JAKARTA, LIRANEWS.COM | Widi Astuti tidak mengenakan seragam organisasi, tidak membawa usulan, apalagi mengejar-ngejar donatur. Perempuan ini bergerak sendiri, mengandalkan hati dan rasa peduli terhadap hidup mereka dalam keterbatasan.
Dia tidak meminta-minta, apalagi memaksa orang untuk berdonasi. Baginya, kepedulian bukan soal angka, melainkan soal keterpanggilan. Jika seseorang merasa tersentuh dengan kisah yang ia bagikan, maka bantuan akan datang dengan sendirinya. Jika tidak, itu juga tidak masalah.
Menyalakan Harapan dari Dapur yang Rapuh
Suatu hari, Widi mendengar tentang seorang ibu yang memasak di dapur reyot, nyaris roboh. Atapnya bocor, lantainya tanah, dan dindingnya hanya bilik bambu yang sudah lapuk dimakan usia. Asap dari tungku kayu menyebar ke seluruh ruangan, membuat mata perih dan napas sesak.
Tidak ada perabotan mewah di dapur itu. Hanya ada panci penyambung, wajan berkarat, dan beberapa alat masak sederhana yang dipakai bertahun-tahun. Namun, dari tempatnya, ibu tersebut tetap memasak, berusaha memberi makan keluarganya dengan segala keterbatasan.
Widi tidak serta-merta membuka donasi dengan narasi mengiba. Ia menuliskan kisah ibu itu dengan jujur, apa adanya. Tentang perjuangannya, tentang harapan yang tetap menyala meski kondisi begitu sulit.
“Saya ingin orang melihat, merasakan, merasa tanpa terintimidasi untuk berdonasi. Kalau memang mau membantu, ya silakan. Kalau tidak, setidaknya mereka bisa belajar untuk lebih bersyukur,” katanya.
Kepedulian yang Tidak Memaksa
Widi punya cara unik dalam berbagi cerita. Ia tidak menulis dengan bahasa formal layaknya lamaran. Ia lebih memilih gaya bercerita yang mengalir, menyentuh tanpa harus memaksa. Ia percaya, kepedulian sejati tidak bisa dipaksakan.
“Saya tidak pernah mengejar-ngejar orang buat berdonasi. Malu rasanya. Kalau mereka tergerak, mereka akan datang sendiri. Kalau tidak, ya nggak apa-apa. Saya yakin, Allah akan memberi jalan lain,” tuturnya.
Terkadang, Widi hanya membagikan foto dan cerita di media sosial. Ia tidak menghubungi siapa pun secara pribadi, kecuali orang-orang yang memang sudah dekat dengannya. “Saya hanya japri kalau benar-benar kenal dan nyaman. Kalau nggak, ya sudah, saya diam,” katanya.
Menghargai Diri di Tengah Perjuangan
Meski bergerak sendiri, Widi tetap menjaga harga dirinya. Baginya, menjadi relawan bukan berarti harus mengemis atau menegaskan diri di hadapan donatur. Ia yakin, kebaikan akan menemukannya sendiri.
“Kalau ada yang bantu, Alhamdulillah. Kalau nggak ada, ya saya tetap jalan. Insya Allah, selalu ada jalan keluar dari langit,” ucapnya.
Bagi Widi, membantu sesama bukan sekedar soal uang. Itu soal rasa, soal empati. Kadang-kadang, berbagi cerita saja sudah cukup untuk membuat orang lain merasa didengar.
“Saya hanya ingin orang-orang tahu bahwa masih banyak yang hidup dalam kesulitan. Kalau mereka bisa membantu, bagus. Kalau tidak, setidaknya mereka bisa lebih peduli,” tutupnya.
Di dunia yang serba sibuk ini, Widi menjadi pengingat bahwa kepedulian tidak harus selalu dalam bentuk donasi besar atau aksi spektakuler. Kadang-kadang, cukup dengan hati yang tulus dan tangan yang terulur, harapan bisa kembali menyala.