto.

Dosen Ilmu Politik Undip ini juga menyebut media adalah bungkusnya, jurnalisme adalah isinya. Hari ini, lanjut Wijayanto, demokrasi Indonesia membutuhkan jurnalisme lebih dari sebelumnya.

Hal ini karena demokrasi kita tengah mengalami proses regresi yang serius yang sangat rentan mengarah pada autoritarianisme. Dan sayangnya, banyak peristiwa menunjukkan bahwa jurnalisme kita gagal untuk menjadikan dirinya sebagai medium yang menghadirkan aspirasi dan pikiran publik.

“Alih-alih mendorong konsolidasi, jurnalisme kita justru memunggungi demokrasi,” jelasnya.

Indikatornya sederhana. Kata Wijayanto, jurnalisme gagal bahkan untuk sekedar mengimplementasikan semibilan elemen paling dasar jurnalisme sebagaimana diungkap oleh Kovach dan Rosenstiel (2016).

Elemen-elemen ini, lanjutnya, disarikan dari 21 diskuski kelompok terarah yang dihadiri 3000 jurnalis yang meliputi testimoni lebih dari 300 jurnalis di Amerika. Uraian berikut ini akan menguraikan kegagalan jurnalisme kita untuk mengimplementasikan elemenelemen itu.

Sembilan elemen Jurnalisme yang dimaksud adalah kebenaran, loyalitas kepada publik, disiplin verifikasi, Independensi, mengawasi kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas.

Kemudian media adalah forum Publik menyampaikan kritisme, memikat dan relevan, berita harus proporsional dan komprehensif, dan terakhir peran jurnalisme adalah mendengarkan panggilan hati nurani.

Manakala sembilan elemen jurnalisme gagal dipenuhi, kata Wijayanto, maka terjadilah defisit demokrasi sebagai res-publica, di mana media dan jurnalisme menjadi corong dari elit yang juga memunggungi nilai-nilai demokrasi.

Media, ujar Wijayanto, dipenuhi bias dan sensasi, urung menegakkan indepensi dan menjalankan disiplin verfikasi.

“Harus disadari bahwa ketika demokrasi runtuh dan berubah menjadi otoriterisme, salah satu korban pertamanya adalah kebebasan media!” tegas Wijayanto.

Related posts