Oleh Miftah H. Yusufpati
Indonesia kembali berduka. Allah telah memanggil K.H. Maimun Zubair, salah satu ulama kharismatik, ahli fikih, sekaligus meharrik atau penggerak. Mbah Kiai atau Mbah Moen, wafat hari ini, Selasa (6/8), saat melakukan rangkaian ibadah haji di Mekkah. Jenazahnya disalatkan di Masjidil Haram, lalu dimakamkan di Kota Suci Mekkah.
Umat Islam, juga rakyat Indonesia, jelas merasa kehilangan. Kiai Maimun merupakan rujukan ulama Indonesia. Beliau menguasai secara mendalam ilmu fikih dan ushul fikih. Mbah Kiai adalah kawan dekat Kiai Sahal Mahfudh, yang sama-sama santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.
Ketokohan Mbah Moen semasa hidup diakui banyak kalangan. Dua calon presiden yang bertarung di pilpres 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, merasa perlu datang ke kediamannya di Rembang, Jawa Tengah, untuk sekadar meminta doa dan restu.
Mbah Kiai menerima kehadiran keduanya dengan tangan terbuka. Mereka pun mendapat doa yang sama.
Selain capres, pimpinan Ponpes Al Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah ini juga kerap menjadi rujukan para petinggi pemerintahan. Mereka datang untuk meminta nasihat, saran sampai doa restu.
Mbah Kiai lahir di Rembang 28 Oktober 1928. Usianya mendekati 90 tahun. Mbah Moen adalah Mustasyar Nahdlatul Ulama atau NU. Beliau lebih memilih berkiprah di Partai Persatuan Pembangunan atau PPP ketimbang Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB.
Mbah Moen sempat menjadi anggota DPRD Kabupaten Rembang selama 7 tahun. Selain itu, ia juga sempat diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah selama tiga periode.
Kini, karena kedalaman ilmu dan kharismanya, Mbah Kiai diangkat sebagai Ketua Dewan Syuro PPP.
Politik dalam diri Kiai Maimun bukan tentang kepentingan sesaat, akan tetapi sebagai kontribusi untuk mendialogkan Islam dan kebangsaan. Kiai Maimun merupakan seorang faqih sekaligus muharrik, pakar fiqh sekaligus penggerak.
Mbah Moen pernah mengatakan PPP bukan hanya untuk agama Islam, tapi PPP hadir untuk Indonesia. “Kehadiran PPP bukan hanya untuk agama (Islam), tapi untuk bangsa Indonesia,” katanya, pada Harlah PPP di Bantul, 16 Januari 2019.
Mbah Kiai adalah putra Kiai Zubair. Sang ayah merupakan murid dari ulama besar Syaikh Saíd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky. Selain belajar agama dari sang ayah, semasa muda, Maimun juga nyantri di Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Ia belajar di sana selama lima tahun, sejak 1945.
Pada usia 21 tahun, Maimun sempat belajar di Mekkah. Di Tanah Haram, Maimun banyak mengaji kepada ulama-ulama besar seperti Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan ulama-ulama lainnya.
Di Mekkah pula, Maimun menimba ilmu dari ulama Jawa yang berada di sana, seperti Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban) dan beberapa ulama lainnya. Kiai Maimun juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri, di antaranya, kitab berjudul al-Ulama al-Mujaddidun.
Selepas kembali dari tanah Hijaz dan mengaji dengan beberapa kiai, Kiai Maimun kemudian mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, di tanah kelahirannya. Pada 1965, ia mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang. Pesantren ini, kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif.
Kini, Allah telah memanggil Mbah Kiai. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Selamat jalan Kiai.
Kolom Komentar