Rudy Ramli: Penjualan Saham Bank Permata Harus Dicegah

Rudy Ramli

Bank Permata merupakan hasil penggabungan lima bank di bawah pengelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bank-bank yang dikawinkan itu adalah Bank Bali Tbk., Bank Universal Tbk., PT Bank Prima Express, Bank Artamedia, dan Bank Patriot.

Bank Bali ditunjuk menjadi Bank Rangka dan pada 1 Februari 2002 berganti nama menjadi Bank Permata, sedangkan empat bank lainnya sebagai bank yang menggabungkan diri.

Pada pekan lalu, Rudy menerima wawancara Miftah H. Yusufpati dari SINDO Weekly di suatu tempat di Jakarta. Ia banyak bicara tentang Bank Bali. Sampai detik ini, putra Djaja Ramli ini belum rela saham Bank Bali dimiliki Standard Chartered Bank (SCB). Dia menganggap kepemilikan SCB di Bank Permata adalah misteri. “Ada bos lain yang menggunakan SCB untuk menguasai Bank Permata,” tuturnya.

Lantaran itu, Rudy Ramli menyatakan keberatan atas usaha pemindahan kepemilikan saham Bank Permata. Dia berharap otoritas yang berwenang menggunakan kekuasaannya untuk mencegah terjadinya transaksi tersebut.

Berikut petikan wawancara selengkapnya.

Mengapa transaksi itu harus dicegah?

Pertama, soal transparansi. Bahwa siapa pun yang ingin memiliki aset di Indonesia hendaklah transparan dan jelas siapa pemiliknya dan asal dananya. Keduanya itu dilanggar oleh SCB dengan vulgar.

Apa yang tidak transparan?

Ada kejanggalan pada annual report SCB 2006 dan beberapa tahun berikutnya. Pada laporan tahunan itu terdapat kejanggalan dalam transaksi pengambilalihan Bank Permata. Ada kalimat “no capital commitment” tertuang pada annual report SCB tersebut.

Apa yang dimaksud dengan no capital commitment? Berdasarkan peraturan transparansi yang berlaku di Indonesia, siapa pun yang ingin membeli bank di Indonesia harus jelas dengan menandatangani deklarasi yang menyatakan dirinya adalah “the ultimate shareholder dari institusi yang akan dibelinya”.

Dengan ditemukannya dokumen itu, kami keluarga besar eks Bank Bali sangat meragukan bahwa SCB telah menandatangani deklarasi yang menyatakan dirinya adalah ultimate shareholder dari Bank Permata.

Mungkin saja ada dokumen atas nama SCB, deklarasi ultimate shareholder itu?

Kalau benar ada, SCB patut dicurigai telah melakukan kebohongan publik dengan mengaku sebagai ultimate shareholder.

SCB wajib menjelaskan dengan menyertakan dokumen pendukung, apa maksud dari kalimat “no capital commitment” yang tertuang pada annual report-nya tersebut. Sesuai asas keterbukaan dan hukum anti-money laundry.

Jika ternyata nantinya terbukti SCB telah melakukan fronting dan kebohongan publik, atau adanya peristiwa SCB tidak menandatangani pernyataan sebagai ultimate shareholder, transaksi pengambilalihan Bank Permata wajib dipertanyakan oleh otoritas yang berwenang.

Alasan lainnya, mengapa transaksi harus dicegah?

Soal keadilan dan kebenaran. Bank Bali, sedari awal, adalah bank sehat yang mampu bertahan dari krisis 1997–1998 karena pengelolaan manajemennya yang sangat baik. Namun, terjadi rentetan peristiwa yang mengindikasikan telah terjadi usaha pelemahan terhadap Bank Bali dan berakibat bank ini harus masuk BTO yang artinya triliunan uang negara hilang untuk restrukturisasi.

Lebih miris lagi, saat SCB membeli Bank Permata dari BPPN, uang yang dibayarkan tidak sampai separuh dari biaya yang ditanggung pemerintah untuk melakukan restrukturisasi.

Berapa nilainya?

Hanya mengeluarkan Rp2,77 triliun, padahal biaya rekap yang digelontorkan pemerintah sebesar Rp11,89 triliun. Artinya, penjualan Bank Permata menimbulkan kerugian negara sebesar Rp9,12 triliun.

Bank Bali, bank sehat yang dibuat sakit?

Ya, sangat sehat dan dibikin sakit. Pada akhir 1997, Bank Bali dan beberapa bank sehat lainnya seperti Panin terus-menerus diminta BI agar menghidupkan lagi pinjaman money market yang waktu itu mandek karena krisis. BI sampai mohon-mohon atas nama negara demi menyelamatkan negara.

Awalnya Bank Bali menolak karena harus melindungi uang nasabahnya. Bank Bali akhirnya luluh setelah BI menyatakan akan menjamin dana pinjaman money market yang gagal bayar.

Bank Bali lalu mengucurkan dana pinjaman money market pada saat itu, padahal perjanjian bailout belum ditandatangani. Ini dilakukan semata-mata karena percaya pada BI dan kondisi nasional yang memang krisis.

Namun, pada Januari 1998, saat perjanjian itu ditandatangani, ada satu pasal yang menyatakan bahwa pinjaman tersebut diakui hanya jika sebelumnya telah dilaporkan terlebih dulu oleh peminjam. Ini pasal sangat aneh dan cenderung kebalik karena normalnya, si pemberi pinjamanlah yang melaporkan. Hal ini menambah kerepotan bagi tim Bank Bali, tetapi dengan usaha keras kami berhasil mengatasinya.

Pada waktu penagihan berlangsung, Bank Bali terus dipersulit dengan berbagai alasan yang mengada-ada. Seperti tanggung jawab bukan di BI, melainkan sudah dipindah ke BPPN, di BPPN yang bertanggung jawab belum ditunjuk, sedang ada pindahan kantor, datanya hilang, dan lain sebagainya, hingga akhirnya dianggap penagihan yang dilakukan Bank Bali sudah lewat batas waktu.

Lalu, terjadi kasus skandal cessie itu?

Ya. Peristiwa tagihan yang macet ini mengundang banyak calo yang merasa mampu menagihkan utang, mulai dari Bos Bank Pikko, sampai PT EGP yang kita semua tahu.

Apa upaya Bank Bali untuk menambah modal pada saat itu?

Saya selaku wakil keluarga pemegang saham mayoritas Bank Bali mencari investor strategis yang dapat mem-backup dari segi permodalan. Dalam proses ini ditunjuk JP Morgan sebagai penasihat keuangan.

JP Morgan menebar undangan investasi pada 25 potential buyer yang di antaranya ada SCB. Dari 25 yang diundang, 20 hadir, termasuk SCB, untuk melakukan due diligence awal, dengan melihat data room. Dari sana, yang menyatakan minat untuk melanjutkan hanya tiga, yaitu ABN AMRO, GE Capital, dan Citibank.

Tidak ada nama SCB?

Tidak. Dari sini sudah jelas bahwa SCB sedari awal tidak ada minat terhadap Bank Bali.

Selanjutnya?

GE Capital keluar sebagai pemenang untuk merekapitulasi Bank Bali. Seusai GE Capital diumumkan sebagai pemenang, sesuai prosedur, kami laporkan hasil tersebut ke BPPN, BI, dan ke menteri keuangan. Namun, kami tidak mendapat respons apa pun dari otoritas. Tak ada penolakan ataupun penerimaan. Semua diulur-ulur sampai menjelang batas waktu yang ditetapkan oleh BPPN.

Sehari menjelang jatuh tempo yang ditetapkan BPPN, saya memaksa masuk bertemu Deputi BPPN Farid Hariyanto. Di sana, Farid menolak GE, dan dengan santai dia memberi alasan bahwa “dia tidak suka GE”. Farid menyodorkan SCB sebagai pengganti. Dari sini jelas sekali kejanggalannya. SCB yang tadinya tidak minat kenapa tiba-tiba minat? Dan, kenapa dia harus didahulukan?

Apakah ada upaya Anda menolak SCB?

Saat itu, kami mencoba mengajukan calon lain yaitu ABN AMRO. Farid setuju menemui kami di Hotel Dharmawangsa pada hari yang sama, pada malam hari pukul 21.00. Dia datang sangat terlambat dan mendengarkan presentasi kami dengan ogah-ogahan. Besoknya, kami diberi kabar bahwa ABN AMRO ditolak juga oleh BPPN.

Lalu, Bank Bali akhirnya menerima SCB?

Kami terpaksa. Itu terjadi ketika keesokan harinya manajemen Bank Bali dipaksa menandatangani perjanjian rekapitulasi dengan SCB di Bank Indonesia. Sepanjang hari itu, kami terus tektok dengan BPPN tentang perjanjian rekapitulasi dengan SCB. Semua usulan pasal yang disampaikan SCB sangat tidak fair dan kami harus melakukan revisi di sana-sini, tetapi selalu ditolak oleh SCB. Hari itu adalah deadline rekapitulasi dan jika tidak ada, kami akan masuk BTO (bank take over).

Tidak ada pilihan lain. Pemilik Bank Bali datang ke BI untuk penandatanganan kerja sama rekap. Namun di sana, kami kembali dikejutkan bahwa kami harus menandatangani kertas kosong. Dalam artian, hanya ada halaman belakang berisi kolom tanda tangan, tanpa ada halaman isi dari surat perjanjian.

Anda mau tanda tangan?

Kami sempat bingung dan mau protes, tetapi Farid Harianto yang saat itu hadir memberi kami kode berupa tatapan mengancam yang kami artikan: tanda tangan atau BTO. Dalam keadaan terdesak, kami terpaksa menandatangani kertas kosong.

SCB masuk dan diberi waktu tiga bulan untuk melakukan due diligence. Ini hal yang sangat aneh lagi. Pemain baru, masuk detik terakhir, dan diberi waktu tiga bulan untuk due diligence. Jika memang waktu tiga bulan diperbolehkan, bukannya ini berarti Bank Bali tidak perlu menandatangani kerja sama rekap dengan SCB saat itu?

BOKS

Jatuh Bangun, Lalu Bangun Lagi

PADA September 1983, Rudy Ramli pulang ke Indonesia seusai belajar di Amerika Serikat. Pada Oktober, ia mulai bekerja di Bank Bali sebagai trainee staff. Kala itu, pertumbuhan usaha Bank Bali sedang pesat-pesatnya.

Baru pada Juni 1992, ia mengambil kepemimpinan bank dari sang ayah, Djaja Ramli. Tidak berbeda dengan ayahnya, peraih gelar MBA dari University of Southern California, AS, itu pun terus menambah panjang daftar rekam jejak Bank Bali.

Di bawah kepemimpinan Rudy, kinerja Bank Bali terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1994, misalnya, Bank Bali mencatatkan pendapatan sebesar Rp970 miliar. Setahun kemudian, nilai perolehan tersebut meningkat kembali menjadi Rp1,07 triliun dan Rp1,17 triliun pada akhir 1995.

Kinerja bank yang ciamik ini mengundang pengakuan banyak pihak. Majalah Euromoney pada 1993 memberikan penghargaan Euromoney’s Award for Excellent kepada pria kelahiran Jakarta, 22 September 1958 ini.

Namun di bawah kepemimpinan Rudy pula, Bank Bali apes. Bank ini masuk bank take over atau BTO oleh BPPN. Merasa diperlakukan tidak adil, pada 19 Oktober 1999, Rudy mengajukan tuntutan kepada Bank Indonesia (BI) dan BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN. BI dan BPPN dinilai telah membuat keputusan tidak wajar atas BTO Bank Bali.

Selanjutnya, pada 30 Maret 2000, PTUN memutuskan membatalkan Keputusan BI tentang penyerahan Bank Bali kepada BPPN. Keputusan PTUN tidak bisa dieksekusi karena BI dan BPPN mengajukan banding. Namun, sebelum banding diputuskan, pihak Rudy, BI, dan BPPN melakukan kompromi. Pada 17 Juli 2000 antara pihak-pihak tersebut menandatangani kesepakatan perdamaian untuk tidak melanjutkan perkara.

Rudy diberi kompensasi berupa uang sebesar Rp9 miliar untuk menghentikan perkara. Rudy berpikir dengan kesepakatan itu ia masih memiliki peluang untuk merundingkan kepemilikannya dan mengambil kembali Bank Bali ke tangannya. Namun, hal itu tidak pernah terjadi. Bank Bali justru terlepas dari tangannya.

Sejak 2004, Rudy mencoba bangun. Paling menonjol ia mendirikan usaha PT Daya Network Lestari, pengelola jaringan ATM Alto. Belakangan Grup Djarum masuk untuk memenuhi aturan permodalan dari BI. Regulator sistem pembayaran ini mewajibkan perusahaan switching untuk memiliki modal minimal Rp50 miliar.

“Mekanismenya, Alto keluarin saham baru, lalu Djarum masuk 20% lewat Central Capital Ventura (CCV) 2% dan 18% pakai nama Dwimuria Investama Andalan, sekitar Rp100 miliar,” ujar Rudy. Kesepakatan ditandatangani Juli 2018. “Mulai saat ini Grup Djarum 49%, saya 51%,” jelasnya. Central Capital Ventura merupakan modal ventura bentukan Bank BCA, sementara Dwimulia Investama Andalan merupakan pemilik 54,94% saham Bank BCA.

Rudy Ramli pun sudah tidak lagi menduduki posisi apa pun di PT Daya Network Lestari. Saat ini, ia menjabat Presiden Direktur Alto Halodigital International (AHDI) yang 24,9% sahamnya dimiliki Alto. AHDI melayani pembayaran digital turis asal Tiongkok di Bali yang menggunakan WeChat Pay dan Alipay.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *