Jakarta, LIraNews – Direktur Eksekutif Algoritma Aditya Perdana mengatakan, keinginan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) untuk menjadikan demokrasi pemilihan umum mendatang sebagai pesta rakyat adalah juga keinginan rakyat.
Namun, Aditya mengingatkan, komitmen tersebut jangan sekedar ucapan.
“Namun demikian, pesan yang dimaksud pun harus dimaknai secara serius, bukan sekedar gimmick partai untuk meraih simpati publik dan kemudian malah mendapat cibiran publik,” kata Aditya, Jumat (2/12/2022).
Caranya, ungkap Aditya, tentu saja dengan politik yang sehat dan tidak transaksional.
“Hal yang dibutuhkan oleh pemilih menurut saya sederhana saja: partai dan politisinya tidak memulai memikat pemilih dengan uang dan tawarkan program yang konkrit dan nyata di dapil buat perubahan di masyarakat,“ ujar Dosen Universitas Indonesia ini.
KIB sendiri sejak awal hadir dengan Program Akselerasi Transformasi Ekonomi Nasional (PATEN), bahkan KIB sudah memiliki program atau gagasan tersebut sebelum mendeklarasikan calon Presiden mereka.
“(Gagasan) Itu saja yang patut dilakukan parpol atau siapapun yang berkoalisi untuk membuat pemilih bahagia,” tandas Aditya.
Sebelumnya Plt. Ketua Umum PPP Mardiono, saat bertemu dengan Ketum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketum PAN Zulkifli Hasan mengatakan, KIB menikmati pesta demokrasi dengan menghasilkan sebuah kualitas yang tinggi.
“Agar kelak nanti pemimpin yang akan memimpin bangsa ini mendapatkan amanah kepercayaan dari rakyat, yang sesungguhnya,” tutur Mardiono.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengatakan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) sepakat ingin menjadikan demokrasi sebagai pesta rakyat.
Menurut Airlangga, KIB saat ini tengah membangun sebuah pondasi yang kuat untuk membangun Indonesia.
“Fondasinya harus kuat, dindingnya kokoh, sirkulasi udaranya bagus, dan kita juga berharap bangunan ini akan diperkuat,” tegas Airlangga.
Koalisi Besar
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai tidak ada masalah dengan upaya KIB untuk membangun koalisi besar.
Sebaliknya, Dedi menganggap ada problem pada aturan pemilu terkait ambang batas pencalonan atau presidential threshold.
“Koalisi besar sah saja, yang perlu dikritik bukan upaya membangun koalisinya, tetapi sistem pemilu utamanya terkait ambang batas. Ini yang membuat ada upaya memonopoli peserta pemilu,” terang Dedi.
Menurut Dedi, koalisi besar yang tengah dibangun KIB mempunyai sisi baik dan sisi buruk. Manfaat koalisi besar terletak pada kemampuan untuk menurunkan besarnya kontestasi publik.
“Satu sisi ada baiknya mengurangi kontestasi publik, tetapi tidak benar jika tafsirnya soal keberagaman peserta pemilu, karena konsolidasi publik menjadi tanggung jawab partai juga,” ungkap Dedi.
Di sisi lain, lanjut Dedi, koalisi besar akan berakibat pada minimnya pilihan publik yang pada gilirannya bisa memunculkan potensi seteru yang lebar besar
“Imbas politik koalisi besar tentu minimnya pilihan publik, juga semakin sedikit pilihan, maka semakin besar kelompok yang bertarung, justru akan beresiko menimbulkan seteru yang juga lebih besar,” pungkas Dedi Kurnia Syah. LN-RON